Selasa, 27 Januari 2015

Aming Anak Pohon Bijak


s4stika
           
Mbok Nah dengan kesal mencari-cari kipas yang tak kunjung ia temukan. Ia kesal karena api tungkunya gampang sekali padam, padahal ia harus segera memberi sarapan suami dan ketiga anaknya yang sedari pukul enam pagi tadi sudah meronta kelaparan. Kipas dari anyaman bambu buatan suaminya itu akhirnya ia temukan di paga paling atas. Dengan segera Mbok Nah mengipas-ngipaskan angin ke arah tungku. Api yang padam pun mulai menyala kembali.
       Nasi dan lauk telah siap disantap, Mbok Nah memanggil seluruh anggota keluarga untuk berkumpul di meja makan.
         “Mbok, aku kan juga mau bandhengnya..” rengek Wati anak bungsu Mbok Nah yang berusia 5 tahun.
            “Hush! Jangan! Bandeng untuk diberikan pada Pohon Bijak hari ini. Simbok dan Bapak sedang butuh nasehat dan saran dari Pohon Bijak buat usaha bapakmu.” Sahut Mbok Nah membuat Wati cemberut dan menggerutu.
            “Pohon Bijak kan nggak dikasih apapun juga nggak apa-apa, Mbok.” Ucap Warni, anak kedua Mbok Nah yang berusia dua tahun lebih tua dari Wati.
            “Tapi apa salahnya memberi sesuatu kepada sesepuh tho ndhok?” jawab bapaknya.
            Kini bukan hanya Wati, tapi Warni pun turut cemberut.

***

            Mbok Nah dan suaminya, Pak Suroso, berjalan tergesa-gesa sembari menenteng sebuah rantang yang penuh dengan nasi, sayur, dan lauk. Tak lupa, Pak Suroso membawa sebuah kendi yang penuh berisi air dengan hati-hati. Keduanya berjalan menuju desa Sebrang dimana Pohon Bijak berada.