Rabu, 10 September 2014

Mencintai Mati, Menghidupi Malu [Bagian 2]

Lanjutan dari Mencintai Mati, Mengidupi Malu [Bagian 1]


          Dalam cerita sebelumnya, Pak Rian diculik oleh seorang yang tak dikenal sepulang mengajar. Dan pada akhirnya beliau tahu kalau orang itu adalah mahasiswanya sendiri.
“Lepaskan saya!! Apa salah saya? Kalau kamu mahasiswa yang tidak suka dengan cara saya mengajar dan memberi nilai, katakan saja langsung. Jangan menggunakan cara yang biadab seperti ini!!”
“Biadab anda bilang? Hahaha.. lucu sekali mendengar kata biadab yang diucapkan oleh manusia biadab. Dan biar saya luruskan, ini bukan tentang nilai. Sama sekali bukan.”
“Lantas?” sahut pak Rian dengan suara yang sudah tidak berteriak.
            “Hhhh…” suara aneh itu menghela napas, “pertanyaan bapak mengingatkan saya bahwa saya benar-benar ingin menghabisi bapak secepatnya.”
            “Apa???” sahut pak Rian dengan mata membelalak sekaligus mengisyaratkan ketakutan.
            “Tapi santai saja dulu pak karena sebenarnya pertanyaan bapak tadi sekaligus membuat saya sedih, karena pertanyaan itu mengingatkan saya pada penyebab apa yang saya lakukan hari ini. Membuat saya sedih karena teringat pada kakak saya, Nurina…”
            Mendengar penuturan suara aneh itu, Pak Rian tercekat, ia menelan ludah dan angannya menerawang ke masa lalu.
            “Mas Rian…”

            “Iya Rina sayang,”
            “Mas, aku pengin ngomong sesuatu sama kamu..” ucap Nurina lirih.
            “Iya ngomong aja, kenapa sungkan begitu?” ucap Rian lembut sambil mengelus rambut Nurina.
            “Mas kapan nikahin aku?”
            Seketika tangan Rian berhenti mengelus rambut Nurina, “Loh Rin? Kenapa kamu nanyain itu?” ucapnya dengan nada yang lebih tinggi.
            “Mm,mma, maafin Rina, Mas..”
            “Sayang, kamu kan tahu posisi kita masih kuliah, dan Papahku nggak akan ngijinin kita..” ucap Rian melembut.
            Nurina mulai terisak, butiran bening menyeruak dari kedua sudut matanya. “Tapi Mas.. aa, aa, aku.. aku hamil anakmu, Mas.”
            “Apa?! Itu nggak mungkin Rin. Ini pasti cuman akal-akalan kamu kan biar aku cepet nikahin kamu?” Rian kaget dan membentak Nurina dengan kasar.
            Tangis Nurina semakin menjadi, “Engga Mas.. hiks.. aku ngga bohong,”
            “Nggak Rin, aku nggak mungkin nikahin kamu sekarang. Papahku pasti akan menanggung malu dan sebagai rektor universitas Papah pasti bakal ngeluarin aku dari kampus.. nggak Rin, itu nggak boleh terjadi.”
            “Tapi Mas.. lalu gimana dengan…”
            “Gugurin..” sahut Rian dengan tegas.
            “Apa Mas? Mas benar-benar tega? Kalau itu yang Mas inginkan, lebih baik Mas bunuh aku sekalian bersama bayiku..”
            “Tapi itu solusi terbaik kalau kita nggak mau nanggung malu Rin.” Ucap Rian ngeyel.
            Air mata Nurina terus keluar, ia sesenggukkan dan mengalami sakit hati yang begitu mendalam.
            “Rina.. hiks.. Rina akan pergi Mas.. hiks.. dan.. hiks.. dan Rina nggak akan kembali kalau itu bisa membuat hidup Mas Rian tenang.. hiks..” Rina bangkit dari duduknya, “selamat tinggal Mas, hiks, semoga Mas bahagia, tapi ingat, Mas nggak akan hidup dan bisa sampai melihat anak kita..” lalu Nurina berlari meninggalkan Rian yang diam terpaku antara lega, dan sedih.
            Sebutir air keluar dari sudut mata Pak Rian, “Nurina..” gumamnya.
            “Jadi.. apa bapak masih ingat? Kalau begitu saya tak perlu repot-repot menjawab pertanyaan bapak.”
            “Bagaimana kabarnya sekarang? Apa dia dan.. dan anakku baik-baik saja?” sahut pak Rian.
            “Cuih… bagaimana menurutmu dosen biadab? Apa menurutmu seorang wanita yang tengah hamil, namun pacarnya tidak mau tanggung jawab karena malu dan takut hidup susah jika diusir ayahnya, akan baik-baik saja?!”
            “Tapi.. dia yang meninggalkanku dan menghilang begitu saja.” Ucap pak Rian miris.
            “Bukankah itu yang kau inginkan, heh?!!” suara aneh itu mulai menunjukkan kemarahan.
            “Ya..” ucap pak Rian lirih dan kepalanya tertunduk, “Ya itu memang yang dulu kuinginkan. Tapi, lambat laun aku sadar bahwa Rina satu-satunya gadis yang bisa kucintai hingga sekarang..”
            “Dasar bodoh! Penyesalanmu itu sudah terlambat, kau takkan bisa melihat Kak Nurina lagi seperti halnya kami!”
            “Apa maksudmu??”
            “Kak Nurina tewas saat memperjuangkan kelahiran anakmu, bodoh!”
            Pak Rian terdengar terisak, “Lantas, bagaimana dengan keadaan anakku?” ucapnya parau.
            “Seperti yang dikatakan Kak Nurina, kau takkan hidup dan bisa sampai melihat anakmu.
            “Kumohon.. lepaskan aku! biarkan aku melihat anakku…”
            “Tidak akan!”
            DOOORRRRR!!!!
            Peluru menembus tepat ke jantung Pak Rian hingga menghentikan denyutnya seketika.
            Tujuh hari kemudian di kantor polisi,
            “Iya Pak, memang saya yang menculik dan menembakkan peluru itu ke Pak Rian…”

-------------------nantikan kelanjutannya----------------------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar