PARAGRAF
YANG BAGUS (y) :
“… Jika memang kamu tidak berhasil masuk UMY, itupun
sesungguhnya bukanlah sebuah kegagalan. Kamu telah berhasil menaklukan rasa
takutmu. Dan yakinlah kamu akan diterima oleh ilmu sebagai orang yang
merindukannya.”
Begitulah kalimat yang kerap kali dia dengungkan kepadaku.
Sebuah untaian kata sederhana dan seringkali dikhutbahkan banyak orang. Namun,
bila yang mengatakannya adalah seorang sahabat yang tulus, lain rasanya.
Kata-kata sahabat sejati adalah cahaya matahari yang menerangi kegelapan dalam
nebula hati.
(Halaman 56)
Aku tafakur. Betapa sesulit apapun keadaan, segala
kemungkinan bisa terjadi. Karena sejatinya, dalam kemauan, kerja keras, dan
keberanian tersimpan keberuntungan. Laksana hujan yang bersembunyi di balik guruh
dan petir. Seperti langit yang menjanjikan cahaya bintang gemilang kala mentari
pamit ke peraduan. (Halaman 58)
Di sini, aku begitu jauh tertinggal dari mahasiswa lainnya.
Aku adalah kelinci malang yang terjebak dalam kawanan kuda Galapagos yang gagah.
Aku megap-megap mengikuti standar
pendidikan di universitas ini. Sampai sering aku berpikir, cukup sudha,
sebaiknya aku keluar saja dari sini. (Halaman 62)
Tak ada habisnya ia menyeru hal itu, sampai karatan di
telingaku, sampai bosan aku mendengarnya. Apalagi lagaknya itu, seperti ustadz
TPA mengajari tepuk anak soleh. Tapi sejujurnya aku amat beruntung berada di
dekatnya. Salah satu ciri sahabat yang baik adalah yang mau memberi peringatan
pada dirinya, walaupun minta ampun menyebalkannya. (Halaman 64)
Mengapa setiap orang memiliki definisi sendiri tentang
bahagia? Karena sesungguhnya kebahagiaan adalah cahaya yang bersembunyi di
balik bayangan kita sendiri. Dia adalah mutiara yang semua manusia boleh
memilikinya. Kaya, fakir, rakyat jelata, penguasa, lelaki, perempuan, muda,
tua, seniman, ulama, petani, guru, dan tukang semir seluruhnya punya hak untuk
bahagia.
Sebuah syair
Arab mengatakan :
Merasa tentramlah selalu
Senangkanlah hatimu atas semua keadaanmu
Karena
pintu bahagia amat banyak tak berbilang
Sesungguhnya
untuk menemukan bahagia caranya cukup sederhana, yang diperlukan hanyalah orang
yang mencarinya bersedia bahagia, itu saja, tak lebih. (Halaman 73)
Satu-satunya petunjuk yang mengarah pada nama keghaiban itu
kutemukan dari untaian wahyu Ilahi. Kitab suci menyebutnya ruh. Sampai di sini,
aku merasa seakan menemukan sesuatu yang telah lama kucari. Aku menemukan ruh.
Aku berhasil menghancurkan kerak pemikiran materialism. Sungguh tak disangka,
Allah memberiku jawaban justru melalui jalan yang begitu aneh.
Kini aku bisa melihat Tuhan dengan benderang di mana-mana.
Di aliran darahku, di sayap-sayap nyamuk, di sarang laba-laba, di samudera
biru, dan di alam raya. Kutemukan kebenaran yang hakiki yang terselip di antara
filsafat dan cinta. (Halaman 101)
“Anakku, cinta sejati adalah perasaan yang bisa menuntunmu
ke jalan yang diridhoi Allah. Yang lain omong kosong dan sekedar fatamorgana.
Tak mungkin… tak mungkin engkau bisa mendapatkan cinta sejati kalau engkau
mencintai sesuatu bukan karena Allah.” Kali ini suaranya selembut sutra
Kashmir. (Halaman 107)
Jika dia tersenyum, pancaran sinar kesyahduan akan menerobos
dan mengalir menuju muara ruhani yang dalam. Maka satu senyum yang lepas dari
bibirnya tak lain adalah rangkaian karya sastra yang agung.
Bayangan wajahnya selalu terbang mengikuti sepasang mata
yang pernah memandangnya. Maka bayangannya bisa jadi tiupan sihir yang
membekukan akal sehat…. (Halaman 136)
“Kamu menjawab, sungguh andaikata Tuhan berkehendak, Dia
bisa saja membuat seluruhnya baik, tapi apa guna Dia memberi kita akal, hati
dan waktu? Semua itu adalah agar kita bisa memilih. Saat itu kamu juga berkata
bahwa dengan kejahatan, kita bisa benar-benar tahu dan menghargai kebaikan.
Yang paling penting, kamu menyatakan bahwa kebaikan dan kejahatan adalah ujian
mental manusia yang akan menentukan nilainya di hadapan Tuhannya.” (Halaman
199)
“Tahukah kamu gadis bodoh? Air matamu yang keluar demi
kehormatan diri itu adalah kehormatan seorang muslimah yang sesungguhnya.”
(Halaman 201)
Di satu waktu
Engkau bisa mengatakan,
“Aku tak butuh apa-apa,”
Tapi dalam jiwamu yang dalam
Takkan kuasa mengatakan
“Tidak juga seorang sahabat,”
Karena engkau pasti mengerti
Apa arti sahabat itu?
Dialah mutiara pengisi
lautan hatimu
Tetaplah dia mutiara
Walau lautmu surut mengering
Karena engkau pasti mengerti
Kapalmu bisa berlayar dengan sempurna
Karena angin yang ditiupkan sahabatmu
Tapi mengapakah engkau masih
ragu
Untuk menyambutnya dengan
jubah terbaikmu
Karena jubahnya telah
terkoyak
Untuk kemuliaanmu
Biarlah dia merasakan manisnya madu kehidupan
Karena pahitnya empedu kehidupanmu
Telah tertelan bersamanya
Janganlah pernah ragu
Dengan kata-kata sahabatmu
Karena di dalamnya mengalir
Sungai kesetiaan
Tanpa kedustaan
Dan di tepi garis harapan
Sahabatmu telah menuggu
Untuk berjalan bersama
Menuju kebahagiaan terindah
Anisa Hinke
(Halaman 207)
Di antara derai kesedihan yang
meliputi nebula jiwaku, terselip satu kebanggaan besar. Aku lega bisa melakukan
sesuatu yang tampak sukar untuk kulakukan. Aku merasa telah menempuh jalan yang
terjal dan melelahkan untuk sampai pada penemuan diri yang lebih berharga.
(Halaman 219)
“Ternyata benar kata-kata Pak
Tiyori dulu, masa depan yang tidak dipersiapkan dengan sungguh-sungguh adalah
patukan ular kobra yang beracun.” Kenangnya pedih. (Halaman 222)
“Tak perlu kalian berpikir yang
bukan-bukan! Lagi pula tak adil jika hanya menyalahkan kalian saja. Bisa saja
ini akibat kesalahanku dan guru-guru lain yang kurang memperhatikan kalian.”
(Halaman 226)
Hari ini, bulan, malam, bintang,
airmata, dan seluruh makhluk di alam semesta menjadi saksi janji langit telah
ditunaikan. Seorang anak manusia kembali pada fitrahnya, menemukan kebenaran
tak terbantahkan. Kebenaran yang datang dari Tuhannya. Tuhan yang
sebenar-benarnya Tuhan. Tuhan yang memang pantas menjadi Tuhan. Tuhan yang
mempunyai seluruh sifat kesempurnaan. Tuhan yang sejati, abadi, dan tak terikat
dengan ruang dan waktu. (Halaman 331)
RESENSI
Judul : Janji Langit
Penulis : AISHWORO AnG
Penerbit : Hikam Pustaka
Tebal : 332 halaman
Tanggal Terbit : Juni
2010
Sinopsis :
Berkisah
mengenai perjalanan seorang tokoh bernama Bejo Respati. Awal kisah, Bejo hidup
di Surabaya karena kabur dari kejaran hutangnya, ia bersama sahabatnya Acet dan
kekasih sahabatnya, Elisa, yang akan segera melahirkan. Bejo dan Acet hidup
menjadi berandalan jahat. Acet benar-benar tidak percaya kan adanya Tuhan. Suatu
hari Elisa akan melahirkan namun Acet tidak mau mengantarnya ke Rumah Sakit,
hingga akhirnya Bejo menculik seorang bidan bernama bu Arba. Elisa dan bayinya
selamat, namun keesokan harinya Acet justru menjual bayinya dan membuat Elisa
meninggalkannya. Begitu pula Bejo yang memilih kembali ke kampung halamannya di
Gunungkidul untuk mencari Tuhan dan berjanji akan kembali menemui Acet di
jembatan merah.
Bejo kembali ke kampung
halaman, dan atas dukungan seorang sahabat bernama Fatima ia masuk Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta dan buah do’a dan keberaniannya ia diterima. Fatima
juga membantunya mendapatkan pekerjaan menjadi peloper koran. Di UMY Bejo
bertemu dengan sahabat-sahabat baru, Wahyu dan Anisa Hinke. Bejo pun karena
keberuntungan menjadi anggota Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Bejo yang menyukai
filsafat pun menemukan jawaban atas pencariannya, Tuhan.
Di sela kuliahnya ia bertemu seorang gadis
bernama Wulan yang membuatnya tergila-gila karena cinta dan akhirnya patah hati
karena Wulan justru bertunangan dengan seorang pria. Hinke yang juga merupakan
saudara jauh Wulan dan sahabat baik Bejo memberi semangat dan menjadi pelipur
lara bagi Bejo yang sedang patah hati. Namun, karena persahabatannya dengan
Hinke, Bejo juga dilanda musibah yaitu dikeroyok lelaki yang ditolak Hinke –Bram-
dan ingin menyingkirkan Bejo dari dekat Hinke. Lelaki itu juga menaruh dendam
pada Hinke dan memfitnah Hinke hingga akhirnya Hinke di keluarkan dari kampus.
Bejo tidak rela bila
sahabat baiknya yang memiliki potensi besar itu putus kuliah, akhirnya Bejo
berkorban mengakui kesalahan yang bukan ia perbuat agar Hinke kuliah kembali. Bejo
pun mengundurkan diri dari kampus.
Suatu hari, Bejo tanpa
sengaja mendengar percakapan Bram dengan kakak tiri Hinke, Salma, yang ternyata
menjebak Hinke. Namun, Salma pun terancam celaka karena akan dikorbankan Bram
pada sebuah sekte mistis yang sudah punah dan diam-diam memunculkan diri
kembali. Hinke kala itu sakit dan meminta Bejo menyelamatkan Salma. Bejo memberanikan
diri pergi bersama sahabatnya Wahyu ke sebuah gua yang akan dijadikan tempat
ritual oleh sekte itu.
Naas, Bejo dan Wahyu
tertangkap. Namun, kedatangan seorang teman bernama Hanuan tanpa disangka
menyelamatkan mereka.
Bejo memutuskan untuk
kembali ke Surabaya untuk menemui sahabatnya Acet dan menunjukkannya Tuhan. Tanpa
disangka, Acet berubah menjadi seorang yang lebih mapan, namun masih dengan
hati dan jiwa berandalan yang sama. Bejo berusaha menunjukkan Tuhan pada Acet,
namun Acet ngeyel dan justru menertawakan Bejo. Akhirnya Acet justru menemukan
Tuhan di saat kematiaanya yang disebabkan oleh tembakan Elisa yang begitu ia
kecewakan.
Ulasan :
Penulis, Aishworo AnG,
mampu mengisahkan alur cerita dengan begitu ringan dan mengalir tenang. Dengan penggunaan
bahasa penuh majas pada bagian-bagian awal bab maupun tengah dan akhir, membuat
novel semakin menarik untuk terus dibaca hingga usai. Penggambaran latar dan settingnya
detail dan mudah dibayangkan dengan imajinasi pembaca. Amanat tersirat maupun
tersurat juga dapat ditemukan pada setiap babnya. Alur kisah dalam novel ini
menghanyutkan pembaca pada pemikiran yang lebih mendalam di setiap babnya. Membawa
pembaca pada segi-segi kehidupan yang sederhana namun kadang terlupakan.
Namun, menurut saya, dalam
menuangkan pikirannya dalam kisah ini, terkadang pikiran itu kurang sesuai
dengan imej tokoh yang telah dibangun sebelumnya.
Bagaimanapun, novel sarat
makna ini saya rekomendasikan untuk dibaca di sela-sela pencarian anda :-). Kisah
persahabatan, perjuangan, pencarian, dan ketulusan yang akan menyentuh hati anda.
Karanganyar,
25 Mei 2014
Semoga
Bermanfaat :-)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar