Kamis, 17 Oktober 2013

Zombie


Lagi dan lagi, bola api besar yang melayang di angkasa itu memancarkan sinar menyilaukan yang begitu menyengat kulit. Siapa lagi kalau bukan sang matahari? Bola api itu kembali beraksi dengan penuh semangat nan ceria hari ini. Sita menyingsingkan sedikit lengan bajunya dan menyeka peluh di dahinya. Sambil berjalan ia memperhatikan sekeliling jalanan yang ia lalui, betapa sibuknya kota yang ia tinggali sekarang. Orang-orang berlalu-lalang silih berganti, berlari kecil dengan wajah terburu-buru, dan menjinjing tas yang tampak begitu beratnya.
Lagi dan lagi, Sita menaiki kereta yang sama, kereta yang akan membawanya ke sebuah pencakar langit berlantai 21 tempat ia bekerja.
Sita menghela napas lega karena ia tak perlu berdesakkan di dalam kereta. Ia duduk di deretan kursi ruang gerbong paling belakang, sendirian. Tak ada seorang pun di sana karena mereka lebih memilih duduk di gerbong depan dengan alasan agar saat turun lebih dekat dengan pintu keluar. Sita pun pada awalnya melakukan hal yang sama. Namun seiring berjalannya waktu Sita paham betul bagaimana keadaan gerbong depan yang penuh manusia, sesak, panas, dan sebagainya. Sita memutuskan untuk mengeluarkan mp3 player dan mulai memutar sebuah lagu. Alunan melodi lembut mulai memasuki daun telinganya, gelombangnya merambat ke gendang telinga, tulang pendengaran hingga di bawa ke otak oleh syaraf. Sita memejamkan matanya sambil menarik napas pelan. Kereta pun mulai berjalan.
Lagi dan lagi, Sita memutar kembali alunan melodi lembut itu, melodi yang menggetarkan hatinya di awal dan menenangkan hatinya pada akhirnya. Sita membuka sekejap matanya dan memejamkannya lagi. Namun alangkah terkejutnya ia ketika ia sadar bahwa ia baru saja melihat sosok seseorang duduk di seberangnya. Ia membuka matanya kembali dengan cepat. Dan ya, Sita yakin bahwa ada seorang lelaki duduk di seberangnya. Sejak kapan ia duduk di sana? Batin Sita. Sita memperhatikan orang itu dengan perasaan ngeri. Dan perlahan bulu kuduknya mulai berdiri. Lelaki yang duduk di seberangnya berpenampilan seperti seorang zombie di mata Sita. Ia mengenakan setelan hitam-hitam dan kepalanya tertutup oleh jaket hitamnya. Orang itu menundukkan kepala, berkonsentrasi pada buku yang ada di pangkuannya. Sebuah jurnal tebal dan besar dengan sampul dan kertas berwarna hitam bertuliskan barisan huruf dengan warna merah dan putih. Disampingnya bertengger sebuah tas hitam besar yang mungkin muat untuk diisi seorang anak kecil.
Lagi dan lagi, Sita sesekali melirik pada lelaki itu. Kini ia pun tak lagi mendengarkan melodi lembut. Ia menatap lelaki itu dengan takut dan curiga. Sedangkan lelaki itu masih berkutat dengan buku di tangannya. Apa itu sebuah buku catatan kematian?  batin Sita konyol saat tiba-tiba teringat sebuah film yang menceritakan tentang buku catatan kematian yang bisa membunuh siapapun yang kita inginkan hanya dengan menuliskan namanya. Dan pemilik buku itu akan didampingi oleh seorang dewa kematian. Sita mengedarkan pandangannya ke sekitar lelaki itu, ia menatap dengan ngeri. Jangan-jangan ada dewa kematian berdiri di sana dan mengamatiku, atau jangan-jangan dia sudah di depanku??!!! Batin Sita lagi. Saat sedang dihantui kengerian itulah tiba-tiba si lelaki hendak mengangkat kepalanya. Dan refleks secepat kilat Sita menundukkan kepalanya dan menutup mukanya dengan kedua telapak tangan. Ia tidak berani melihat wajah lelaki di depannya.
aku nggak sanggup kalau harus liat senyum misterius seperti di tv-tv.. haaaa.. Tuhan! Aku nyesel milih gerbong ini..” batin Sita berteriak.
Sita menarik napas dalam-dalam berusaha menenangkan diri sembari masih menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Sesaat kemudian kecepatan detak jantungnya kembali normal. Ia sudah hampir membuka tangannya saat tiba-tiba ia mendengar suara benda jatuh di seberangnya, suara sebuah buku yang jatuh. Mungkin buku lelaki zombie itu yang jatuh. Sita terhentak kaget dan sontak berteriak pelan. Tangannya semakin rapat menutupi wajahnya. Ada apa ini? apa dia mulai murka? batin Sita semakin merasa ngeri.
Sekali lagi, Sita mencoba menenangkan diri dengan menarik napas dalam-dalam dan membisikkan pada dirinya dalam hati bahwa semuanya baik-baik saja asal dia bisa bersikap tenang. Bisa saja dia hanya seorang lelaki biasa, aku yang terlalu paranoid. Kali ini Sita berprasangka baik. Sekali lagi kecepatan detak jantungnya kembali normal. Sita menarik napas lega dan mulai melepaskan tangan dari wajahnya. Ia meyakinkan diri untuk berani menatap lelaki di seberangnya. Sita mulai mengangkat kepalanya untuk melihat lelaki itu, tapi tiba-tiba lelaki itu berdehem mengeluarkan suara serak yang terdengar mengerikan. Sita kembali menundukkan kepala dan menutup wajahnya dengan telapak tangan lagi. Kalau lelaki itu orang baik-baik harusnya dia menyapaku, kami cuma berdua di sini.. tapi sikapnya semakin membuatku takut…. Tuhan! Keluh Sita dalam hati.
Tiba-tiba Sita mendengar langkah kaki perlahan menuju arahnya, jantung Sita mulai berdetak dengan begitu cepat. Tangannya semakin rapat menutupi wajahnya. Ia tak berani bahkan hanya untuk mengintip dari sela-sela jarinya. Langkah kaki itu semakin jelas terdengar, menandakan bahwa lelaki itu semakin dekat di hadapannya. Jantung Sita semakin memburu. Kini ia bisa merasakan helaan napas lelaki itu di balik tangannya. Helaan napas dingin lelaki itu membuat Sita merinding dan kian makin ketakutan.
“Buka tanganmu...” bisik sebuah suara di depan Sita. Tapi, Sita tidak menuruti apa yang diucapkan suara itu, ia masih menutup wajahnya dengan erat. Ia berharap tiba-tiba kereta sampai di stasiun dan kereta berhenti. Jika iya, dia akan bergegas lari dari sana dengan sekencang mungkin. Tapi nihil, harapan Sita hanyalah sebuah harapan karena nyatanya pemberhentian selanjutnya masih lama.
“Bukaa!!!” kini suara itu semakin keras dan menunjukkan kemarahan, “Lihat Aku!!” lanjutnya. Sita terhenyak karena kini lengan dingin lelaki itu memegang lengan Sita dan menariknya. Sita tidak cukup kuat untuk menahan tangannya, akhirnya tangannya tak lagi menutupi wajahnya. Tapi Sita menutup matanya rapat-rapat agar satu-satunya hal yang ia bisa lihat adalah kegelapan. Tapi lelaki di depannya juga tidak mau menyerah, ia membuka paksa mata Sita dengan menarik kedua kelopak mata Sita. Sita berteriak kesakitan dan minta tolong..
“Jangaaaan!!! Aku tidak mau!!!” teriak Sita.
Tapi apa daya, akhirnya mata Sita terbuka. Dan sedetik kemudian ia terdiam terpaku melihat makhluk di hadapannya. Sita bergidik ngeri melihat wajah menyeramkan berlumuran darah itu..
“Hahahahaha…. Lihat mataku! Sekarang kamu tidak akan bisa selamat!” ucapnya. Itu membuat Sita tahu bahwa ia bisa terbunuh hanya jika melihat makhluk itu. Sita mencoba memejamkan matanya lagi, tapi sudah tidak bisa. Sekuat tenaga Sita mencoba tapi seluruh ototnya tak bisa digerakkan. Makhluk mengerikan di depannya mendekati Sita dan mulai mencekiknya..
“Tidaaak!!!!!” teriak Sita terbangun dari tidurnya.
“Mbak, Mbak.. mimpi buruk ya? Mbak mau turun dimana? Ini stasiun terakhir Mbak..” sapa seseorang lelaki dengan senyum manis di depannya. Ternyata Sita baru saja tertidur di dalam gerbong dan mimpi buruk.
“Fiiuuhh… untunglah Mas membangunkan saya, saya bisa saja mati dalam mimpi.. trimakasih Mas,” ucap Sita lega.
“Iya Mbak sama-sama. Mungkin Mbak lupa berdo’a sebelum tidur tadi..”
“Hehe.. saya tadi kan ketiduran Mas,”
“Oh begitu.. ehm, maaf Mbak saya permisi keluar duluan.” Ucap lelaki itu dengan senyum manis lagi. Senyum menarik itu membuat Sita tenang.
“Iya Mas, terimakasih..” ucap Sita. Lalu lelaki yang membangunkan Sita itu berdiri dan berjalan keluar gerbong, “Mas, namanya siapa?” lanjut Sita sedikit berteriak. Lelaki itu membalikkan badannya dan senyum misterius mengembang dari bibirnya, senyum yang membuat Sita ngeri,
“Zombie..” ucap lelaki itu.
Sita terdiam kaku dan menyadari bahwa lelaki itu membawa sebuah jurnal tebal dan besar dengan sampul dari kertas berwarna hitam bertuliskan barisan huruf dengan warna merah dan putih di tangannya dan ia menjinjing sebuah tas hitam besar yang mungkin muat untuk diisi seorang anak kecil. Sita bergidik ngeri dalam bingung.

Karanganyar, 17 Oktober 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar