s4stika
Hangatnya mentari dhuha mulai
merasuk ke dalam epidermisku. Kulirik ayam tetangga yang mendekap erat
anak-anaknya yang mungil. Pastilah dekapan induk ayam itu melebihi hangatnya
cahaya matahari dhuha yang kurasakan. Dekapan hangat Ibu, ya aku sangat
merindukannya. Hampir satu bulan, dan aku belum pulang dari rantau karena
kesibukan kuliah ini. Ibu, apa kabar?
Langkah kakiku semakin melebar
tatkala melihat benda melingkar di pergelangan tanganku menunjukkan angka fantastis
yang mengejutkan. Lima menit lagi, dosen Bahasa Inggris yang amat disiplin itu
pastilah tiba di kelas, sedangkan aku baru saja menginjakkan kaki di atas
paving gerbang kampus. Dengan pikiran bergejolak, kakiku malampaui dua anak
tangga sekaligus dalam setiap langkahnya. Dalam hati, aku mensyukuri rok lebar
pembelian ibu.
Masih dengan napas memburu,
kuberanikan diri mengetuk pintu. Bukankah terlambat masih lebih baik daripada
absen?
“Masuk..” terdengar suara khas
Fauzi, ketua tingkat kami. Dan seketika seliter napas lega keluar dari
paru-paruku. Jika ia yang menjawab, berarti dosen belum datang. Kubuka pintu
dengan senyum mengembang, tapi ah kenapa lagi-lagi dia duduk di barisan depan?
Lagi-lagi dia membuat dadaku bergemuruh saat tatapan kami bertemu.
Mata bulat pria itu memang mampu meluluh lantahkan hati setiap wanita.
Namun meski dadaku bergemuruh, mata itu tak pernah kuasa menyentuh nuraniku.
Memang indah dan menggetarkan, tapi hatiku tak pernah terpaut erat padanya. Ada
kehampaan besar di balik kesempurnaan raganya yang tidak ku mengerti. Aku juga
masih belum mengerti kenapa hatiku masih terpaut pada seseorang di masa lalu
yang juga kurindukan di bawah kerinduan kepada ibu. Berjuta tahun cahaya nanti,
masihkah aku terus terpaut pada sinar bintang yang begitu jauhnya seperti ini?
Kelas berjalan seperti biasa, seperti halnya ayam jago yang berkokok
setiap pagi tanpa bosan, menyerukan pergantian malaikat malam dan pagi. Seperti
halnya duri-duri tumbuh pada tangkai mawar yang mempesona, dan seperti halnya
kerinduanku yang memuncak pada ibu.
Sudah kuputuskan untuk pulang sore
ini, dengan kereta yang meski tak bersayap namun akan membawaku terbang kepada
ibu.
Suara robot wanita memberitahu kami
bahwa kereta akan sedikit tertunda kedatangannya karena sebuah kesalahan
teknis. Sepersekian detik kemudian kudengar suara keluh kesah dari segala
penjuru. Kami sudah berjajar mengantri selama seribu delapan ratus detik, dan
sekarang kami dihadapkan pada ketidakpastian? Ibu, inikah ujian atas
kerinduanku padamu? Rasanya inginku ibu saja yang kemari menghampiri anakmu
ini.
Antrian tak lagi berpusat di
kiri-kanan rel, namun berjubal di loket-loket seluruh penjuru stasiun. Teriakan
protes terdengar dimana-mana. suara-suara bising itu membuatku pusing melebihi
tugas-tugas perkuliahan. Aku menyerah dan tidak ingin ikut campur. Dengan
gontai kakiku melangkah menuju bangku panjang yang berjajar tak berpenghuni.
Aku duduk termenung memandangi benda kotak di tanganku. Andai ibu punya
handphone seperti ini, saat ini juga akan kuhubungi ibu. Menyerah, kumasukkan
kembali handphone tak berguna itu.
Samar, kudengar langkah kaki yang kian mengeras. Dan bayangan seseorang
yang kian menjadi jelas. Aku menoleh dan melihatnya. Benarkah ia sosok dari
masa lalu yang selalu dirindukan nuraniku di bawah kerinduanku kepada ibu?
Hampir menyamai kecepatan cahaya, ku palingkan wajah darinya dan kutundukkan
kepalaku. Untaian jilbabku terjatuh menutupi pipi kiriku. Sempurna, kurasa dia
takkan bisa melihat rupaku. Meskipun aku tahu bahwa melihat rupaku pun tak
berarti apapun baginya.
Kudengar dia meletakkan ranselnya di ujung lain bangku, lalu duduk
disampingnya. Lagi-lagi hatiku bergemuruh, namun kali ini disertai dengan
dentuman dan raungan keras. Aku melirik benda melingkar di pergelangan tanganku
lagi, tanggal dua puluh sembilan bulan tiga tahun kedua ribu empat belas. Lalu
aku ingat terakhir kali melihat mentari di sampingku ini bersinar, sepuluh mei
dua ribu dua belas di hari kelulusan. Enam ratus delapan puluh delapan hari,
tapi sinarnya masih sehangat dulu. Bahkan meski ia mengenakan setelan hitamnya
yang pekat, namun radiasinya membasahi sepenuh hatiku. Masih sama seperti di
masa lalu.
Berjuta pertanyaan pun kian berputar di kepalaku. Seperti pusaran air
bandang yang siap menelan makhluk laut manapun. Apa ini benar bukan sekedar
bunga dalam tidurku saja? Rasanya dadaku hampir meledak seketika saat tiba-tiba
ia memiringkan tubuhnya mencoba melihat wajahku. Kikuk, aku tak tahu harus
bagaimana.
Mata kami bertemu di satu titik getaran yang mampu mengalirkan gelombang
aneh dalam dadaku. Aku harus bagaimana? Satu pertanyaan masih berkumandang
dalam pikiranku. Namun yang refleks dilakukan gerak aktifku adalah tersenyum
simpul dan kepalaku mengangguk kecil. Sepersekian detik kemudian ia balas
mengangguk dan menarik bibirnya dengan separuh senyuman yang aneh. Kurasa dia
berharap melihat orang lain dan kekecewaan menderanya saat melihat dan tak
mengenali wajahku. Ia kembali menyandarkan bidang punggungnya pada bangku.
Benar, kerinduanku akannya hanyalah sebuah kesia-siaan, hanyalah sebuah rasa
tak berbalas.
Terdiam menunduk, yang dirasakan nuraniku adalah sepi yang sangat sunyi.
Dan dalam diam ini, aku masih memperhatikannya. Ia mengotak-atik handphonenya
dan tampak tersenyum, bahkan sesekali tertawa kecil. Dia sedang jatuh cinta, pikirku. Dan beginilah rasaku, jatuh hati
pada hati yang sedang jatuh cinta.
Kedua bola mataku tak terkendali melirik ke arahnya. Ia masih tersenyum,
senyum yang dimiliki hati yang sedang terjatuh pada jurang yang disebut cinta.
Jari-jemarinya yang lentik menyentuh layar handphone dengan lembut, dan ia kian
tersenyum. Mata sayunya hampir tertutup serapat jendela sore hari tiap ia menyunggingkan
bibirnya. Kali ini, senyumnya bagaikan parang asahan yang siap mencabik-cabik
relung hatiku. Pertama kalinya dalam hidupku mengharapkan seseorang untuk tidak
tersenyum.
Namun tiba-tiba ia mengendurkan tatapannya, menerawangkan pandangan dan
menatap langit nun biru. Aku mengikuti horizon pandangnya, langit biru dengan
serabut lembut yang berarak. Terlihat indah HANYA DAN HANYA JIKA hatimu sedang
tidak tersayat sepertiku. Apa yang dia lamunkan? Apa yang bergejolak dalam
lamunnya? Akankah seulas senyum seorang bidadari yang ia rindukan di bawah
kerinduannya kepada ibunya? Itu sungguh
lamunan seorang yang sedang jatuh cinta. Aku menunduk dengan getir, kini
bukan hatiku yang bergemuruh namun rasa panas yang mulai menjalari kedua bola
mataku. Kutelan ludah penguat hati tanpa menemukan satu pun penghiburan.
Ia tak lagi memandang langit, tangannya kini memainkan handphonenya
dengan sentuhan ragu. Ia meggigit bibir bawahnya seakan ia bimbang akan suatu
hal. Apa yang dia khawatirkan? Ah, aku bahkan masih bisa mengkhawatirkan
seseorang yang mengkhawatirkan orang lain? Mungkin di hari ke enam ratus
delapan puluh sembilan harus ku akhiri kerinduan dan penantian sia-sia ini.
Belum kusadari bahwa stasiun mulai berangsur tenang jika saja sepasang
bapak dan ibu tak duduk membatasiku dengannya. Rasanya seperti baru terbangun
dari mimpi manismu yang begitu getir. Aku tak lagi bisa memperhatikannya. Kini
hanya kehampaan tanpa pengharapan yang kurasakan. Ibu, ibu jangan pernah jatuh
hati pada anak lainnya.. karena ibu sosok yang paling kurindukan di atas
siapapun. Tak terbayangkan sakitnya nuraniku jika ibu melakukan hal yang sama.
Kerinduanku semakin memuncak padamu Ibu..
Entah berapa ribu detik kemudian, kereta yang kami harap-harapkan tiba.
Aku bisa mencium aroma napas lega dan mendengar bisikan angin gembira dari
segala penjuru. Satu per satu orang-orang melangkah dengan senyum memasuki
gerbong kereta.
Dalam hati aku bersyukur, ini
penantian yang tidak sia-sia.
Bersamaan dengan ibu dan bapak yang duduk di sampingku, aku berdiri dan
menjinjing tas membebani bahuku. Aku melangkah dengan pengharapan besar segera
melihat raga ibu dan merasakan kehangatannya yang penuh. Begitulah cinta ibu,
bukan gejolak api membara yang membakar melainkan kehangatan sinar dhuha yang
melegakan. Pun, aku melangkah dengan kehampaan besar yang tertinggal di ujung
lain bangku. Kehampaan yang sudah kuputuskan untuk tak lagi kuperhatikan. Meski
berbekas, namun nuraniku yakin dapat merentangkan tangan dan melepasnya terbang
tinggi.
Aku melangkah dengan “tersenyum”.
Aku hampir saja memasuki gerbong kereta saat tiba-tiba bahuku merasakan
sebuah tarikan mengejutkan pada tasku. Langkahku terhenti dan refleks,
kupalingkan kepala menatap sumber pemberi tarikan itu. Dadaku kembali
bergemuruh dan hampir meledak. Dia yang menahan tasku, dengan tatapan sayu dan
bibir yang tertarik dengan sepenuh senyuman. Ia mengendurkan sentuhannya dan
perlahan melepaskan bahuku. Apa yang sedang terjadi saat ini?
“Ningrum…” ia memanggil namaku. Seketika kehampaan yang tertinggal pun
menjadi penuh kembali.
Hari ke enam ratus delapan puluh delapan ini berubah angka menjadi hari
pertama.
Dalam hati aku bersyukur, tak ada
penantian yang sia-sia.
Karanganyar,
2 April 2014
08:58
PM
Semoga
Bermanfaat :-)
Atas nama : Kerinduan...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar