Rabu, 19 Februari 2014

Draft 1 : Dunia Mereka


          Khusus pada entri berjudul draft akan ada fenomena-fenomena kehidupan yang saya bagikan. Semoga bermanfaat dan bisa di pahami :) 
            Tulisan kali ini akan membahas tiga fenomena yang tidak biasa sore ini. Tentang kenakalan anak SD, kecurangan dan sikap negative yang dimiliki oknum ‘guru’, dan persepsi-persepsi pada seorang tukang tambal ban.
            Pertama, mari bicarakan tentang kenakalan anak SD. Well, sebenarnya ini semacam curcol. Sebut sja begitu jika anda menyukainya, tapi saya lebih suka menyebut ini sebagai sedikit dokumentasi dan semoga bisa bermanfaat dan menjadi pelajaran bagi yang memahami.
            Berawal dari sms yang saya terima dari seorang adik, anak kelas 6 SD (sebut saja Rian) yang biasa belajar bersama saya di rumah beserta 18 temannya yang lain. Ia mengirim pesan dalam bahasa jawa yang kurang lebih seperti ini, “Mbak, nanti sore ada teman baru, boleh nggak Mbak?” sampai tiga kali ia mengirimkannya. Dengan panik dan tanpa pikir panjang, saya mengiyakan, “Nggeh, yan.” Saya kirimkan padanya. Sesampainya di rumah, si Rian ini beserta dua temannya, sebut saja Teguh dan Purwanto, datang ke rumah saya. Awalnya saya kira mereka memang ingin datang lebih awal saja, tapi dugaan saya salah karena mereka tidak membawa buku satupun. Pur langsung saja mengamati pohon jambu di depan rumah, dan saat menemukan apa yang ia cari , “Mbak minta jambunya ya?” teriaknya. Bukan, bukan itu hal pentingnya. Hal penting dari kedatangan mereka adalah Provokasi yang mereka sampaikan pada saya.
            “Mbak nggak boleh aja,” “Mbak jangan diterima”. Tentu saja saya bertanya-tanya, memangnya kenapa? “nggak cukup ruang lho Mbak!” lanjut mereka. “Loh emang berapa anak?” tanya saya. “Tiga lho mbak..”. jedyar! Banyak juga! “Siapa wae?” tanya saya. “Alex, yang dulu ikut itu lho Mbak, Adi, dan Rivan” (nama disamarkan). “Tapi sebenernya gpp asal nanti kalian bisa mengkondisikan.” Ucap saya “Ah nggak usah mbak! Nanti rame lho.. di jamin!” sahut mereka. “Memangnya nakal?” tanya saya. “Iya Mbak, banget! Aku di sekolahan saja di jotosin!” kata Pur. Lalu mereka menceritakan sederet aksi yang tidak perlu saya tulis di sini. Setelah itu Rian mengajak dua kawannya untuk mengambil tas dan segera kembali, saya mengancam dengan penuh canda, “Mandi dulu! yang belum mandi nggak boleh masuk ke rumah!” ucap saya, dengan berkata dalam hati “kecuali saya sendiri yang punya rumah” karena belum tentu juga saya sudah mandi saat mereka kembali ke rumah.
            Saya jadi ge a el a u, galau galau hatiku.. kalau mendengar cerita mereka sepertinya saya memang bakal kewalahan menangani ketiga bocah (Alex, Adi, dan Rivan, selanjutnya saya sebut AAR) itu. Tapi kalau menolak, apa yang harus saya katakan? Saya tidak tega, dan saya juga tidak mau disebut sombong. Imej saya bisa jelek. Saat galau itulah, datang (sebut saja) Putri, Ipah, Nika, dan Melan, anak kelas 6 yang lain. Setelah mengucap salam, yang pertama kali mereka bahas pada saya juga mengenai AAR tadi. Mereka juga memprovokasi saya bahwa saya tidak seharusnya menerima mereka jika mereka ingin ikut belajar di sini. Tapi.. saya masih galau, apa yang harus saya katakan? Nanti kalau mereka marah pada saya bagaimana? Kalau mereka bertindak tidak baik pada kalian di sekolah bagaimana? (walaupun menurut mereka itu sudah hal yang wajar).
            Rian, Pur dan Teguh datang lagi. Mereka langsung saja heboh membicarakan AAR yang akan datang (saya sedih mendengarnya!). saking tidak maunya mereka jika AAR bergabung, Pur dan Nika menggotong salah satu bangku yang biasa kami gunakan agar bisa menjadi alasan bahwa tidak ada cukup tempat. Semakin banyak cerita yang mereka perdengarkan, saya jadi semakin galau. Lalu datang beberapa anak lain dan mereka mulai memperdebatkan apa yang harus dilakukan jika AAR datang, ada yang mengusulkan, “Nanti kalau mereka datang kita ngumpet aja, jadi biar dikira nggak jadi belajar.” Dan di sanggah temannya, “Lha sepedanya?” benar juga, saya langsung melirik halaman yang sudah mulai penuh dengan sepeda onthel mereka. “Atau nanti mbak sekar (saya) ngumpet dulu aja kalau mereka datang, terus kita bilang bahwa belajarnya nggak jadi karena mbak sekarnya belum pulang.” Dan di sanggah dengan alasan yang sama, tapi kali ini saya melirik sepeda motor saya yang bertengger di dalam rumah. Dan berbagai usulan licik lainnya.
            Pukul 15.30, setengah jam sebelum kami memulai kegiatan rutin belajar bersama kami. Ipah melihat keluar dan mengabarkan kedatangan AAR, “Mereka datang, gimana ni Mbak? Oh mereka ternyata bareng (sebut saja) Pendi..” (pendi sudah biasa belajar bersama kami, namun kali ini kenapa ia justru di pihak AAR?). Galau dan sedih menyeruak kembali, menghindari masalah, saya pun pamit sholat ashar. Selesai sholat, saya mengajak para anak perempuan berdiskusi “Mbak sekar galau, mbak sekar nggak tega kalau menyuruh mereka pulang begitu saja. Mbak sekar juga ndak mau kalau mereka marah dan kalian jadi imbasnya, jadi gimana kalau kita beri saja mereka kesempatan? Kalau hari ini mereka bisa bersikap tenang dan tidak membuat gaduh, kita biarkan mereka belajar bersama kita. Bagaimana?” usul saya yang akhirnya disetujui mereka. Pada awalnya (sebut saja) Mila keukeuh tidak mau kalau mereka dijinkan, tapi akhirnya setuju dan minta persetujuan saya untuk menuliskan peraturan yang sudah kami sepakati saat belajar. Saya menolak, tapi Mila mengatakan “peraturan di larang makan saat belajar mbak” dan itu membuat saya lega, karena sebelumnya ia mengusulkan untuk menambah peraturan tidak logis semacam “rambut harus hitam, nggak boleh di cat” (karena ada salah satu dari AAR yang mengecat rambutnya dengan warna merah). Mana mungkin saya menyetujui peraturan semacam itu, “mbak sekar bukan orang tua mereka, mbak sekar juga bukan guru mereka, apa hak mbak sekar?” tanya saya.
Tak lama kemudian, Pendi menemui saya dan menanyakan “Mbak temenku mau ikut belajar, boleh nggak?” dengan bingung dan memberanikan diri saya menjawab, “Boleh saja, asalkan mereka bisa tidak rame. Mbak beri kesempatan,” hanya itu jawaban saya pada akhirnya. saya melihat jam dinding dan masih ada waktu sekitar sepuluh menit sebelum pukul 16.00. Saya mengamati apa yang mereka lakukan. Semua anak laki-laki kecuali (sebut saja) Sulton yang berdiam diri di dalam rumah tidak tahu karena apa (mungkin karena tahu bahwa ada AAR yang nakal di luar sana, dan Sulton berasal dari SD lain yang kata Rian tadi AAR memusihi SD Sulton tidak sepertinya dkk) mereka berkumpul di jalanan depan rumah. Sangat rame dan tidak jelas apa yang mereka sebenarnya kerjakan. Beberapa anak bermain dengan sepeda anak yang lain, lalu saya mendengar panggilan anak-anak perempuan dari teras, “Mbak Sekar, Mbak Sekar!!!!” teriak mereka, saya menuju pintu, masih belum berani melihat AAR, “Sepedanya Pur mau diceburin kali Mbak!” teriak mereka bebarengan. Ya, memang saya lihat sepeda Pur sudah berada di pinggir sungai kecil depan rumah saya. Dari situ saya bisa menyimpulkan bahwa cerita-cerita provokasi mereka tadi benar mengenai sikap AAR di sekolah.
Tak lama kemudian, saya melihat sendiri seorang anak seperti melempar sepede Pur. Saya langsung berteriak, “Kenapa Pur sepedanya?” Pur berusaha menutup-nutupi, “Nggak apa-apa Mbak,” ucapnya. Tapi saya tahu bahwa sepedanya bukan tidak apa-apa karena Pur sedang membetulkan sesuatu di bagian belakang sepedanya. Lalu terdengar teriakan suara yang masih asing di telinga saya, “Lha itu tadinya juga sudah rusak!” ucapnya, mungkin itu suara salah satu dari AAR. Saya tidak mempedulikannya dan melihat jam (kali ini saya sudah benar-benar ilfeel pada AAR), lima menit lagi. saya memanggil mereka semua memasuki rumah, saya juga memanggil Pendi yang masih berkumpul bersama AAR. Saya tahu ekspresi itu, ia memang tidak menghiraukan panggilan saya tapi saya rasa sebenarnya dia hanya takut pada AAR kalau harus masuk bersama teman-teman yang lain. Sebenarnya panggilan itu juga saya tujukan pada AAR agar segera mendekat dan mengatakan apa yang seharusnya mereka katakan pada saya. Tapi yang terjadi justru sesuatu yang sungguh diluar dugaan saya.
Pendi memutar balik sepeda motornya yang sudah diparkir di halaman dan melaju bersama AAR pergi menjauhi rumah saya. Bahkan setelah beberapa lama mereka (empat anak dengan dua sepeda motor) lewat di depan rumah lagi ke arah sebaliknya sambil membuat suara seperti orang kampanya kalau kata Ipah. Saya terkejut, shock, dan kecewa. Sangat kecewa. Kenapa harus Pendi? Kenapa dia harus terjerumus dalam lingkaran AAR? Dia sebenarnya anak yang manis dan baik. Saya menyukainya saat belajar bersama kami. Tapi saya rasa saya juga harus mengerti posisinya sekarang. Pendi.. semoga kamu bisa segera keluar dari lingkaran mereka da bergabung bersama kami lagi. andai ada yang bisa Mbak sekar lakukan untuk membantumu….
Dengan terjadinya fenomena ini, saya rasa saya menjadi sedikit lebih mengenal dunia mereka lebih mendalam… terimakasih AAR.

Maaf mungkin dua topik yang lain bisa saya sampaikan lain waktu karena “matahari terbenam, hari mulai malam…..” Terimakasiiiih… :-)

Karanganyar, 19 Februari 2014
22 : 56 pm
Semoga Bermanfaat :-)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar