Lagi dan lagi, bola api besar yang melayang di angkasa
itu memancarkan sinar menyilaukan yang begitu menyengat kulit. Siapa lagi kalau
bukan sang matahari? Bola api itu kembali beraksi dengan penuh semangat nan
ceria hari ini. Sita menyingsingkan sedikit lengan bajunya dan menyeka peluh di
dahinya. Sambil berjalan ia memperhatikan sekeliling jalanan yang ia lalui,
betapa sibuknya kota yang ia tinggali sekarang. Orang-orang berlalu-lalang
silih berganti, berlari kecil dengan wajah terburu-buru, dan menjinjing tas
yang tampak begitu beratnya.
Lagi dan lagi, Sita menaiki kereta yang sama, kereta
yang akan membawanya ke sebuah pencakar langit berlantai 21 tempat ia bekerja.
Sita menghela napas lega karena ia tak perlu berdesakkan di dalam kereta. Ia duduk di deretan kursi ruang gerbong paling belakang, sendirian. Tak ada seorang pun di sana karena mereka lebih memilih duduk di gerbong depan dengan alasan agar saat turun lebih dekat dengan pintu keluar. Sita pun pada awalnya melakukan hal yang sama. Namun seiring berjalannya waktu Sita paham betul bagaimana keadaan gerbong depan yang penuh manusia, sesak, panas, dan sebagainya. Sita memutuskan untuk mengeluarkan mp3 player dan mulai memutar sebuah lagu. Alunan melodi lembut mulai memasuki daun telinganya, gelombangnya merambat ke gendang telinga, tulang pendengaran hingga di bawa ke otak oleh syaraf. Sita memejamkan matanya sambil menarik napas pelan. Kereta pun mulai berjalan.
Sita menghela napas lega karena ia tak perlu berdesakkan di dalam kereta. Ia duduk di deretan kursi ruang gerbong paling belakang, sendirian. Tak ada seorang pun di sana karena mereka lebih memilih duduk di gerbong depan dengan alasan agar saat turun lebih dekat dengan pintu keluar. Sita pun pada awalnya melakukan hal yang sama. Namun seiring berjalannya waktu Sita paham betul bagaimana keadaan gerbong depan yang penuh manusia, sesak, panas, dan sebagainya. Sita memutuskan untuk mengeluarkan mp3 player dan mulai memutar sebuah lagu. Alunan melodi lembut mulai memasuki daun telinganya, gelombangnya merambat ke gendang telinga, tulang pendengaran hingga di bawa ke otak oleh syaraf. Sita memejamkan matanya sambil menarik napas pelan. Kereta pun mulai berjalan.
Lagi dan lagi, Sita memutar kembali alunan melodi
lembut itu, melodi yang menggetarkan hatinya di awal dan menenangkan hatinya
pada akhirnya. Sita membuka sekejap matanya dan memejamkannya lagi. Namun
alangkah terkejutnya ia ketika ia sadar bahwa ia baru saja melihat sosok
seseorang duduk di seberangnya. Ia membuka matanya kembali dengan cepat. Dan
ya, Sita yakin bahwa ada seorang lelaki duduk di seberangnya. Sejak kapan ia duduk di sana? Batin
Sita. Sita memperhatikan orang itu dengan perasaan ngeri. Dan perlahan bulu kuduknya
mulai berdiri. Lelaki yang duduk di seberangnya berpenampilan seperti seorang
zombie di mata Sita. Ia mengenakan setelan hitam-hitam dan kepalanya tertutup
oleh jaket hitamnya. Orang itu menundukkan kepala, berkonsentrasi pada buku
yang ada di pangkuannya. Sebuah jurnal tebal dan besar dengan sampul dan kertas
berwarna hitam bertuliskan barisan huruf dengan warna merah dan putih.
Disampingnya bertengger sebuah tas hitam besar yang mungkin muat untuk diisi
seorang anak kecil.
Lagi dan lagi, Sita sesekali melirik pada lelaki itu.
Kini ia pun tak lagi mendengarkan melodi lembut. Ia menatap lelaki itu dengan
takut dan curiga. Sedangkan lelaki itu masih berkutat dengan buku di tangannya.
Apa itu sebuah buku catatan kematian? batin Sita konyol saat tiba-tiba teringat
sebuah film yang menceritakan tentang buku catatan kematian yang bisa membunuh
siapapun yang kita inginkan hanya dengan menuliskan namanya. Dan pemilik buku
itu akan didampingi oleh seorang dewa kematian. Sita mengedarkan pandangannya
ke sekitar lelaki itu, ia menatap dengan ngeri. Jangan-jangan ada dewa kematian berdiri di sana dan mengamatiku, atau
jangan-jangan dia sudah di depanku??!!! Batin Sita lagi. Saat sedang
dihantui kengerian itulah tiba-tiba si lelaki hendak mengangkat kepalanya. Dan
refleks secepat kilat Sita menundukkan kepalanya dan menutup mukanya dengan
kedua telapak tangan. Ia tidak berani melihat wajah lelaki di depannya.
“aku nggak
sanggup kalau harus liat senyum misterius seperti di tv-tv.. haaaa.. Tuhan! Aku
nyesel milih gerbong ini..” batin Sita berteriak.
Sita menarik napas dalam-dalam berusaha menenangkan
diri sembari masih menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Sesaat
kemudian kecepatan detak jantungnya kembali normal. Ia sudah hampir membuka
tangannya saat tiba-tiba ia mendengar suara benda jatuh di seberangnya, suara
sebuah buku yang jatuh. Mungkin buku lelaki zombie itu yang jatuh. Sita
terhentak kaget dan sontak berteriak pelan. Tangannya semakin rapat menutupi
wajahnya. Ada apa ini? apa dia mulai
murka? batin Sita semakin merasa ngeri.
Sekali lagi, Sita mencoba menenangkan diri dengan
menarik napas dalam-dalam dan membisikkan pada dirinya dalam hati bahwa
semuanya baik-baik saja asal dia bisa bersikap tenang. Bisa saja dia hanya seorang lelaki biasa, aku yang terlalu paranoid. Kali
ini Sita berprasangka baik. Sekali lagi kecepatan detak jantungnya kembali
normal. Sita menarik napas lega dan mulai melepaskan tangan dari wajahnya. Ia
meyakinkan diri untuk berani menatap lelaki di seberangnya. Sita mulai
mengangkat kepalanya untuk melihat lelaki itu, tapi tiba-tiba lelaki itu
berdehem mengeluarkan suara serak yang terdengar mengerikan. Sita kembali
menundukkan kepala dan menutup wajahnya dengan telapak tangan lagi. Kalau lelaki itu orang baik-baik harusnya
dia menyapaku, kami cuma berdua di sini.. tapi sikapnya semakin membuatku
takut…. Tuhan! Keluh Sita dalam hati.
Tiba-tiba Sita mendengar langkah kaki perlahan menuju
arahnya, jantung Sita mulai berdetak dengan begitu cepat. Tangannya semakin
rapat menutupi wajahnya. Ia tak berani bahkan hanya untuk mengintip dari
sela-sela jarinya. Langkah kaki itu semakin jelas terdengar, menandakan bahwa
lelaki itu semakin dekat di hadapannya. Jantung Sita semakin memburu. Kini ia
bisa merasakan helaan napas lelaki itu di balik tangannya. Helaan napas dingin
lelaki itu membuat Sita merinding dan kian makin ketakutan.
“Buka tanganmu...” bisik sebuah suara di depan Sita.
Tapi, Sita tidak menuruti apa yang diucapkan suara itu, ia masih menutup
wajahnya dengan erat. Ia berharap tiba-tiba kereta sampai di stasiun dan kereta
berhenti. Jika iya, dia akan bergegas lari dari sana dengan sekencang mungkin.
Tapi nihil, harapan Sita hanyalah sebuah harapan karena nyatanya pemberhentian
selanjutnya masih lama.
“Bukaa!!!” kini suara itu semakin keras dan
menunjukkan kemarahan, “Lihat Aku!!” lanjutnya. Sita terhenyak karena kini
lengan dingin lelaki itu memegang lengan Sita dan menariknya. Sita tidak cukup
kuat untuk menahan tangannya, akhirnya tangannya tak lagi menutupi wajahnya.
Tapi Sita menutup matanya rapat-rapat agar satu-satunya hal yang ia bisa lihat
adalah kegelapan. Tapi lelaki di depannya juga tidak mau menyerah, ia membuka
paksa mata Sita dengan menarik kedua kelopak mata Sita. Sita berteriak
kesakitan dan minta tolong..
“Jangaaaan!!! Aku tidak mau!!!” teriak Sita.
Tapi apa daya, akhirnya mata Sita terbuka. Dan sedetik
kemudian ia terdiam terpaku melihat makhluk di hadapannya. Sita bergidik ngeri
melihat wajah menyeramkan berlumuran darah itu..
“Hahahahaha…. Lihat mataku! Sekarang kamu tidak akan
bisa selamat!” ucapnya. Itu membuat Sita tahu bahwa ia bisa terbunuh hanya jika
melihat makhluk itu. Sita mencoba memejamkan matanya lagi, tapi sudah tidak
bisa. Sekuat tenaga Sita mencoba tapi seluruh ototnya tak bisa digerakkan.
Makhluk mengerikan di depannya mendekati Sita dan mulai mencekiknya..
“Tidaaak!!!!!” teriak Sita terbangun dari tidurnya.
“Mbak, Mbak.. mimpi buruk ya? Mbak mau turun dimana?
Ini stasiun terakhir Mbak..” sapa seseorang lelaki dengan senyum manis di
depannya. Ternyata Sita baru saja tertidur di dalam gerbong dan mimpi buruk.
“Fiiuuhh… untunglah Mas membangunkan saya, saya bisa
saja mati dalam mimpi.. trimakasih Mas,” ucap Sita lega.
“Iya Mbak sama-sama. Mungkin Mbak lupa berdo’a sebelum
tidur tadi..”
“Hehe.. saya tadi kan ketiduran Mas,”
“Oh begitu.. ehm, maaf Mbak saya permisi keluar
duluan.” Ucap lelaki itu dengan senyum manis lagi. Senyum menarik itu membuat
Sita tenang.
“Iya Mas, terimakasih..” ucap Sita. Lalu lelaki yang
membangunkan Sita itu berdiri dan berjalan keluar gerbong, “Mas, namanya siapa?”
lanjut Sita sedikit berteriak. Lelaki itu membalikkan badannya dan senyum
misterius mengembang dari bibirnya, senyum yang membuat Sita ngeri,
“Zombie..” ucap lelaki itu.
Sita terdiam kaku dan menyadari bahwa lelaki itu
membawa sebuah jurnal tebal dan besar dengan sampul dari kertas berwarna hitam
bertuliskan barisan huruf dengan warna merah dan putih di tangannya dan ia
menjinjing sebuah tas hitam besar yang mungkin muat untuk diisi seorang anak
kecil. Sita bergidik ngeri dalam bingung.
Karanganyar, 17 Oktober 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar