Senin, 10 Maret 2014

Draft 3 : Bu Ehem

             Khusus pada entri berjudul draft akan ada fenomena-fenomena kehidupan yang saya bagikan. Semoga bermanfaat dan bisa di pahami :) 
            Setelah cerita mengenai Pak Ehem di Draft 2  , kali ini saya juga akan menceritakan mengenai guru lagi. Tapi kali ini beda cerita, beda guru. Sesuai judulnya kita sebut saja sang guru kali ini sebagai bu Ehem.

            Bu Ehem adalah seorang guru yang saya dengar kisahnya melalui adik-adik saya di SMP. Mereka menceritakan mengenai cara mengajar bu Ehem ini. Jadi, bu Ehem adalah guru pelajaran Matematika mereka. Sudah terkenal bahwa matematika adalah satu pelajaran yang susah di cerna oleh perut anak SMP maupun SMA –maksud saya dicerna otak (sebagian dari) mereka. Nah kebetulan adik-adik saya termasuk ke dalam kategori mereka ini. Bukan, bukan mereka yang harus saya ceritakan.
            Ini tentang bu Ehem yang mereka keluhkan. Bu Ehem yang pilih kasih terhadap muridnya. Jadi, beliau ini mengajar di kelas IX. Kelas yang notabene akan segera menghadapi ujian nasional. Bu Ehem membuat peraturan yang menurut saya juga termasuk tidak adil, bahwa setiap latihan soal masing-masing anak diminta maju mengerjakan di papan tulis secara urut dan bergantian. Namun, jika tidak bisa maka ia harus membayar denda sebesar Rp. 100,00. Awalnya saya berpikir biasa saja, mungkin sebagai motivasi agar siswa-siswinya mau berusaha. Tapi yang membuat saya akhirnya tidak suka pada kebijakan itu adalah saat adik-adik saya bilang bahwa uang yang terkumpul seringnya jatuh pada anak pintar yang selalu bisa mengerjakan. Ah tentu saja demikian karena sering kali satu soal belum bisa terselesaikan sebelum mencapai giliran si anak pintar. Ah miris.
            Kalau saja uang itu dimasukkan sebagai uang kas kelas sih masih wajar dan bisa diterima, tapi kenapa akhirnya diberikan pada si anak pintar yang bisa mengerjakan? Itu akhirnya hanya akan membuat anak-anak yang lain iri dan tidak menyukainya. Apalagi kalau si anak pintar ini sungkan untuk berbagi ilmu kepada teman-temannya yang lain.
            Miris lainnya adalah saat adik-adik juga bercerita mengenai bentuk kepilihkasihan bu Ehem yang lain. Yaitu saat salah satu adik saya bertanya pada bu Ehem mengenai cara mengerjakan suatu soal tetapi bu Ehem tidak menghiraukan adik saya. Beliau bahkan tidak melihat ke arah adik saya. Siapa tahan? Dan, hey bu. Mereka sudah anak kelas 3 SMP, mereka bukan anak kelas 3 SD yang belum bisa merasakan sakit hati. Harusnya ibu juga memikirkan perasaan mereka juga. Karena saat si anak pintar bertanya ibu saja langsung menjawab pertanyaannya dengan bahasa yang paling halus.
Bukankah harusnya sebaliknya? Bukankah harusnya ibu lebih menyayangi anak-anak yang kurang paham agar mereka bisa mengikuti ketertinggalannya? Mereka yang kurang paham harusnya lebih diperhatikan agar memiliki minat untuk lebih tahu dan berusaha untuk tahu, bukan merasa tidak dipedulikan. Jika itu terus terjadi dan dilakukan semua guru, betapa miris nasib murid-murid nantinya. bu, izinkan mereka juga tahu. Izinkan mereka juga paham dan mengerti. Sayangi mereka dan tumbuhkan kerja keras dan usaha mereka agar besemangat untuk lebih maju dan tahu.
Sekarang teman-teman (terutama calon guru), mari berjanji untuk menjadi pendidik yang baik dan tidak pilih kasih. Mari justru menyayangi mereka yang membutuhkan kasih sayang lebih bukan mereka yang memiliki kepintaran lebih :-)
                                                                                                                          


Karanganyar, 8 Maret 2014
08 : 26 PM
Semoga Bermanfaat :-)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar