s4stika
Rasanya masih bisa kukenang sebatang lintingan tembakau di atas meja
yang dulu selalu menemani sepiku. Rasanya masih bisa kuhirup aroma kepulan asap
yang dulu terasa begitu menggelorakan sistem respirasiku. Dan rasanya masih
bisa kuingat tawaku saat memperlakukan asap yang keluar dari hidungku sebagai
mainan paling lucu seperti halnya anakku Nara yang sedang memainkan boneka
beruangnya.
Tapi kini, lintingan itu, meskipun masih sangat menggodaku untuk
menghirupnya, namun dengan penuh kesadaran aku tahu aku akan semakin tak bisa
berkata-kata karenanya. Lintingan itulah yang perlahan menggerogoti lisanku
dengan begitu lembut dan dengan cara yang begitu manis. Candu adalah senjata
utamanya, ia menyerangku dengan peluru yang mereka sebut dengan nikotin.
Sekarang mereka –manusia-manusia di sekitarku- mengecam dan
menyalahkanku saat bibirku bahkan sudah tidak bisa membuat satupun pembelaan.
Mereka mengatakan “kapok” tanpa tahu
rasa perih yang lebih dari kapok yang
melandaku. Bahkan sebelum lisan ini membisu, mereka telah lebih dulu menyiksaku
dengan menjauhkan Naraku tersayang.
“Jangan mendekati cucuku.. jauhkan mulut bau nikotinmu itu jauh-jauh!”
ucap mertuaku saat aku hendak menggendong Nara. Dengan gerakan gesit, beliau
merebut Nara dari tanganku.
“Mas.. setidaknya tolong letakkan benda berasap itu sebelum Mas ingin
mendekati Nara.” Ucap istriku dengan lembut. Ah Nisa, gadis desa baik-baik yang
kunikahi dua tahun silam itu benar-benar membuatku merasa tak pantas untuk menjadi
pendampingnya. Kelembutannya berbanding terbalik dengan ucapan tegas mertuaku.
Kini, bahkan setelah berhenti mengepulkan asap dari mulutku, masih saja
aku tidak bisa mencium pipi Naraku tersayang. Yang dilakukan Nisa dan mertuaku
memang benar, Nara tak boleh dekat-dekat denganku. Peluru candu itu telah
menumbuhkan suatu hal yang tidak kumengerti yang mereka sebut sebagai kanker mulut. Apapun itu yang jelas kini
pita suaraku hampir benar-benar tak berguna karenanya. Hal itu menumbuhkan tambahan-tambahan dalam mulutku yang
benar-benar mengganggu. Minum segan, makan pun enggan.. dan di saat seperti ini
justru keinginan mulutku untuk merasakan kembali candu itu menjadi begitu
besar. Biasanya, akan ada ketenangan merasuk bersama candu itu ke dalam
paru-paruku.
Tapi nuraniku melawan, melawan untuk tidak menghirup racun candu itu
lagi. Dan rasanya sungguh menyesakkan pada awalnya, dunia terasa berputar dan
seluruh badanku goyah. Tapi Nara.. ya, demi Nara akan kulawan sesak ini. Di
hari perih ini bisa kulampaui, dengan harapan penuhku niscaya aku bisa mencium
Naraku untuk pertama kali.
Nisa dan Nara selalu datang membawakanku senyum ke dalam bilik tempatku
terbaring lemah dalam gedung bernama rumah sakit ini. Ragaku melemah bersama
bergulirnya waktu, tapi tidak dengan jiwaku. Nara duduk di pangkuan ibunya di samping
ranjangku. Pada awalnya Nara bergidik ngeri menatap wajahku yang tampak seperti
monster baginya, tapi Nara kini mulai terbiasa. Tuhan, kenapa tidak dari dulu
Engkau memberiku hal menyeramkan ini sehingga aku bisa dekat dengan Naraku? Aku
terima sesak ragaku ini, asal jiwaku damai bersama Nara dan Nisaku untuk
selamanya.
Seorang laki-laki berperawakan besar yang mengenakan jas putih dan
mengalungkan stetoskop di lehernya memberitahuku bahwa keadaanku semakin
kritis.
“Saya semakin bahagia, dokter..” ucapku saat itu.
Hal yang mereka sebut dengan kanker
ini mungkin memang menggerogoti ragaku, namun hal itu juga menumbuhkan ketenangan
jiwa dan mendekatkanku dengan Naraku tersayang. Mungkin aku memang belum bisa
mencium pipi Nara untuk pertama kalinya, namun sudah bisa kucium kebahagiaan
dalam tawa dan sentuhan tangan mungilnya.
***
Butiran bening mendesak keluar dari sudut kedua mata Nara saat ia
membaca sebuah buku yang diberikan ibunya. Nara mencium buku itu dengan
membayangkan itu adalah sosok Ayahnya. Nara merindukannya. Nara yang beranjak
dewasa tanpa seorang Ayah bertekad akan mewujudkan mimpinya memberantas benda bernikotin dari muka bumi!
Karanganyar,
09 Mei 2014
Semoga
Bermanfaat :-)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar