Minggu, 11 Mei 2014

Tentang "Bekisar Merah"nya Ahmad Tohari


sampul depan
Sampul Belakang : BEKISAR, unggas elok hasil silang antara ayam hutan dan ayam biasa sering menjadi hiasan rumah orang-orang kaya. Dan, adalah Lasi yang berayah bekas serdadu Jepang; kulitnya yang putih dan matanya yang khas membawa dirinya menjadi bekisar untuk hiasan sebuah gedung dan kehidupan megah seorang lelaki kaya di Jakarta. Lahir dalam keluarga petani gula kelapa sebuah desa di pedalaman, Lasi terbawa arus sejarah hidupnya sendiri dan berlabuh dalam kemewahan itu dan rela membayarnya dengan kesetiaan penuh pada Pak Han, seorang suami tua yang sudah lemah. Namun Lasi gagap ketika menemukan nilai perkawinannya dengan Pak Han hanya sebuah keisengan, main-main. Longgar, dan di mata Lasi sangat ganjil.

Dalam kegelapan itu Lasi bertemu dengan Kanjat, teman sepermainan yang sudah jadi lelaki matang. Lasi ingin Kanjat menolongnya seperti dulu ketika keduanya masih sama-sama bocah. Lasi ingin Kanjat membebaskan dirinya dari kurungan bekisar di rumah Pak Han. Tetapi Kanjat sibuk sendiri dengan kegiatan kemasyarakatan dalam upaya memperbaiki kehidupan para petani gula kelapa. Maka Lasi harus bisa memutuskan sendiri untuk menjadi bekisar dalam kurungan kehidupan kota dan makmur tetapi ganjil atau terbang untuk membangun kembali dunianya sendiri yang sudah lantak. Pada titik ini Lasi merasa berdiri di samping jalan yang sangat membingungkan.

Paragraf yang Bagus (y) dan sarat amanat:
“Seorang teman yang mau mengerti dan bisa menjadi bejana tempat menuangkan perasaan telah ditemukan Lasi. Dengan anggukan kepala dan senyum penuh pengertian Bu Koneng, dengan cara yang sangat diperhitungkan, menjadikan dirinya sandaran bagi hati Lasi yang sedang kena badai. Lasi mendapat seorang sahabat ketika dirinya merasa tercabut dari bumi dan terpencil dari dunianya. Ketika harus mengembara di tengah padang kerontang yang sangat terik, seseorang memberinya payung dan segayung air sejuk. Hati Lasi tertambat.” Halaman 97.

“’Oh, aku belum menjawab pertanyaanmu? Dengarlah anak muda, orang sebenarnya diberi kekuatan oleh Gusti Allah untuk menepis semua hasrat atau dorongan yang sudah diketahui akibat buruknya. Orang juga sudah diberi ati wening, kebeningan hati yang selalu mengajak eling. Ketika kamu melanggar suara kebeningan hatimu sendiri, kamu dibilang orang ora eling, lupa akan kesejatian yang selalu menganjurkan kebaikan bagi dirimu sendiri. Karena lupa akan kebaikan, kamu mendapat kebalikannya, keburukan. Mudah dinalar?’

Darsa mengerutkan kening.
‘maksud Eyang Mus, tidak benar manusia mung sakdrema nglakoni?’ tanya Darsa dengan sorot mata bersungguh-sungguh. Eyang Mus terkekeh.” Halaman 115-116

“…Jawabnya sering terdengar sebagai keletak-keletik langkah kaki kuda penarik andong yang biasa lewat dekat kampus: datar dan terasa mengandung rahasia.” Halaman 130

“…. Lasi ragu karena mendadak teringat Emak pernah mengatakan, tak ada pemberian yang tidak menuntut imbalan. Ya. lasi masih ingat betul emaknya beberapa kali menekankan, tak ada pemberian yang tidak menuntut imbalan. Bahkan Emak waktu itu bilang, dia sendiri merasa berhak menuntut imbalan kepatuhan Lasi karena dia telah melahirkan dan menyusuinya.
…..Dan kata Eyang Mus, ‘Hanya pemberian Gusti Allah yang sepenuhnya cuma-cuma karena Gusti Allah alkiyamu binafsihi, tak memerlukan apapun dari luar diri-Nya, bahkan puji-pujian dan pengakuan manusia sekalipun.’” Halaman 145

“Kali ini pun Lasi hanya menggelangkan kepala. Matanya yang merah melekat pada wajah Kanjat. Ingin dicarinya sasmita yang bisa menerangkan mengapa Kanjat terus mengajaknya pulang. Samar, sangat samar, Lasi menangkap apa yang dicari pada senyum dan mata Kanjat.” Halaman 178

“’Ya, aku menyadari hal itu. aku juga sadar giri lusi, jama tan kena kinira, hati manusia tak bisa diduga…’” halaman 186

“Lasi terbelalak. Sejenak terpana dan tiba-tiba sulit bernapas. Wajahnya pucat oleh guncangan yang mendadak menggoyang jiwanya. Sepasang alisnya merapat. Lasi gelisah. Tetapi Bu Lanting tak ambil peduli.” Halaman 198

“Sesungguhnya Lasi tahu jawaban yang harus diberikan hanya satu di antara dua: ya atau tidak. Namun kedua jawaban itu amat sulit dicari karena keduanya bersembunyi dalam rimba ketidakjelasan, keraguan, malah ketidaktahuan. Segalanya serba samar dan baur. Lasi jadi gagap karena merasa dihadapkan kepada dua pilihan yang tiba-tiba muncul di depan mata.
…..’Ya ampun, ternyata diriku sudah tertimbun rapat oleh utang kabecikan, utang, utang budi, atau apalah namanya. Bila aku masih punya muka, aku harus menuruti kemauan Bu Lanting untuk membayar kembali utang itu. aku tak mungkin menampik Pak Han. Tak mungkin?’” halaman 203

“.. Namun sesering itu pula Lasi teringat ada kata-kata yang pernah diucapkan emaknya, aja dumeh, jangan suka merasa diri berlebih.” Halaman 274

RESENSI
Judul                           : Bekisar Merah
Penulis                         : Ahmad Tohari
Penerbit                       : PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal                           : 312 halaman
Tanggal Terbit             : Cetakan pertama Mei 1993, cetakan kelima Agustus 2005

Sinopsis : Bekisar Merah mengisahkan lika-liku kehidupan seorang perempuan keturunan Jawa-Jepang yang bernama Lasiyah. Lasi sering menjadi olok-olok dan gunjingan teman-teman serta warga kampung lantaran ketidakjelasan Ayahnya yang bekas serdadu Jepang. Lasi yang memiliki lekuk manis dipipinya, kulit putih, serta mata sipit menikah dengan keponakan ayah tirinya yang bernama Darsa. Darsa, seperti kebanyakan orang Karangsoga lainnya bekerja sebagai penyadap nira kelapa untuk kemudian di olah istrinya menjadi gula. Suatu hari kejadian yang sangat mengerikan menimpa Darsa, ia terjatuh dari pohon kelapa. Darsa sakit dan dibawa ke rumah sakit, namun karena keterbatasan biaya akhirnya Darsa dibawa pulang dan dirawat di rumah. Darsa akhirnya sembuh setelah dipijat oleh Bunek beberapa kali. Lasi pun senang.
Namun tak lama, Sipah, anak Bunek menuntut Darsa untuk menikahinya karena telah hamil anak Darsa. Lasi terpukul, terpuruk, dan akhirnya memilih kabur ke Jakarta. Di kota besar ia bertemu dengan Bu Koneng yang mempertemukannya dengan Bu Lanting yang memperkenalkannya dengan Pak Handarbeni yang kaya raya. Melihat kecantikan Lasi, Pak Han pun mempersuntingnya. Lasi yang merasa berhutang budi pada Bu Lanting pu mengiyakan meskipun sebenarnya hatinya tertambat pada Kanjat, teman sepermainannya yang telah menjadi lelaki dewasa dan insinyur.
Setelah resmi menjadi janda, Lasi menikah dengan Pak Han dan menjalani hidup serba mewah. Lasi menjadi bekisar yang menghias rumah mewah Pak Han. Namun ada satu masalah dengan Pak Han, yaitu Pak Han impoten. Yang membuat Lasi begitu kecewa adalah perkataan Pak Han yang mengizinkan Lasi nyeleweng asalkan ia tetap menjaga rahasia. Saat dirudung kecewa itu Lasi meminta waktu untuk pulang ke Karangsoga. Di kampung Lasi mendapat perlakuan yang berbeda dari warga sekitarnya. Lasi memperbaiki rumah emaknya dan hendak membantu memperbaiki suaru Eyang Mus. Namun Eyang Mus menolak dan meminta Lasi membantu mendanai penelitian Kanjat saja.
Lasi pun menemui Kanjat dan menawarkan bantuan, namun Kanjat menolak karena beberapa alasan mengenai kemungkinan warga Karangsoga yang sulit menerima perubahan dari menjual gula menjadi hanya menjual nira saja kepada Kanjat dan akan diolah Kanjat dengan mesin yang hemat energi. Di pertemuan itulah, asmara mereka bersemi kembali. Lasi menceritakan tentang segala yang dia alami dan meminta Kanjat membantunya keluar dari sangkar Pak Han.
Kanjat berjanji akan menerima Lasi setelah Lasi menjadi janda Pak Han.

Ulasan : Kisah Lasi dapat disampaikan oleh Ahmad Tohari dengan begitu baik. Bahasa yang digunakan begitu indah dan membuat pembaca bebas berimajinasi mengenai keindahan suasana yang ingin disampaikan. Alur cerita mengalir dan mudah dipahami. Penggambaran latar, suasana, setting dan penggambaran watak tokoh dapat tersampaikan dengan mudah secara tersirat. Nasehat dan petuah juga dapat ditemukan dalam berbagai babak kisah maupun secara langsung dari dialog tokoh.
Namun, akhir cerita ini menggantung. Tidak diketahui bagaimana kisah Lasi selanjutnya setelah kembali ke Jakarta dan meminta cerai dari Pak Han. Apakah Pak Han bersedia atau tidak? Apakah Pak Han akan marah dan mencari Darsa? Atau bagaimana? Hal ini memang ada baiknya, yaitu membebaskan pembaca untuk memutuskan akhir yang baik bagi Lasi. Namun, ada juga pembaca yang akan bertanya-tanya mengenai akhir kisahnya.
Novel ini baik dibaca bagi orang dewasa yang akan maupun telah berkeluarga, karena banyak mengandung petuah kehidupan dalam berumah tangga. 



Karanganyar, 11 Mei 2014
Semoga Bermanfaat :-)  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar