Oleh :
s4stika
“Huuh..
menyebalkan sekali Pakdhe Giman itu, bangun rumah sampe ngebaki jalan. Emang dikira jalan milik pribadi apa..” Sinta
berjalan sambil menggerutu di sebuah gang sepulang sekolah. Ia menggerutu
karena sebal gara-gara tetangga sebelahnya sedang merenovasi rumah, katanya sih
ponakannya dari Jakarta akan mudik ke Jogja. Dan otomatis dia harus melewati
jalan memutar agar bisa mencapai rumahnya, apalagi sekarang sedang bulan puasa.
Jadi butuh tenaga ekstra, “Huufft.. sabar Sin. Inget puasa…” lanjutnya bergumam
sendiri.
Sesampainya
di rumah bukannya bisa langsung istirahat, eh malah dihujani pertanyaan Ibunya,
“Sinta,
jam segini kenapa baru pulang? Tadi ngapain di sekolah? Apa pelajaran kayak
biasa ndhuk? Sinta? Eh kamu denger
Ibuk nggak tho?” tutur Ibu Sinta dari
dapur. Sinta sendiri terkapar di sofa ruang tamu sambil memburu nafas.
Penasaran, Ibu Sinta melongok dari pintu, “Loh? Kok ndak cepetan salin? Malah
tiduran di situ?”
“hosh.. hosh.. capek Ibuuk..” sahut Sinta, “Gara-gara
Pakdhe Giman niku loh Buk. Hosh..
sebegitu sepesialnyakah ponakannya iku?
Huh.. hosh” lanjutnya menggerutu sambil masih kelelahan memburu nafas. Ibunya hanya tersenyum dengan pandangan
menerawang.
“Sinta, Sinta.. masa kamu nggak inget ndhuk?”
“Inget nopo tho Buk?”
“Ah yo wis,
ntar juga tau sendiri..” lalu Ibu Sinta kembali berkutat dengan masakannya,
meninggalkan Sinta yang skeptis penuh tanda tanya.
*** ***
“Rama…???” gumam Sinta sambil melongo menatap pemandangan
di hadapannya. Samar-samar dari kejauhan Sinta melihat ponakan Pakdhe Giman
yang sedang disambut keluarga Pakdhe Giman di pintu gerbang rumah Pakdhe yang
sekarang tampak semakin mewah.
“apa aku ngga salah
liat? Itu beneran si Rama? Kalo bukan kok mirip banget.. tapi apa iya Rama yang
dulu itu ponakannya Pakdhe Giman? Wah jangan-jangan ini yang dimaksud Ibuk ‘apa
kamu ndak inget?’ waktu itu?.. aahh~~ Rama, my first love.. don’t you remember
me?” gumam Sinta dalam hati, sedangkan fisiknya dia masih melongo dan
menerawang mengingat-ingat masa kecilnya bersama seorang anak laki-laki
berambut gondrong yang tampak manis sekali.
“Eh ndhuk Sinta,
ngapain bengong di situ? Sini..”sapa Pakdhe Giman mengagetkan Sinta dari
lamunannya.
“Oh, eh, eh.. mboten
Pakdhe. Sinta mau langsung pulang.. monggo”
sedetik kemudian Sinta menyesali perkataannya, karena ia seharusnya tidak
menyia-nyiakan kesempatan untuk memastikan bahwa itu benar-benar Rama atau
bukan.
“kalo dia Rama,
harusnya dia inget pas Pakdhe nyebut namaku tadi. Ah apa dia udah lupa yah?
Apakah kenangan itu ngga berkesan buat dia?” Sinta berjalan pulang dengan
lunglainya, masih belum mempercayai penglihatan dan kenyataan.
Sesampainya di rumah, Sinta mengaduk-aduk isi sebuah
kardus, mencari-cari sesuatu yang telah lama ia simpan..
“Ah.. akhirnya ketemu,” soraknya gembira sambil memegang
sebuah buku tulis kumal bergambar Teletubbies. Sinta mulai membuka-bukanya dan
menemukan sebuah kertas kecil bertuliskan “Rama dan Sinta”
Angannya menerawang ke masa kecil saat ia dan Rama
menuliskan nama mereka.
“enggak
Sinta, pake kerayon biru aja” rengek Rama. Sinta hanya cemberut,
“iya
deh terserah yang penting nulisnya yang bagus ..”
“iya
dong, Ibu Rama juga sering muji tulisan Rama kok..”
Tak terasa air mata mengalir di pipi Sinta. Sudah dua
belas tahun sejak mereka berpisah, dan Sinta masih tetap mengharapkan Rama. Namun apakah Rama masih mengingatku,
pikirnya.
*** ***
Minggu pagi, Sinta seperti biasa bersepeda onthel
keliling kampung. Saat melewati rumah Pakdhe Giman, ia melihat Rama yang sedang
berolahraga. Melihat Sinta yang mengamatinya, cowok itupun jadi melihati Sinta
juga dengan hati geli melihat ekspresi Sinta yang tampak takjub. Ia tiba-tiba
sengaja mengerling, dan saat itu juga tanpa sengaja Sinta menabrak sebuah batu
dan iapun terguling jatuh,
“aduuuuh… iiiissshhh.. sakit” rintih Sinta.
“makannya kalo naek sepeda ati-ati, jangan meleng dong Neng.. sini tak bantu” ucap
seseorang sambil mengulurkan tangan.
“Rama?..”
Yang dipanggil hanya
terdiam dan tampak sedikit kaget.
“Hah? Iya deh, Rama juga boleh.. kamu siapa?” ucap Rama.
“Kamu ngga inget? Sama sekali?” Sinta heran. Rama tampak
berpikir sejenak, lalu menggeleng lemah.
“Aku Sinta..”
“Oh.. yang kemarin dipanggil Pakdhe ya?” sahut Rama.
“yaah.. aku kira dia inget..” batin
Sinta, “ehm.. iya” ucapnya. Sinta berpikir mungkin kalau dia mencoba
mengingatkan Rama dengan membangkitkan kenangan-kenangan masa kecil mereka,
mungkin Rama akan ingat.
“Ikut yuk, sepedaan.. dulu kan..”
“Dulu?” sahut Rama bingung.
“Huuftt.. ah enggak, lupain” jawab Sinta, “ntar juga inget sendiri..” pikirnya.
“Ehhmm.. boleh juga deh, skalian olahraga.”
Lalu mereka bersepeda keliling kampung, berboncengan.
Sinta selalu menyisipkan kata “dulu” tiap kali menjelaskan tempat-tempat yang mereka
lewati, berharap Rama akan ingat. Tapi nihil, Rama tak terlihat ingat sama
sekali. Mereka berhenti di pinggir sungai desa.
“Airnya dingiiiin.. bbbrrrr..” ucap Rama saat menceburkan
kakinya.
“Tentu saja, ini kan masih pagi..” sahut Sinta. Tiba-tiba
Sinta teringat sesuatu, kenangan mereka waktu kecil di sana.
“Dulu waktu kita kecil..”
“Kita??” sahut Rama untuk kesekian kalinya heran dan
kebingungan.
“Ehm maaf, maksudku waktu aku dan teman-teman di desa ini
masih kecil kami sering bermain di bawah pohon beringin itu” ucap Sinta dengan
tangan menunjuk sebuah pohon beringin besar di seberang sungai. Dan tanpa Sinta
kira, Rama sudah berjalan menyeberang ke sana, buru-buru ia menyusul.
“Hey tungguin Ram..”
“Hmm.. dasar cewek, lelet. Hahaha..”
“Apa?” lalu Sinta sedikit berlari menghampiri Rama yang
sudah hampir sampai di tepi sungai, Sinta menyipratkan air ke punggung Rama
(Sinta ingat pernah main air bersama Rama dulu). Rama kaget dan berbalik
menyerang Sinta. Akhirnya mereka perang-perangan air di sungai.
“Ini akan terasa
mengasyikan seandainya kamu inget aku Ram..” pikir Sinta.
“Nggak nyesel deh
main sama ni gadis kampung..” batin Rama.
*** ***
Semenjak hari itu, Sinta berani mengajak Rama bermain
keluar. Bahkan saat harus minta ijin pada Pakdhe Giman. Sinta tak peduli malu,
ia berpikir yang penting Rama harus
segera inget aku. Rama yang entah kenapa tak bisa ingat sama sekali, jadi
semakin bingung dengan tingkah Sinta yang semakin agresif. Hingga suatu malam,
saat Sinta mengajaknya menyalakan kembang api setelah pulang tarawih,
“Sinta, kamu ini suka padaku ato gimana sih?” celetuk
Rama. Sinta yang sedang menyulut korek api kaget dan tanpa sengaja membakar
jarinya,
“Aw.. panass.. huuuff.. huff….” Rintihnya sambil meniupi
jarinya.
“Haduh, maaf ya Sin..”
Sinta mengernyit sebal dan berlari pulang, entah mengapa
kalimat Rama barusan menggores hatinya. Jadi bukan jarinya yang sakit,
hatinyalah yang lebih terasa sakit. Rama kebingungan di tempatnya, dan sedetik
kemudian menyesal kenapa membiarkan Sinta pergi begitu saja. Tapi di sisi lain,
ia juga bingung memangnya aku salah apa
sehingga harus merasa bersalah seperti ini?. Sedangkan sisi lain hatinya
berkata dia nangis Ram, dan itu nggak
mungkin cuman karna kebakar dikit tadi…
Rama terduduk di kursi taman Pakdhenya, memandang
bintang-bintang langit malam Jogja yang tak terlihat indah malam itu tanpa
keceriaan Sinta yang biasanya selalu bercerita dengan riang di sampingnya. Rama
baru sadar kalau selama ini ia sudah jatuh hati gadis itu..
Sinta sesenggukan di pangkuan Ibunya, masih terngiang
kalimat Rama tadi. Memang sepertinya biasa saja, tapi maknanya sangat dalam.
Karena itu kan berarti Rama sama sekali tak ingat masa kecil mereka dan selama
beberapa hari ini ia hanya menganggap Sinta sebagai gadis desa yang mengagumi cowok kota ponakan tetangga yang lagi mudik
lebaran. (more stories follow this link)
“Sudah ndhuk,
kalau Rama ngga inget sama kamu ya sudah.. toh
masih banyak cah
lanang sini yang suka sama kamu..” ucap Ibu Sinta menenangkan.
“Hiks.. Sinta kesel
Buk.. hiks.. bingung.. hiks.. mau apa lagi.. Rama berubah”
“Rama udah liat kertas itu belum?”
“Belum Ibuk.. itu harapan terakhir Sinta..”
*** ***
Keesokan harinya, Hari Raya Idul Fitri 1433 H..
Rama dan Sinta saling berpapasan di jalan antara rumahnya
dengan rumah Pakdhe Giman sepulang dari sholat Ied.
“Ram/Sin..” ucap mereka bebarengan.
“Kamu dulu Ram..”
“Ehm.. aku, aku cuma mau minta maaf soal semalem Sin. Aku
bener-bener ngga serius, semalem itu cuman celetukan doang kok.. swear! Please
maafin aku yaa..” tutur Rama tulus. Sinta tersenyum senang dan lega,
“Aku udah maafin kamu Ram,” ucapnya.
“Kamu mau bilang apa?”
“Ehm.. ini.. mungkin kamu bakalan inget masa lalu.. aku
udah nyoba segala cara buat ngingetin kamu, tapi hasilnya nihil..” tutur Sinta
sambil mengulurkan kertas bertuliskan nama mereka. Rama menerima kertas itu
dengan hati tambah bingung. Sinta deg-degan saat Rama mulai membuka lipatan kertasnya.
“Tiin… tiin…” sebuah mobil datang dari belakang Sinta,
mengagetkan mereka.
“Kakak.. akhirnya dateng juga..” ucap Rama menyambut
seorang cowok yang keluar dari mobil dan menghampirinya. Sinta
terbengong-bengong melihat pemandangan di depannya,
“Rama? Kok? ada dua Rama?” ucapnya tergagap.
“Sinta? Kamu Sinta kan? Kamu makin cantik…” ucap cowok
yang dipanggil Kakak oleh Rama tadi, “Loh dek? Itu bukannya kertas..” lalu ia
menyambar kertas dari tangan Rama.
“Aku ngga percaya, jadi kamu masih nyimpen ini Sin?”
ucapnya takjub.
“Ja.. jadi..?? siapa yang Rama di sini?” tanya Sinta
bingung.
“Kami berdua Rama..” ucap Rama, “sekarang aku paham
Sinta, jadi selama ini kamu mengira bahwa aku adalah Kakakku..”
“Apa? Tapi kamu bilang kamu Rama dan kamu juga pernah ke
sini..” sahut Sinta.
“Iya Sinta, itu semua emang benar. Aku Ramadhan Eka, dan
dia Ramadhan Dwi. Kami saudara kembar, dan kami sama-sama pernah kemari..”
tutur si Kakak, “panggil aja dia Dwi biar gampang..”
“Tapi dulu..” sahut Sinta semakin bingung.
“Iya, dulu hanya ada satu Rama, yaitu aku. Yang bermain
dan menjadi Pangeranmu dulu. Saat itu Dwi sakit-sakitan dan selalu dirawat di
dalem rumah Pakdhe, jadi kamu ngga kenal dia.” tutur Rama asli.
“Tapi Sin, dia hanya masa lalu kamu. Rama yang kamu suka
sekarang adalah aku, dan jujur.. Sinta, I love you..” sahut Dwi.
“Eh,
apa-apaan kamu dek? Selama ini kan Sinta nganggep kamu itu aku, jadi ya dia itu
sukanya sama aku.. Sinta, iya kan?” sahut Rama.
Sinta memandangi mereka satu-persatu,
“Aku gak ngerti..”
Tiba-tiba kepalanya pusing dan ia pingsan. Rama dan Dwi
segera meraihnya..
“Sinta????” teriak mereka berdua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar