Jumat, 05 September 2014

Mencintai Mati, Menghidupi Malu [Bagian 1]

s4stika


Selasa yang indah.
Betapa tidak indah? Sinar mentari dhuha yang seharusnya menghangatkan kulit, selasa ini justru tertutup gumpalan hasil kondensasi yang menggelap. Betapa tidak indah? Angin sepoi yang seharusnya menyejukkan respirasi, selasa ini justru saling berlomba menumbangkan segala yang ada di hadapannya. Betapa tidak indah? Hari ini ada mata kuliah dosen yang sangat kau segani, meskipun alam tak merestui. Selasa kelam yang indah ini dirasakan Wulan sebagai hari yang tepat.
Selasa yang kelam.
Betapa tidak kelam? Ayam jago masih tetap berkokok menyerukan kegembiraannya, meskipun mentari terhalang sinarnya. Betapa tidak kelam? Hawa yang tepat untuk terbuai mimpi, justru dipaksa dosen paling tak disegani untuk tetap ada perkuliahan. Selasa indah yang kelam ini dirasakan Rendi sebagai hari yang tak tepat.
 Rendi berdecak heran, bagaimana bisa di cuaca ekstrem selasa ini semua mahasiswa di kelasnya datang? Apakah karena UK yang akan diadakan? Ah rasanya tidak, pasti karena pesona sang dosen muda yang mereka gandrungi. Apa hanya aku yang bosan di sini? Mereka tidak tahu saja siapa sebenarnya dosen itu.  Batinnya.
Kelas hening, mereka terlarut dalam lamunan masing-masing. Terdengar langkah kaki bertempo yang kian mengeras dari luar kelas. Semakin nyaring dan daun pintu mulai bergerak. Wulan menatap dengan antusias dan hati berdebar.
Sesosok pria dengan badan tinggi tegap memasuki ruang kelas dengan senyum mengembang. Usianya mungkin sekitar awal tiga puluhan. Dosen muda itu memiliki mata sayu yang tajam, hidung bangir, bibir penuh dan bentuk rahang yang sempurna. Wulan senyam-senyum memandangi dosennya tersebut, apalagi posisi duduknya yang berada di barisan paling depan menguntungkannya.
Tanpa basa-basi sang dosen membagikan lembar jawab beserta soal.
Lima ribu empat ratus detik berlalu, hampir seluruh mahasiswa keluar setelah mengumpulkan lembar jawab. Hawa selasa ini membuat mereka tak sabar untuk segera pulang. Namun, masih tersisa Wulan, Rendi dan sang dosen.
Wulan bangkit dari duduknya dan mendekati sang dosen yang sedang membereskan laptopnya,
“Mm.. maaf pak,” ucapnya terbata.
“Iya Wulan, ada yang bisa saya bantu?” sahut sang dosen dengan tatapan yang meluluh-lantahkan hati Wulan.
“Ya, banting saja dirimu. Dosen biadab!” Batin Rendi yang sengaja menguping dengan berpura-pura memainkan handphone-nya.
 “Mmm.. ti, tidak Pak. Saya hanya ingin meminta maaf..” ucapnya dengan lirih.
“Meminta maaf? Untuk apa?” heran sang dosen.
“Mmm.. ss.. saya minta maaf.. jika nanti.. mm… hasil ulangan saya buruk.” Ucap Wulan terbata. Wulan berpaling, mengambil tasnya, melirik tajam Rendi, dan berlari keluar kelas.
“Dasar gadis bodoh. Jadi dia benar-benar menyukai dosen itu?” Batin Rendi seraya bangkit dan mengekor di belakang Wulan.
Sang dosen hanya mengangkat bahu, tak peduli.
***
Dosen bermata sayu itu bernama Setyo Ariyanto, dan mahasiswanya sering memanggilnya Pak Rian. Kini pak Rian  berjalan, masih dengan langkah bertempo miliknya, menusuri lahan parkir gedung F yang begitu tintrim. Langit masih mendung, angin masih berhembus kencang dengan sesekali mengusung bulir-bulir air membasahi udara.
Mata sayu pak Rian berkeliling, berharap menemukan manusia di sekitar sana selain dirinya. Tapi nihil, tiada seorang pun di sana. Di selasa ekstrem seperti ini tak ada dosen yang tak meliburkan mahasiswanya kecuali dirinya. Lalu seperti biasa, ia mengangkat bahu tak peduli.
Pak Rian membuka pintu depan mobilnya dan hampir saja memasuki mobilnya jika saja seseorang tidak menyeruduknya dari belakang seraya menempelkan pistol tepat di leher belakangnya. Pak Rian terkesiap dan jantungnya berdegup dengan kencang tak beraturan. Ia tak berani menoleh ke arah si penodong. Jarinya yang menggenggam kunci mobil dan hendak memasangnya pun gemetaran, alhasil kunci itu terjatuh.
“Sss.. siapa Anda?” pak Rian memberanikan diri berkata-kata meskipun terbata, “Aa.. Apa mau…mu?” belum juga pak Rian menyelesaikan kalimatnya, si penodong memukul tengkuk pak Rian dengan balok kayu hingga pak Rian jatuh tersungkur dan pingsan.
***
Pak Rian mengerjap-ngerjap, matanya pedih dan susah dibuka. Namun akhirnya ia melihat sekeliling. Pak Rian tercengang melihat pemandangan di sekelilingnya. Bukan, bukan karena keindahannya. Tapi karena hanya kegelapan yang dilihatnya, ia berada di suatu ruangan yang begitu minim cahaya. Hanya ada sinar matahari  yang masuk melalui genting kaca dengan malasnya, tepat di atas kepalanya. Itupun sama sekali tidak membantu, karena sinar malas itu disertai hujan angin  di luar sana.
Pak Rian hendak berdiri dan mencari pintu keluar, tapi naas kedua pahanya diikatkan dengan kursi yang ia duduki. Begitu pula kedua tangannya yang diikat di belakang dengan begitu erat dan terasa mencekram. Sia-sia saja usahanya untuk memberontak.
“Anda sudah bangun pak Rian?” sebuah suara mengejutkannya, refleks pak Rian terdiam dan berhenti memberontak. Lebih tepatnya sebuah suara aneh, seperti suara yang disamarkan dengan microphone, mengingatkan pak Rian pada sebuah acara berita investigasi yang menguak berbagai kasus penyelewengan, suara narasumber yang disamarkan persis seperti suara yang baru saja ia dengar.
“Siapa Anda?!” teriak pak Rian parau.
“Ck ck ck… Tak usah berteriak seperti itu Pak.” sahut suara aneh itu lagi. pak Rian memperkirakan bahwa sumber suaranya ada beberapa meter di depannya.
“Saya jadi heran, kemana perginya suara lembut bapak seperti ketika mengajar? Hahaha…”
“Kau… kalau begitu kau pasti salah satu mahasiswaku!!” teriak pak Rian kalap.
“Hahaha… memangnya ada orang di dunia yang begitu membenci seorang dosen kecuali mahasiswanya sendiri? Hahaha…”
“Lepaskan saya!! Apa salah saya? Kalau kamu mahasiswa yang tidak suka dengan cara saya mengajar dan memberi nilai, katakan saja langsung. Jangan menggunakan cara yang biadab seperti ini!!”
“Biadab anda bilang? Hahaha.. lucu sekali mendengar kata biadab yang diucapkan oleh manusia biadab. Dan biar saya luruskan, ini bukan tentang nilai. Sama sekali bukan.”
“Lantas?!” sahut pak Rian dengan suara yang sudah tidak berteriak.

-------------------nantikan kelanjutannya----------------------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar