Rabu, 23 April 2014

Dia Sedang Jatuh Cinta


s4stika

            Hangatnya mentari dhuha mulai merasuk ke dalam epidermisku. Kulirik ayam tetangga yang mendekap erat anak-anaknya yang mungil. Pastilah dekapan induk ayam itu melebihi hangatnya cahaya matahari dhuha yang kurasakan. Dekapan hangat Ibu, ya aku sangat merindukannya. Hampir satu bulan, dan aku belum pulang dari rantau karena kesibukan kuliah ini. Ibu, apa kabar?

            Langkah kakiku semakin melebar tatkala melihat benda melingkar di pergelangan tanganku menunjukkan angka fantastis yang mengejutkan. Lima menit lagi, dosen Bahasa Inggris yang amat disiplin itu pastilah tiba di kelas, sedangkan aku baru saja menginjakkan kaki di atas paving gerbang kampus. Dengan pikiran bergejolak, kakiku malampaui dua anak tangga sekaligus dalam setiap langkahnya. Dalam hati, aku mensyukuri rok lebar pembelian ibu.
            Masih dengan napas memburu, kuberanikan diri mengetuk pintu. Bukankah terlambat masih lebih baik daripada absen?
            “Masuk..” terdengar suara khas Fauzi, ketua tingkat kami. Dan seketika seliter napas lega keluar dari paru-paruku. Jika ia yang menjawab, berarti dosen belum datang. Kubuka pintu dengan senyum mengembang, tapi ah kenapa lagi-lagi dia duduk di barisan depan? Lagi-lagi dia membuat dadaku bergemuruh saat tatapan kami bertemu.
Mata bulat pria itu memang mampu meluluh lantahkan hati setiap wanita. Namun meski dadaku bergemuruh, mata itu tak pernah kuasa menyentuh nuraniku. Memang indah dan menggetarkan, tapi hatiku tak pernah terpaut erat padanya. Ada kehampaan besar di balik kesempurnaan raganya yang tidak ku mengerti. Aku juga masih belum mengerti kenapa hatiku masih terpaut pada seseorang di masa lalu yang juga kurindukan di bawah kerinduan kepada ibu. Berjuta tahun cahaya nanti, masihkah aku terus terpaut pada sinar bintang yang begitu jauhnya seperti ini?
Kelas berjalan seperti biasa, seperti halnya ayam jago yang berkokok setiap pagi tanpa bosan, menyerukan pergantian malaikat malam dan pagi. Seperti halnya duri-duri tumbuh pada tangkai mawar yang mempesona, dan seperti halnya kerinduanku yang memuncak pada ibu.
            Sudah kuputuskan untuk pulang sore ini, dengan kereta yang meski tak bersayap namun akan membawaku terbang kepada ibu.
            Suara robot wanita memberitahu kami bahwa kereta akan sedikit tertunda kedatangannya karena sebuah kesalahan teknis. Sepersekian detik kemudian kudengar suara keluh kesah dari segala penjuru. Kami sudah berjajar mengantri selama seribu delapan ratus detik, dan sekarang kami dihadapkan pada ketidakpastian? Ibu, inikah ujian atas kerinduanku padamu? Rasanya inginku ibu saja yang kemari menghampiri anakmu ini.
            Antrian tak lagi berpusat di kiri-kanan rel, namun berjubal di loket-loket seluruh penjuru stasiun. Teriakan protes terdengar dimana-mana. suara-suara bising itu membuatku pusing melebihi tugas-tugas perkuliahan. Aku menyerah dan tidak ingin ikut campur. Dengan gontai kakiku melangkah menuju bangku panjang yang berjajar tak berpenghuni. Aku duduk termenung memandangi benda kotak di tanganku. Andai ibu punya handphone seperti ini, saat ini juga akan kuhubungi ibu. Menyerah, kumasukkan kembali handphone tak berguna itu.
Samar, kudengar langkah kaki yang kian mengeras. Dan bayangan seseorang yang kian menjadi jelas. Aku menoleh dan melihatnya. Benarkah ia sosok dari masa lalu yang selalu dirindukan nuraniku di bawah kerinduanku kepada ibu? Hampir menyamai kecepatan cahaya, ku palingkan wajah darinya dan kutundukkan kepalaku. Untaian jilbabku terjatuh menutupi pipi kiriku. Sempurna, kurasa dia takkan bisa melihat rupaku. Meskipun aku tahu bahwa melihat rupaku pun tak berarti apapun baginya.
Kudengar dia meletakkan ranselnya di ujung lain bangku, lalu duduk disampingnya. Lagi-lagi hatiku bergemuruh, namun kali ini disertai dengan dentuman dan raungan keras. Aku melirik benda melingkar di pergelangan tanganku lagi, tanggal dua puluh sembilan bulan tiga tahun kedua ribu empat belas. Lalu aku ingat terakhir kali melihat mentari di sampingku ini bersinar, sepuluh mei dua ribu dua belas di hari kelulusan. Enam ratus delapan puluh delapan hari, tapi sinarnya masih sehangat dulu. Bahkan meski ia mengenakan setelan hitamnya yang pekat, namun radiasinya membasahi sepenuh hatiku. Masih sama seperti di masa lalu.
Berjuta pertanyaan pun kian berputar di kepalaku. Seperti pusaran air bandang yang siap menelan makhluk laut manapun. Apa ini benar bukan sekedar bunga dalam tidurku saja? Rasanya dadaku hampir meledak seketika saat tiba-tiba ia memiringkan tubuhnya mencoba melihat wajahku. Kikuk, aku tak tahu harus bagaimana.
Mata kami bertemu di satu titik getaran yang mampu mengalirkan gelombang aneh dalam dadaku. Aku harus bagaimana? Satu pertanyaan masih berkumandang dalam pikiranku. Namun yang refleks dilakukan gerak aktifku adalah tersenyum simpul dan kepalaku mengangguk kecil. Sepersekian detik kemudian ia balas mengangguk dan menarik bibirnya dengan separuh senyuman yang aneh. Kurasa dia berharap melihat orang lain dan kekecewaan menderanya saat melihat dan tak mengenali wajahku. Ia kembali menyandarkan bidang punggungnya pada bangku. Benar, kerinduanku akannya hanyalah sebuah kesia-siaan, hanyalah sebuah rasa tak berbalas.
Terdiam menunduk, yang dirasakan nuraniku adalah sepi yang sangat sunyi. Dan dalam diam ini, aku masih memperhatikannya. Ia mengotak-atik handphonenya dan tampak tersenyum, bahkan sesekali tertawa kecil. Dia sedang jatuh cinta, pikirku. Dan beginilah rasaku, jatuh hati pada hati yang sedang jatuh cinta.
Kedua bola mataku tak terkendali melirik ke arahnya. Ia masih tersenyum, senyum yang dimiliki hati yang sedang terjatuh pada jurang yang disebut cinta. Jari-jemarinya yang lentik menyentuh layar handphone dengan lembut, dan ia kian tersenyum. Mata sayunya hampir tertutup serapat jendela sore hari tiap ia menyunggingkan bibirnya. Kali ini, senyumnya bagaikan parang asahan yang siap mencabik-cabik relung hatiku. Pertama kalinya dalam hidupku mengharapkan seseorang untuk tidak tersenyum.
Namun tiba-tiba ia mengendurkan tatapannya, menerawangkan pandangan dan menatap langit nun biru. Aku mengikuti horizon pandangnya, langit biru dengan serabut lembut yang berarak. Terlihat indah HANYA DAN HANYA JIKA hatimu sedang tidak tersayat sepertiku. Apa yang dia lamunkan? Apa yang bergejolak dalam lamunnya? Akankah seulas senyum seorang bidadari yang ia rindukan di bawah kerinduannya kepada ibunya? Itu sungguh lamunan seorang yang sedang jatuh cinta. Aku menunduk dengan getir, kini bukan hatiku yang bergemuruh namun rasa panas yang mulai menjalari kedua bola mataku. Kutelan ludah penguat hati tanpa menemukan satu pun penghiburan.
Ia tak lagi memandang langit, tangannya kini memainkan handphonenya dengan sentuhan ragu. Ia meggigit bibir bawahnya seakan ia bimbang akan suatu hal. Apa yang dia khawatirkan? Ah, aku bahkan masih bisa mengkhawatirkan seseorang yang mengkhawatirkan orang lain? Mungkin di hari ke enam ratus delapan puluh sembilan harus ku akhiri kerinduan dan penantian sia-sia ini.
Belum kusadari bahwa stasiun mulai berangsur tenang jika saja sepasang bapak dan ibu tak duduk membatasiku dengannya. Rasanya seperti baru terbangun dari mimpi manismu yang begitu getir. Aku tak lagi bisa memperhatikannya. Kini hanya kehampaan tanpa pengharapan yang kurasakan. Ibu, ibu jangan pernah jatuh hati pada anak lainnya.. karena ibu sosok yang paling kurindukan di atas siapapun. Tak terbayangkan sakitnya nuraniku jika ibu melakukan hal yang sama. Kerinduanku semakin memuncak padamu Ibu..
Entah berapa ribu detik kemudian, kereta yang kami harap-harapkan tiba. Aku bisa mencium aroma napas lega dan mendengar bisikan angin gembira dari segala penjuru. Satu per satu orang-orang melangkah dengan senyum memasuki gerbong kereta.
Dalam hati aku bersyukur, ini penantian yang tidak sia-sia.
Bersamaan dengan ibu dan bapak yang duduk di sampingku, aku berdiri dan menjinjing tas membebani bahuku. Aku melangkah dengan pengharapan besar segera melihat raga ibu dan merasakan kehangatannya yang penuh. Begitulah cinta ibu, bukan gejolak api membara yang membakar melainkan kehangatan sinar dhuha yang melegakan. Pun, aku melangkah dengan kehampaan besar yang tertinggal di ujung lain bangku. Kehampaan yang sudah kuputuskan untuk tak lagi kuperhatikan. Meski berbekas, namun nuraniku yakin dapat merentangkan tangan dan melepasnya terbang tinggi.
Aku melangkah dengan “tersenyum”.
Aku hampir saja memasuki gerbong kereta saat tiba-tiba bahuku merasakan sebuah tarikan mengejutkan pada tasku. Langkahku terhenti dan refleks, kupalingkan kepala menatap sumber pemberi tarikan itu. Dadaku kembali bergemuruh dan hampir meledak. Dia yang menahan tasku, dengan tatapan sayu dan bibir yang tertarik dengan sepenuh senyuman. Ia mengendurkan sentuhannya dan perlahan melepaskan bahuku. Apa yang sedang terjadi saat ini?
“Ningrum…” ia memanggil namaku. Seketika kehampaan yang tertinggal pun menjadi penuh kembali.
Hari ke enam ratus delapan puluh delapan ini berubah angka menjadi hari pertama.
Dalam hati aku bersyukur, tak ada penantian yang sia-sia.




Karanganyar, 2 April 2014
08:58 PM
Semoga Bermanfaat :-)

Atas nama : Kerinduan...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar