Dalam cerita sebelumnya, Pak Rian diculik oleh seorang yang
tak dikenal sepulang mengajar. Dan pada akhirnya beliau tahu kalau orang itu
adalah mahasiswanya sendiri.
“Lepaskan saya!! Apa salah saya?
Kalau kamu mahasiswa yang tidak suka dengan cara saya mengajar dan memberi
nilai, katakan saja langsung. Jangan menggunakan cara yang biadab seperti
ini!!”
“Biadab anda bilang? Hahaha.. lucu
sekali mendengar kata biadab yang diucapkan oleh manusia biadab. Dan biar saya
luruskan, ini bukan tentang nilai. Sama sekali bukan.”
“Lantas?” sahut pak Rian dengan
suara yang sudah tidak berteriak.
“Hhhh…”
suara aneh itu menghela napas, “pertanyaan bapak mengingatkan saya bahwa saya
benar-benar ingin menghabisi bapak secepatnya.”
“Apa???”
sahut pak Rian dengan mata membelalak sekaligus mengisyaratkan ketakutan.
“Tapi santai saja dulu pak karena
sebenarnya pertanyaan bapak tadi sekaligus membuat saya sedih, karena
pertanyaan itu mengingatkan saya pada penyebab apa yang saya lakukan hari ini.
Membuat saya sedih karena teringat pada kakak saya, Nurina…”
Mendengar
penuturan suara aneh itu, Pak Rian tercekat, ia menelan ludah dan angannya
menerawang ke masa lalu.
“Mas Rian…”
“Iya Rina sayang,”
“Mas, aku pengin ngomong sesuatu
sama kamu..” ucap Nurina lirih.
“Iya ngomong aja, kenapa sungkan
begitu?” ucap Rian lembut sambil mengelus rambut Nurina.
“Mas kapan nikahin aku?”
Seketika tangan Rian berhenti
mengelus rambut Nurina, “Loh Rin? Kenapa kamu nanyain itu?” ucapnya dengan nada
yang lebih tinggi.
“Mm,mma, maafin Rina, Mas..”
“Sayang, kamu kan tahu posisi kita
masih kuliah, dan Papahku nggak akan ngijinin kita..” ucap Rian melembut.
Nurina mulai terisak, butiran bening
menyeruak dari kedua sudut matanya. “Tapi Mas.. aa, aa, aku.. aku hamil anakmu,
Mas.”
“Apa?! Itu nggak mungkin Rin. Ini
pasti cuman akal-akalan kamu kan biar aku cepet nikahin kamu?” Rian kaget dan
membentak Nurina dengan kasar.
Tangis Nurina semakin menjadi,
“Engga Mas.. hiks.. aku ngga bohong,”
“Nggak Rin, aku nggak mungkin
nikahin kamu sekarang. Papahku pasti akan menanggung malu dan sebagai rektor
universitas Papah pasti bakal ngeluarin aku dari kampus.. nggak Rin, itu nggak
boleh terjadi.”
“Tapi Mas.. lalu gimana dengan…”
“Gugurin..” sahut Rian dengan tegas.
“Apa Mas? Mas benar-benar tega?
Kalau itu yang Mas inginkan, lebih baik Mas bunuh aku sekalian bersama
bayiku..”
“Tapi itu solusi terbaik kalau kita
nggak mau nanggung malu Rin.” Ucap Rian ngeyel.
Air mata Nurina terus keluar, ia
sesenggukkan dan mengalami sakit hati yang begitu mendalam.
“Rina.. hiks.. Rina akan pergi Mas..
hiks.. dan.. hiks.. dan Rina nggak akan kembali kalau itu bisa membuat hidup
Mas Rian tenang.. hiks..” Rina bangkit dari duduknya, “selamat tinggal Mas,
hiks, semoga Mas bahagia, tapi ingat, Mas nggak akan hidup dan bisa sampai
melihat anak kita..” lalu Nurina berlari meninggalkan Rian yang diam terpaku
antara lega, dan sedih.
Sebutir air
keluar dari sudut mata Pak Rian, “Nurina..” gumamnya.
“Jadi.. apa
bapak masih ingat? Kalau begitu saya tak perlu repot-repot menjawab pertanyaan
bapak.”
“Bagaimana
kabarnya sekarang? Apa dia dan.. dan anakku baik-baik saja?” sahut pak Rian.
“Cuih…
bagaimana menurutmu dosen biadab? Apa menurutmu seorang wanita yang tengah
hamil, namun pacarnya tidak mau tanggung jawab karena malu dan takut hidup
susah jika diusir ayahnya, akan baik-baik saja?!”
“Tapi.. dia
yang meninggalkanku dan menghilang begitu saja.” Ucap pak Rian miris.
“Bukankah
itu yang kau inginkan, heh?!!” suara aneh itu mulai menunjukkan kemarahan.
“Ya..” ucap
pak Rian lirih dan kepalanya tertunduk, “Ya itu memang yang dulu kuinginkan.
Tapi, lambat laun aku sadar bahwa Rina satu-satunya gadis yang bisa kucintai
hingga sekarang..”
“Dasar
bodoh! Penyesalanmu itu sudah terlambat, kau takkan bisa melihat Kak Nurina
lagi seperti halnya kami!”
“Apa
maksudmu??”
“Kak Nurina
tewas saat memperjuangkan kelahiran anakmu, bodoh!”
Pak Rian
terdengar terisak, “Lantas, bagaimana dengan keadaan anakku?” ucapnya parau.
“Seperti
yang dikatakan Kak Nurina, kau takkan
hidup dan bisa sampai melihat anakmu.”
“Kumohon..
lepaskan aku! biarkan aku melihat anakku…”
“Tidak
akan!”
DOOORRRRR!!!!
Peluru
menembus tepat ke jantung Pak Rian hingga menghentikan denyutnya seketika.
Tujuh hari
kemudian di kantor polisi,
“Iya Pak,
memang saya yang menculik dan menembakkan peluru itu ke Pak Rian…”
-------------------nantikan
kelanjutannya----------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar