Jumat, 06 September 2013

COPEEETT…!!!


Irvan melihat sebuah tangan dengan sebilah silet cutter mulai merobek perlahan permukaan sebuah tas kulit mewah milik seorang Ibu. Begitu perlahan hingga si Ibu sama sekali tidak menyadari bahwa seseorang sedang berusaha membuka dan mengambil isi tasnya. Irvan masih terpaku melihat kejadian tersebut, ia masih belum bisa bereaksi apapun selain bibirnya terbuka dan matanya membulat. Kini tangan itu mulai merogoh ke dalam tas dengan perlahan, lebih pelan dari gerak slow motion pada film-film laga. Tapi, secepat kilat tangan itu keluar dengan sebuah dompet dalam genggaman. Secepat itu pula dompet berpindah ke dalam saku celana si pencopet. Irvan pun terhenyak dan memberanikan diri berteriak, “COPEEET!!!”
***                              ***
            Sinar matahari menyengat begitu kejamnya siang itu, Irvan lagi-lagi menyeka keringatnya dengan sapu tangan yang disiapkan oleh Ibunya setiap pagi. Sambil menunggu bus yang tak kunjung datang, Irvan melihat ke bawah kakinya, ia melihat bayangannya sendiri berada tepat di sana. Menyadari hal tersebut Irvan menjadi teringat akan pelajaran IPA kelas 2 SD tentang bayangan.. bayangan terpendek terjadi saat matahari tepat di atas kepala kita, begitu bunyinya. Lalu Irvan melirik jam tangannya, pantes aja orang ini jam dua belas kurang sepuluh.. ucapnya dalam hati. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling halte, tak ada pelajar SD di sana selain dirinya. Kedua teman sekelasnya Ilham dan Dika yang biasanya pulang bersama dengannya sekarang di antar jemput oleh Ibu mereka masing-masing semenjak banyak berita penculikan yang ditayangkan di TV-TV.
            Tak lama kemudian sebuah bus bertuliskan “Pelita Jaya” berhenti di depan Irvan. Ia pun segera naik bersama beberapa penumpang lain yang sudah menunggu. Irvan melongokan kepalanya, mencari-cari kursi kosong. Tapi nihil, tak ada satupun kursi yang menganggur. Akhirnya Irvan harus berdiri bersama dua orang lain. Suasana bus tiba-tiba ramai saat seorang Ibu bercerita tentang kejadian yang menimpanya tadi pagi dalam bus yang sama. Beliau kecopetan. Irvan mendengarkan dengan seksama dan menjadi takut bila hal itu terjadi pada dirinya, apalagi ia hanya seorang anak kelas 6 SD yang berbadan kecil. Sepanjang perjalanan Irvan memeluk erat tas sekolahnya. Tas ransel yang biasanya ia pakai di punggung, siang itu ia kenakan di dada agar tak lepas dari pengawasannya.
            Keesokan harinya, Irvan mogok sarapan karena Ibunya tak mau mengantarkan Irvan ke sekolah.
            “Ipan.. kamu kan tau kalau Ibu masuk pagi, jadi Ibu nggak bisa nganterin kamu. Lagian, biasanya kan juga berangkat sendiri..” tutur Ibunya.
            “Tapi apa Ibu nggak kawatir? Ilham sama Dika aja sekarang dianterin Mamahnya. Kok Ipan enggak Bu?”
            “Ipan.. kamu kan udah gede sekarang. Ibu percaya kok kamu pasti bisa jaga diri. Udah ya, Ibu berangkat dulu. jangan lupa kunci pintunya kalau berangkat..” kata Ibu sambil mengecup kening Irvan. Irvan hanya bisa cemberut dan menggerutu.
            Irvan berangkat masih dengan Pelita Jaya. Tapi pagi ini ia bersyukur mendapatkan tempat duduk walaupun di kursi paling belakang. Irvan memindahkan ranselnya dari punggung ke pangkuannya, ia masih teringat pada cerita Ibu-Ibu kemarin siang.
            Bus berhenti di sebuah perempatan. Penumpang yang duduk di samping Irvan turun dari bus dan digantikan oleh seorang lelaki berbadan kekar yang baru saja memasuki bus. Irvan menatap lelaki itu dengan ngeri. Orang itu mengenakan celana jeans panjang yang sengaja dirobek pada bagian lututnya, kaos oblong putih yang sudah pudar dan sebuah rompi kulit hitam yang sudah usang.
            Irvan terbatuk-batuk saat menghirup asap rokok yang dihembuskan dari mulut orang itu. Rasa ngerinya berubah menjadi kesal. Ia mendongakkan kepala dan melihat wajah lelaki itu. Irvan langsung membelalakkan matanya saat menyadari bahwa orang itu benar-benar menakutkan bila dilihat dari jarak sedekat itu. Kumisnya yang tebal hampir menutupi seluruh bibir atasnya, rambut gondrongnya ia kuncir asal-asalan saja, dan sebuah kaca mata hitam bertengger di atas ubun-ubunnya. Irvan pun tak berani menatap orang itu lama-lama.
            Sekitar lima menit kemudian lelaki di samping Irvan itu berdiri dan meneriakkan “Kiri!” pada kondektur. Orang itu turun di depan sebuah pasar yang ramai, selain itu seorang pemuda berpenampilan rapi juga turun di sana. Irvan memperhatikan pemuda itu, betapa kontrasnya penampilannya dibandingkan dengan Bapak berbadan kekar yang tadi duduk disampingnya.
            Tak lama kemudian Pak kondektur meneriakkan nama SD tempat Irvan bersekolah, Irvan pun beranjak dari tempat duduknya dengan terburu-buru.
            Saat jam istirahat,
            “Ipan, kok kamu nggak di anterin Ibu kamu juga? Ati-ati loh sekarang banyak copet di dalem bis..” ucap Dika.
            “Iya Pan, selain copet juga ada penculik loh.. kamu nggak takut?” timpal Ilham.
            “Ibuku kan kerja, jadi nggak bisa nganter..” hanya itu yang diucapkan Irvan, padahal berbagai pikiran berkecamuk di kepalanya. Bayangan sosok bapak yang tadi pagi duduk di sampingnya melintas, ia merasa ngeri.
            Dengan gelisah Irvan menantikan Pelita Jaya sepulang sekolah hari itu. Irvan ingin segera tiba di rumah dan merengek pada Ibunya minta untuk di antar-jemput.
            “Ini hari jum’at dan Ibu pasti sudah pulang..” gumamnya pelan.
            Lima menit menunggu terasa bagaikan satu jam, namun lima menit kemudian Pelita Jaya berhenti di depan Irvan. Dengan segera ia melangkah memasuki bus, terpaksa siang itu ia harus berdiri lagi.
            Irvan berdesakan dengan beberapa penumpang lain, termasuk salah satunya bapak berbadan kekar yang tadi pagi duduk di sampingnya, ia berdiri sekitar setengah meter dari bapak itu, hanya terhalang oleh seorang Ibu-Ibu. Irvan terhenyak kaget dan segera meraih ranselnya, memindahkan ransel itu ke dadanya. Saat sedang panik itulah tiba-tiba bus berhenti mendadak, membuat penumpang terlontar ke depan. Irvan berdiri sempoyongan dan mencoba meraih kursi terdekat.
            Ternyata ada seseorang yang akan naik bus. Seorang pemuda yang tadi pagi Irvan lihat turun bersama bapak berbadan kekar. Irvan mengernyitkan dahi heran, kenapa bisa kebetulan sekali mereka naik bus yang sama dalam waktu yang sama juga? Tapi Irvan tak mau ambil pusing.
            Kurang lebih lima menit kemudian, bus berhenti di sebuah perempatan jalan. Bapak berbadan kekar tadi turun dari bus. Irvan pun merasa lega, ia tidak merasa ngeri lagi seperti tadi. Namun bersamaan dengan itu, lebih banyak penumpang memasuki bus sehingga keadaan menjadi semakin sumpek.
            Irvan tetap memeluk erat ranselnya sambil mengawasi penumpang-penumpang yang berdiri di sampingnya. Ia menarik napas lega karena tidak seorangpun yang mirip dengan bapak berbadan kekar tadi.
            Irvan sedang melamunkan PR Matematika saat tiba-tiba ia melihat sebuah tangan dengan sebilah silet cutter mulai merobek perlahan permukaan sebuah tas kulit mewah milik seorang Ibu. Begitu perlahan hingga si Ibu sama sekali tidak menyadari bahwa seseorang sedang berusaha membuka dan mengambil isi tasnya. Irvan masih terpaku melihat kejadian tersebut, ia masih belum bisa bereaksi apapun selain bibirnya terbuka dan matanya membulat. Kini tangan itu mulai merogoh ke dalam tas dengan perlahan, lebih pelan dari gerak slow motion pada film-film laga. Tapi, secepat kilat tangan itu keluar dengan sebuah dompet dalam genggaman. Secepat itu pula dompet berpindah ke dalam saku celana si pencopet. Irvan pun terhenyak dan memberanikan diri berteriak,
“COPEEET!!!” hingga semua penumpang kaget dan menoleh ke arahnya. Dengan cepat Irvan menunjuk seorang pemuda berpenampilan rapi yang Irvan hapal betul lengan bajunya. Tangan pemuda itulah yang merobek dan mengambil isi tas milik seorang Ibu.
“Apa?! Tidak mungkin Bu, Pak. Anak kecil itu pasti berbohong!” teriak pemuda itu.
“Enggak! Ipan nggak bohong. Coba aja Ibu cek tas Ibu..” sahut Irvan sambil menatap si Ibu. Ibu tersebut mengecek tasnya dan menemukan bahwa tas itu sobek di bagian bawahnya. Para penumpang lain kaget. Lalu Ibu itu mengecek isi tasnya dengan wajah yang mulai cemas, dan..
“Dompet saya hilang. Anak ini benar!” kata si Ibu.
“Loh bisa saja yang mengambil anak itu sendiri! Apa buktinya kalau saya yang mencopet Ibu?!” kata pemuda copet itu. Namun tatapan semua penumpang sudah menyiratkan padanya bahwa dialah si copet dan dia pantas dihakimi.
“Coba Abang keluarin isi saku celana Abang!” tantang Irvan. Bersamaan dengan itu, Pak supir yang menyadari bahwa terjadi keributan dalam busnya pun menghentikan laju bus. Pak supir bersama kondektur mendekat ke kerumunan di tengah bus.
“Ada apa ini?” tanya pak supir.
“Ada pencopet Pak! Itu orangnya!” sahut salah seorang penumpang sambil menunjuk si pemuda. Lalu pak supir mendekati pemuda itu dan bertanya,
“Apa benar kamu mencopet dalam bus saya?”
“Bener Pak. Saya tadi liat sendiri, Abang itu mencopet Ibu ini dan memasukkan dompetnya ke saku celana Pak.” Sahut Irvan lantang. Lalu dengan sigap pak supir merogoh saku celana pemuda berpenampilan rapi itu. Dan pak supir mengeluarkan sebuah dompet wanita yang cukup tebal.
“Itu dompet saya!” teriak si Ibu.
“Kalau begitu kamu harus dibawa ke kantor polisi! Kamu sering naik bus ini, jadi selama ini kamu yang membuat bus kami tidak aman?!” bentak pak kondektur.
“Sudah, Pak, sudah.. kita selesaikan nanti di kantor polisi.” Tutur pak supir. “Trimakasih ya, nak.. siapa nama kamu?”
“Ipan, Pak.”
“Trimakasih ya nak Ipan. Nanti bapak mohon kamu mau ikut ke kantor polisi sebagai saksi, Cuma sebentar kok..” ucap pak supir dengan lembut.
“Trimakasih Ipan, berkat kamu dompet Ibu tidak jadi hilang!” sahut si Ibu dengan gembira.
Para penumpang lain yang tadinya geram melihat pemuda copet itu menjadi tersenyum bangga pada Irvan dan bertepuk tangan. Irvan merasa lega.
Namun tiba-tiba ia teringat pada bapak berbadan kekar yang tadi ia temui. Irvan telah semena-mena berburuk sangka pada bapak itu. Padahal menurut cerita yang Irvan dengar dari penumpang lain di perjalanan pulang, bapak itu adalah seorang penjaga keamanan pasar.
“Mau gimana lagi? kalo nggak berpenampilan seram, bisa-bisa para oknum nggak akan takut..” begitu alasan yang dilontarkan seseorang saat membicarakan bapak berbadan kekar itu.


Karanganyar, 7 September 2013
Semoga bermanfaat :-)
 s4stika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar