s4stika
Selasa yang indah.
Betapa tidak indah? Sinar mentari
dhuha yang seharusnya menghangatkan kulit, selasa ini justru tertutup gumpalan
hasil kondensasi yang menggelap. Betapa tidak indah? Angin sepoi yang
seharusnya menyejukkan respirasi, selasa ini justru saling berlomba menumbangkan
segala yang ada di hadapannya. Betapa tidak indah? Hari ini ada mata kuliah
dosen yang sangat kau segani, meskipun alam tak merestui. Selasa kelam yang
indah ini dirasakan Wulan sebagai hari yang tepat.
Selasa yang kelam.
Betapa tidak kelam? Ayam jago masih
tetap berkokok menyerukan kegembiraannya, meskipun mentari terhalang sinarnya.
Betapa tidak kelam? Hawa yang tepat untuk terbuai mimpi, justru dipaksa dosen
paling tak disegani untuk tetap ada perkuliahan. Selasa indah yang kelam ini
dirasakan Rendi sebagai hari yang tak
tepat.
Rendi berdecak heran, bagaimana bisa di cuaca
ekstrem selasa ini semua mahasiswa di kelasnya datang? Apakah karena UK yang
akan diadakan? Ah rasanya tidak, pasti karena pesona sang dosen muda yang
mereka gandrungi. Apa hanya aku yang
bosan di sini? Mereka tidak tahu saja siapa sebenarnya dosen itu. Batinnya.
Kelas hening, mereka terlarut dalam
lamunan masing-masing. Terdengar langkah kaki bertempo yang kian mengeras dari
luar kelas. Semakin nyaring dan daun pintu mulai bergerak. Wulan menatap dengan
antusias dan hati berdebar.
Sesosok pria dengan badan tinggi
tegap memasuki ruang kelas dengan senyum mengembang. Usianya mungkin sekitar awal
tiga puluhan. Dosen muda itu memiliki mata sayu yang tajam, hidung bangir, bibir penuh dan bentuk rahang
yang sempurna. Wulan senyam-senyum memandangi dosennya tersebut, apalagi posisi
duduknya yang berada di barisan paling depan menguntungkannya.
Tanpa basa-basi sang dosen
membagikan lembar jawab beserta soal.
Lima ribu empat ratus detik berlalu,
hampir seluruh mahasiswa keluar setelah mengumpulkan lembar jawab. Hawa selasa
ini membuat mereka tak sabar untuk segera pulang. Namun, masih tersisa Wulan,
Rendi dan sang dosen.
Wulan bangkit dari duduknya dan
mendekati sang dosen yang sedang membereskan laptopnya,
“Mm.. maaf pak,” ucapnya terbata.
“Iya Wulan, ada yang bisa saya
bantu?” sahut sang dosen dengan tatapan yang meluluh-lantahkan hati Wulan.
“Ya,
banting saja dirimu. Dosen biadab!” Batin Rendi yang sengaja menguping
dengan berpura-pura memainkan handphone-nya.
“Mmm.. ti, tidak Pak. Saya hanya ingin meminta
maaf..” ucapnya dengan lirih.
“Meminta maaf? Untuk apa?” heran
sang dosen.
“Mmm.. ss.. saya minta maaf.. jika
nanti.. mm… hasil ulangan saya buruk.” Ucap Wulan terbata. Wulan berpaling,
mengambil tasnya, melirik tajam Rendi, dan berlari keluar kelas.
“Dasar
gadis bodoh. Jadi dia benar-benar menyukai dosen itu?” Batin Rendi seraya
bangkit dan mengekor di belakang Wulan.
Sang dosen hanya mengangkat bahu,
tak peduli.
***
Dosen bermata sayu itu bernama
Setyo Ariyanto, dan mahasiswanya sering memanggilnya Pak Rian. Kini pak
Rian berjalan, masih dengan langkah
bertempo miliknya, menusuri lahan parkir gedung F yang begitu tintrim. Langit masih mendung, angin
masih berhembus kencang dengan sesekali mengusung bulir-bulir air membasahi
udara.
Mata sayu pak Rian berkeliling,
berharap menemukan manusia di sekitar sana selain dirinya. Tapi nihil, tiada
seorang pun di sana. Di selasa ekstrem seperti ini tak ada dosen yang tak
meliburkan mahasiswanya kecuali dirinya. Lalu seperti biasa, ia mengangkat bahu
tak peduli.
Pak Rian membuka pintu depan
mobilnya dan hampir saja memasuki mobilnya jika saja seseorang tidak menyeruduknya
dari belakang seraya menempelkan pistol tepat di leher belakangnya. Pak Rian
terkesiap dan jantungnya berdegup dengan kencang tak beraturan. Ia tak berani
menoleh ke arah si penodong. Jarinya yang menggenggam kunci mobil dan hendak
memasangnya pun gemetaran, alhasil kunci itu terjatuh.
“Sss.. siapa Anda?” pak Rian
memberanikan diri berkata-kata meskipun terbata, “Aa.. Apa mau…mu?” belum juga
pak Rian menyelesaikan kalimatnya, si penodong memukul tengkuk pak Rian dengan
balok kayu hingga pak Rian jatuh tersungkur dan pingsan.
***
Pak Rian mengerjap-ngerjap, matanya
pedih dan susah dibuka. Namun akhirnya ia melihat sekeliling. Pak Rian
tercengang melihat pemandangan di sekelilingnya. Bukan, bukan karena
keindahannya. Tapi karena hanya kegelapan yang dilihatnya, ia berada di suatu
ruangan yang begitu minim cahaya. Hanya ada sinar matahari yang masuk melalui genting kaca dengan
malasnya, tepat di atas kepalanya. Itupun sama sekali tidak membantu, karena
sinar malas itu disertai hujan angin di
luar sana.
Pak Rian hendak berdiri dan mencari
pintu keluar, tapi naas kedua pahanya diikatkan dengan kursi yang ia duduki.
Begitu pula kedua tangannya yang diikat di belakang dengan begitu erat dan
terasa mencekram. Sia-sia saja usahanya untuk memberontak.
“Anda sudah bangun pak Rian?”
sebuah suara mengejutkannya, refleks pak Rian terdiam dan berhenti memberontak.
Lebih tepatnya sebuah suara aneh, seperti suara yang disamarkan dengan
microphone, mengingatkan pak Rian pada sebuah acara berita investigasi yang
menguak berbagai kasus penyelewengan, suara narasumber yang disamarkan persis
seperti suara yang baru saja ia dengar.
“Siapa Anda?!” teriak pak Rian
parau.
“Ck ck ck… Tak usah berteriak
seperti itu Pak.” sahut suara aneh itu lagi. pak Rian memperkirakan bahwa
sumber suaranya ada beberapa meter di depannya.
“Saya jadi heran, kemana perginya
suara lembut bapak seperti ketika mengajar? Hahaha…”
“Kau… kalau begitu kau pasti salah
satu mahasiswaku!!” teriak pak Rian kalap.
“Hahaha… memangnya ada orang di
dunia yang begitu membenci seorang dosen kecuali mahasiswanya sendiri? Hahaha…”
“Lepaskan saya!! Apa salah saya?
Kalau kamu mahasiswa yang tidak suka dengan cara saya mengajar dan memberi
nilai, katakan saja langsung. Jangan menggunakan cara yang biadab seperti
ini!!”
“Biadab anda bilang? Hahaha.. lucu
sekali mendengar kata biadab yang diucapkan oleh manusia biadab. Dan biar saya
luruskan, ini bukan tentang nilai. Sama sekali bukan.”
“Lantas?!” sahut pak Rian dengan
suara yang sudah tidak berteriak.
-------------------nantikan
kelanjutannya----------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar