Khusus
pada entri berjudul draft akan ada fenomena-fenomena kehidupan yang saya
bagikan. Semoga bermanfaat dan bisa di pahami :)
Tulisan kali ini akan membahas tiga
fenomena yang tidak biasa sore ini. Tentang kenakalan anak SD, kecurangan dan
sikap negative yang dimiliki oknum ‘guru’, dan persepsi-persepsi pada seorang
tukang tambal ban.
Pertama, mari bicarakan tentang
kenakalan anak SD. Well, sebenarnya ini semacam curcol. Sebut sja begitu jika
anda menyukainya, tapi saya lebih suka menyebut ini sebagai sedikit dokumentasi
dan semoga bisa bermanfaat dan menjadi pelajaran bagi yang memahami.
Berawal dari sms yang saya terima
dari seorang adik, anak kelas 6 SD (sebut saja Rian) yang biasa belajar bersama
saya di rumah beserta 18 temannya yang lain. Ia mengirim pesan dalam bahasa
jawa yang kurang lebih seperti ini, “Mbak, nanti sore ada teman baru, boleh
nggak Mbak?” sampai tiga kali ia mengirimkannya. Dengan panik dan tanpa pikir
panjang, saya mengiyakan, “Nggeh, yan.” Saya kirimkan padanya. Sesampainya di
rumah, si Rian ini beserta dua temannya, sebut saja Teguh dan Purwanto, datang
ke rumah saya. Awalnya saya kira mereka memang ingin datang lebih awal saja,
tapi dugaan saya salah karena mereka tidak membawa buku satupun. Pur langsung
saja mengamati pohon jambu di depan rumah, dan saat menemukan apa yang ia cari
, “Mbak minta jambunya ya?” teriaknya. Bukan, bukan itu hal pentingnya. Hal
penting dari kedatangan mereka adalah Provokasi yang mereka sampaikan pada saya.
“Mbak nggak boleh aja,” “Mbak jangan
diterima”. Tentu saja saya bertanya-tanya, memangnya kenapa? “nggak cukup ruang
lho Mbak!” lanjut mereka. “Loh emang berapa anak?” tanya saya. “Tiga lho
mbak..”. jedyar! Banyak juga! “Siapa wae?” tanya saya. “Alex, yang dulu ikut
itu lho Mbak, Adi, dan Rivan” (nama disamarkan). “Tapi sebenernya gpp asal
nanti kalian bisa mengkondisikan.” Ucap saya “Ah nggak usah mbak! Nanti rame
lho.. di jamin!” sahut mereka. “Memangnya nakal?” tanya saya. “Iya Mbak,
banget! Aku di sekolahan saja di jotosin!” kata Pur. Lalu mereka menceritakan
sederet aksi yang tidak perlu saya tulis di sini. Setelah itu Rian mengajak dua
kawannya untuk mengambil tas dan segera kembali, saya mengancam dengan penuh
canda, “Mandi dulu! yang belum mandi nggak boleh masuk ke rumah!” ucap saya,
dengan berkata dalam hati “kecuali saya sendiri yang punya rumah” karena belum
tentu juga saya sudah mandi saat mereka kembali ke rumah.
Saya jadi ge a el a u, galau galau
hatiku.. kalau mendengar cerita mereka sepertinya saya memang bakal kewalahan
menangani ketiga bocah (Alex, Adi, dan Rivan, selanjutnya saya sebut AAR) itu.
Tapi kalau menolak, apa yang harus saya katakan? Saya tidak tega, dan saya juga
tidak mau disebut sombong. Imej saya bisa jelek. Saat galau itulah, datang
(sebut saja) Putri, Ipah, Nika, dan Melan, anak kelas 6 yang lain. Setelah
mengucap salam, yang pertama kali mereka bahas pada saya juga mengenai AAR
tadi. Mereka juga memprovokasi saya bahwa saya tidak seharusnya menerima mereka
jika mereka ingin ikut belajar di sini. Tapi.. saya masih galau, apa yang harus
saya katakan? Nanti kalau mereka marah pada saya bagaimana? Kalau mereka
bertindak tidak baik pada kalian di sekolah bagaimana? (walaupun menurut mereka
itu sudah hal yang wajar).
Rian, Pur dan Teguh datang lagi.
Mereka langsung saja heboh membicarakan AAR yang akan datang (saya sedih
mendengarnya!). saking tidak maunya mereka jika AAR bergabung, Pur dan Nika
menggotong salah satu bangku yang biasa kami gunakan agar bisa menjadi alasan bahwa
tidak ada cukup tempat. Semakin banyak cerita yang mereka perdengarkan, saya
jadi semakin galau. Lalu datang beberapa anak lain dan mereka mulai
memperdebatkan apa yang harus dilakukan jika AAR datang, ada yang mengusulkan,
“Nanti kalau mereka datang kita ngumpet aja, jadi biar dikira nggak jadi
belajar.” Dan di sanggah temannya, “Lha sepedanya?” benar juga, saya langsung
melirik halaman yang sudah mulai penuh dengan sepeda onthel mereka. “Atau nanti
mbak sekar (saya) ngumpet dulu aja kalau mereka datang, terus kita bilang bahwa
belajarnya nggak jadi karena mbak sekarnya belum pulang.” Dan di sanggah dengan
alasan yang sama, tapi kali ini saya melirik sepeda motor saya yang bertengger
di dalam rumah. Dan berbagai usulan licik lainnya.
Pukul 15.30, setengah jam sebelum
kami memulai kegiatan rutin belajar bersama kami. Ipah melihat keluar dan
mengabarkan kedatangan AAR, “Mereka datang, gimana ni Mbak? Oh mereka ternyata
bareng (sebut saja) Pendi..” (pendi sudah biasa belajar bersama kami, namun
kali ini kenapa ia justru di pihak AAR?). Galau dan sedih menyeruak kembali,
menghindari masalah, saya pun pamit sholat ashar. Selesai sholat, saya mengajak
para anak perempuan berdiskusi “Mbak sekar galau, mbak sekar nggak tega kalau
menyuruh mereka pulang begitu saja. Mbak sekar juga ndak mau kalau mereka marah
dan kalian jadi imbasnya, jadi gimana kalau kita beri saja mereka kesempatan?
Kalau hari ini mereka bisa bersikap tenang dan tidak membuat gaduh, kita
biarkan mereka belajar bersama kita. Bagaimana?” usul saya yang akhirnya
disetujui mereka. Pada awalnya (sebut saja) Mila keukeuh tidak mau kalau mereka
dijinkan, tapi akhirnya setuju dan minta persetujuan saya untuk menuliskan
peraturan yang sudah kami sepakati saat belajar. Saya menolak, tapi Mila
mengatakan “peraturan di larang makan saat belajar mbak” dan itu membuat saya
lega, karena sebelumnya ia mengusulkan untuk menambah peraturan tidak logis
semacam “rambut harus hitam, nggak boleh di cat” (karena ada salah satu dari
AAR yang mengecat rambutnya dengan warna merah). Mana mungkin saya menyetujui
peraturan semacam itu, “mbak sekar bukan orang tua mereka, mbak sekar juga
bukan guru mereka, apa hak mbak sekar?” tanya saya.
Tak lama kemudian, Pendi menemui saya dan menanyakan
“Mbak temenku mau ikut belajar, boleh nggak?” dengan bingung dan memberanikan
diri saya menjawab, “Boleh saja, asalkan mereka bisa tidak rame. Mbak beri
kesempatan,” hanya itu jawaban saya pada akhirnya. saya melihat jam dinding dan
masih ada waktu sekitar sepuluh menit sebelum pukul 16.00. Saya mengamati apa
yang mereka lakukan. Semua anak laki-laki kecuali (sebut saja) Sulton yang
berdiam diri di dalam rumah tidak tahu karena apa (mungkin karena tahu bahwa
ada AAR yang nakal di luar sana, dan Sulton berasal dari SD lain yang kata Rian
tadi AAR memusihi SD Sulton tidak sepertinya dkk) mereka berkumpul di jalanan
depan rumah. Sangat rame dan tidak jelas apa yang mereka sebenarnya kerjakan.
Beberapa anak bermain dengan sepeda anak yang lain, lalu saya mendengar
panggilan anak-anak perempuan dari teras, “Mbak Sekar, Mbak Sekar!!!!” teriak
mereka, saya menuju pintu, masih belum berani melihat AAR, “Sepedanya Pur mau
diceburin kali Mbak!” teriak mereka bebarengan. Ya, memang saya lihat sepeda
Pur sudah berada di pinggir sungai kecil depan rumah saya. Dari situ saya bisa
menyimpulkan bahwa cerita-cerita provokasi mereka tadi benar mengenai sikap AAR
di sekolah.
Tak lama kemudian, saya melihat sendiri seorang anak
seperti melempar sepede Pur. Saya langsung berteriak, “Kenapa Pur sepedanya?”
Pur berusaha menutup-nutupi, “Nggak apa-apa Mbak,” ucapnya. Tapi saya tahu
bahwa sepedanya bukan tidak apa-apa karena Pur sedang membetulkan sesuatu di
bagian belakang sepedanya. Lalu terdengar teriakan suara yang masih asing di
telinga saya, “Lha itu tadinya juga sudah rusak!” ucapnya, mungkin itu suara
salah satu dari AAR. Saya tidak mempedulikannya dan melihat jam (kali ini saya
sudah benar-benar ilfeel pada AAR), lima menit lagi. saya memanggil mereka
semua memasuki rumah, saya juga memanggil Pendi yang masih berkumpul bersama
AAR. Saya tahu ekspresi itu, ia memang tidak menghiraukan panggilan saya tapi
saya rasa sebenarnya dia hanya takut pada AAR kalau harus masuk bersama
teman-teman yang lain. Sebenarnya panggilan itu juga saya tujukan pada AAR agar
segera mendekat dan mengatakan apa yang seharusnya mereka katakan pada saya.
Tapi yang terjadi justru sesuatu yang sungguh diluar dugaan saya.
Pendi memutar balik sepeda motornya yang sudah
diparkir di halaman dan melaju bersama AAR pergi menjauhi rumah saya. Bahkan
setelah beberapa lama mereka (empat anak dengan dua sepeda motor) lewat di
depan rumah lagi ke arah sebaliknya sambil membuat suara seperti orang kampanya
kalau kata Ipah. Saya terkejut, shock, dan kecewa. Sangat kecewa. Kenapa harus
Pendi? Kenapa dia harus terjerumus dalam lingkaran AAR? Dia sebenarnya anak
yang manis dan baik. Saya menyukainya saat belajar bersama kami. Tapi saya rasa
saya juga harus mengerti posisinya sekarang. Pendi.. semoga kamu bisa segera
keluar dari lingkaran mereka da bergabung bersama kami lagi. andai ada yang
bisa Mbak sekar lakukan untuk membantumu….
Dengan terjadinya fenomena ini, saya rasa saya menjadi
sedikit lebih mengenal dunia mereka lebih mendalam… terimakasih AAR.
Maaf mungkin dua topik yang lain bisa saya sampaikan
lain waktu karena “matahari terbenam, hari mulai malam…..” Terimakasiiiih… :-)
Karanganyar, 19 Februari 2014
22 : 56 pm
Semoga Bermanfaat :-)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar