Jumat, 15 Agustus 2014

Senyum Anti Sindiran [Bagian 1]


s4stika

Setiap pertemuan kita dengan orang-orang, masing-masing memiliki makna dan pelajaran tersendiri bagi kehidupan kita…

            Kulirik lagi Fajri yang dengan tergesa-gesa mengerjakan PR matematika dari Pak Luhur kemarin siang. Ah aku salah, ia bukan sedang mengerjakan PR itu melainkan sedang menyalin pekerjaan milik Anida, teman sebangkuku. Lagi.
            Sepersekian detik kemudian Fajri tampak tersenyum puas dan menghela napas lega sebelum kemudian beranjak berdiri menghampiri meja kami.
            “Ini An, buku kamu..” ucapnya sembari meletakkan buku di atas meja. Anida yang sedang berkutat dengan TTS-nya mendongak,
            “Oh, iya.” Hanya itu yang diucapkan Anida dan ia kembali memutar pandangan pada TTS.
            “Lestari, kamu udah ngerjain?” tanya Fajri tiba-tiba padaku.
            “Udah…”
            “Oh…” ucapnya sambil lalu. Dalam hati aku menggumam Oh, dia melakukannya lagi.
***                              ***

            Lima menit lagi dan kelas kami, XII IPS 2 akan memenangkan pertandingan persahabatan antar kelas kalau teman-temanku bisa mempertahankan poin 2-1. Waktu yang segera habis, tenaga yang telah terkuras, dan teriakan penonton yang semakin menggila, menumbuhkan suasana memanas di antara para pemain, kurasa. Pertandingan semakin seru diiringi bola yang nyaris memasuki gawang kedua kiper berkali-kali.
Kulihat Fajri begitu bersemangat meskipun peluh bercucuran di wajahnya. Kini, saat waktu tinggal satu menit saja, bola sedang dalam kuasanya. Dengan gesit ia melalui para pemain lawan dan melaju mendekati gawang. Tapi tiba-tiba,
            “BBBRRUUGG….”
            Fajri jatuh tersungkur, bola keluar dari kendalinya dan wasit membunyikan peluit tanda pertandingan telah usai. Terdengar sorak gembira dari teman-teman sekelas. Tapi Fajri, masih terduduk merintih kesakitan karena kedua lututnya berdarah.
            “Teman-teman! Fajri butuh bantuan.” Teriak Toni tiba-tiba sesaat setelah ia menoleh ke arah Fajri dan melihat lututnya berdarah. Sontak, teman-teman pun segera menghampiri Fajri dan melingkarinya. Tapi Toni tidak demikian, ia berlari ke arah UKS dan kembali dengan membawa sebotol obat merah dan kain kasa.
            “Fajri, ini segera dipakai..” ucapnya.
            Fajri menerima obat merah dan kain kasa itu, “Oh, iya Ton.”
            Toni terdiam. Dalam hati aku menggumam Oh, dia melakukannya lagi.
***                              ***
            Menunggu memang bukan hal yang bisa disebut menyenangkan. Tapi beda jadinya kalau sepulang sekolah menunggu dijemput Ayah ditemani Pak Ruri di pos satpam seperti ini. Pak Ruri adalah satpam yang menyenangkan dan mampu mencairkan suasana. Beliau selalu punya cerita dan lelucon yang membuat waktu cepat berlalu.
            “Lestari cita-citanya menjadi apa?” tanya Pak Ruri.
            “Uhmm… jadi hakim agung pak.”
“Wah, Tari cita-cita itu yang tinggi dong.”
            “Loh? Bukannya hakim agung itu udah posisi yang tinggi ya pak?”
            “Tentu saja belum..” ucap Pak Ruri dengan nada ngeyel.
            “Ya udah deh pak, kalo gitu Tari pengin jadi presiden aja deh sekalian. Gimana pak?”
            “Haha.. itu masih rendah.”
            “Ya udah deh pak, sekarang Tari yang tanya ke pak Ruri, emang cita-cita pak Ruri apa lebih tinggi dari Tari?”
            “Ya jelas dong, biarpun satpam gini bapak masih menggenggam cita-cita tertinggi bapak.”
            “Apaan pak?”
            “Ingin ke bulan, hehehe… tinggi kan cita-cita bapak?”
            “Hahaha… dasar pak Ruri!”
            Tawa kami terhenti karena kehadiran Fajri.
            “Loh Fajri? Ngapain di sini? Kok belum pulang?” tanya pak Ruri.
            “Iya pak. Lutut saya masih susah buat jalan, jadi saya minta di antar-jemput Mamah.”
            “Ohh…” ucapku dan pak Ruri bebarengan.
            “Boleh pinjam handphone pak Ruri buat nelpon Mamah nggak pak?”
            “Oh iya, boleh boleh. Ini.” pak Ruri mengulurkan handphone-nya. Lalu Fajri menekan keypad dan menghubungi ibunya. Tapi ia lama sekali telponnya tak segera diangkat hingga ia mulai menunjukkan ekspresi cemas.
            “Kenapa Fajri?” tanyaku.
            “Ah ini nih Mamah nggak ngangkat telponku..”
            “Ya udah dicoba lagi, atau kalo enggak mungkin Mamahmu lagi di jalan.”
            “Bener juga sih...” ucapnya sambil mengulang panggilan lagi.
            “Nah itu, bukannya itu Mamahnya Fajri?” kata pak Ruri sambil menunjuk ke gerbang dimana seorang ibu melintas dengan sepeda motornya. Fajri menoleh dan nampak bungah. Ia segera membatalkan panggilan,
            “Ini pak hape-nya, saya pulang dulu. Tari, aku duluan ya…” ucap Fajri sambil lalu.
            “Iya..” ucapku dan pak Ruri bebarengan lagi.
            Dalam hati aku menggumam Oh, dia melakukannya lagi.
***                              ***



kesalahan sederhana apa yang berulang kali Fajri lakukan? 
baca kelanjutan kisahnya di Senyum Anti Sindiran [Bagian 2] 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar