s4stika
Setiap
pertemuan kita dengan orang-orang, masing-masing memiliki makna dan pelajaran tersendiri bagi kehidupan kita…
Kulirik lagi Fajri yang dengan
tergesa-gesa mengerjakan PR matematika dari Pak Luhur kemarin siang. Ah aku
salah, ia bukan sedang mengerjakan PR itu melainkan sedang menyalin pekerjaan
milik Anida, teman sebangkuku. Lagi.
Sepersekian
detik kemudian Fajri tampak tersenyum puas dan menghela napas lega sebelum
kemudian beranjak berdiri menghampiri meja kami.
“Ini An,
buku kamu..” ucapnya sembari meletakkan buku di atas meja. Anida yang sedang
berkutat dengan TTS-nya mendongak,
“Oh, iya.”
Hanya itu yang diucapkan Anida dan ia kembali memutar pandangan pada TTS.
“Lestari,
kamu udah ngerjain?” tanya Fajri tiba-tiba padaku.
“Udah…”
“Oh…”
ucapnya sambil lalu. Dalam hati aku menggumam Oh, dia melakukannya lagi.
*** ***
Lima menit
lagi dan kelas kami, XII IPS 2 akan memenangkan pertandingan persahabatan antar
kelas kalau teman-temanku bisa mempertahankan poin 2-1. Waktu yang segera
habis, tenaga yang telah terkuras, dan teriakan penonton yang semakin menggila,
menumbuhkan suasana memanas di antara para pemain, kurasa. Pertandingan semakin
seru diiringi bola yang nyaris memasuki gawang kedua kiper berkali-kali.
Kulihat Fajri begitu bersemangat
meskipun peluh bercucuran di wajahnya. Kini, saat waktu tinggal satu menit
saja, bola sedang dalam kuasanya. Dengan gesit ia melalui para pemain lawan dan
melaju mendekati gawang. Tapi tiba-tiba,
“BBBRRUUGG….”
Fajri jatuh
tersungkur, bola keluar dari kendalinya dan wasit membunyikan peluit tanda
pertandingan telah usai. Terdengar sorak gembira dari teman-teman sekelas. Tapi
Fajri, masih terduduk merintih kesakitan karena kedua lututnya berdarah.
“Teman-teman!
Fajri butuh bantuan.” Teriak Toni tiba-tiba sesaat setelah ia menoleh ke arah
Fajri dan melihat lututnya berdarah. Sontak, teman-teman pun segera menghampiri
Fajri dan melingkarinya. Tapi Toni tidak demikian, ia berlari ke arah UKS dan kembali
dengan membawa sebotol obat merah dan kain kasa.
“Fajri, ini
segera dipakai..” ucapnya.
Fajri
menerima obat merah dan kain kasa itu, “Oh, iya Ton.”
Toni terdiam.
Dalam hati aku menggumam Oh, dia melakukannya
lagi.
*** ***
Menunggu memang
bukan hal yang bisa disebut menyenangkan. Tapi beda jadinya kalau sepulang
sekolah menunggu dijemput Ayah ditemani Pak Ruri di pos satpam seperti ini. Pak
Ruri adalah satpam yang menyenangkan dan mampu mencairkan suasana. Beliau selalu
punya cerita dan lelucon yang membuat waktu cepat berlalu.
“Lestari
cita-citanya menjadi apa?” tanya Pak Ruri.
“Uhmm… jadi
hakim agung pak.”
“Wah, Tari cita-cita itu yang
tinggi dong.”
“Loh? Bukannya
hakim agung itu udah posisi yang tinggi ya pak?”
“Tentu saja
belum..” ucap Pak Ruri dengan nada ngeyel.
“Ya udah
deh pak, kalo gitu Tari pengin jadi presiden aja deh sekalian. Gimana pak?”
“Haha.. itu
masih rendah.”
“Ya udah
deh pak, sekarang Tari yang tanya ke pak Ruri, emang cita-cita pak Ruri apa
lebih tinggi dari Tari?”
“Ya jelas
dong, biarpun satpam gini bapak masih menggenggam cita-cita tertinggi bapak.”
“Apaan pak?”
“Ingin ke
bulan, hehehe… tinggi kan cita-cita bapak?”
“Hahaha…
dasar pak Ruri!”
Tawa kami
terhenti karena kehadiran Fajri.
“Loh Fajri?
Ngapain di sini? Kok belum pulang?” tanya pak Ruri.
“Iya pak.
Lutut saya masih susah buat jalan, jadi saya minta di antar-jemput Mamah.”
“Ohh…”
ucapku dan pak Ruri bebarengan.
“Boleh
pinjam handphone pak Ruri buat nelpon Mamah nggak pak?”
“Oh iya,
boleh boleh. Ini.” pak Ruri mengulurkan handphone-nya. Lalu Fajri menekan
keypad dan menghubungi ibunya. Tapi ia lama sekali telponnya tak segera
diangkat hingga ia mulai menunjukkan ekspresi cemas.
“Kenapa
Fajri?” tanyaku.
“Ah ini nih
Mamah nggak ngangkat telponku..”
“Ya udah
dicoba lagi, atau kalo enggak mungkin Mamahmu lagi di jalan.”
“Bener juga
sih...” ucapnya sambil mengulang panggilan lagi.
“Nah itu,
bukannya itu Mamahnya Fajri?” kata pak Ruri sambil menunjuk ke gerbang dimana
seorang ibu melintas dengan sepeda motornya. Fajri menoleh dan nampak bungah. Ia segera membatalkan panggilan,
“Ini pak
hape-nya, saya pulang dulu. Tari, aku duluan ya…” ucap Fajri sambil lalu.
“Iya..”
ucapku dan pak Ruri bebarengan lagi.
Dalam hati
aku menggumam Oh, dia melakukannya lagi.
*** ***
kesalahan sederhana apa yang berulang kali Fajri lakukan?
baca kelanjutan kisahnya di Senyum Anti Sindiran [Bagian 2]
baca kelanjutan kisahnya di Senyum Anti Sindiran [Bagian 2]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar