s4stika
cerita lanjutan dari Senyum Anti Sindiran [Bagian 1]
Pagi di
hari minggu menjadi pagi sampah di kompleks kami, karena setiap pagi di hari
minggu seorang bapak tua yang kukenal sebagai Pak Tarno akan mengangkut
sampah-sampah dari rumah kami dengan gerobak kayunya menuju TPS. Pagi ini aku
sengaja menunggu Pak Tarno di depan pintu dengan sekantong plastik penuh
sampah.
“Tari!
Ngapain di depan pintu bawa-bawa sampah?” suara Fajri dari rumah sebelah
mengagetkanku dari lamunan.
“Nungguin
pak Tarno, Faj.”
“Kenapa
musti ditungguin? Tinggalin aja di depan, nanti juga diambil..”
Mendengarnya
aku hanya tersenyum miris. Tapi tak urung Fajri pun keluar lalu duduk di teras
sambil memainkan handphone-nya.
Beberapa
saat kemudian, kulihat pak Tarno mulai mendekat. Pak Tarno mampir ke rumah
Fajri sebelum ke rumahku.
“Permisi
Mas, saya ambil sampahnya ya..” ucap pak Tarno lembut.
“Iya Pak,
ambil aja.” Ucap Fajri tanpa mengalihkan pandangan dari handphone-nya.
Lalu pak
Tarno menarik gerobaknya ke depan rumahku, kuhampiri beliau yang langsung
tersenyum –senyum paling ramah yang pernah kulihat.
“Ini Pak
sampahnya,” ucapku sambil meletakkan sampah di gerobak pak Tarno.
“Wah
terimakasih nak,” sahut Pak Tarno.
“Tidak pak,
saya yang berterimakasih..”
“Kalau
begitu sama-sama ya nak. Mari..” ucap pak Tarno seraya menarik gerobaknya ke
rumah sebelahku.
Aku
berbalik dan menemukan Fajri menatapku dengan tatapan penuh tanda tanya.
“Jadi..
kenapa harus gitu?” tanyanya.
Aku
tersenyum, berusaha memberikan senyum yang akan susah ia artikan,
“Berterimakasih
itu perlu, meskipun untuk bantuan yang sangat kecil sekalipun. Dan menurutku,
tidak berterimakasih merupakan hal yang tidak bisa dimaafkan…”
Fajri
terdiam sejenak, “Jadi kamu nungguin pak Tarno cuma buat bilang terimakasih?”
“Berterimakasih
bukanlah sebuah “cuma”, Faj.” Ucapku masih dengan senyum.
Fajri
terdiam sejenak lagi, “Tapi, bukannya itu emang udah tugasnya pak Tarno?”
“Apa
tugasnya pak Tarno itu nggak membantu kita?”
Fajri
terdiam.
sumber gambar : http://www.caramudahbelajarbahasainggris.net/wp-content/uploads/2014/03/thanks4.jpg |
*** ***
Kulirik lagi Fajri yang dengan
tergesa-gesa mengerjakan PR matematika dari Pak Luhur kemarin siang. Ah aku
salah, ia bukan sedang mengerjakan PR itu melainkan sedang menyalin pekerjaan
milik Anida, teman sebangkuku. Lagi.
Sepersekian
detik kemudian Fajri tampak tersenyum puas dan menghela napas lega sebelum
kemudian beranjak berdiri menghampiri meja kami.
“Ini An,
buku kamu..” ucapnya sembari meletakkan buku di atas meja. Anida yang sedang
berkutat dengan TTS-nya mendongak,
“Oh, iya.”
Hanya itu yang diucapkan Anida dan ia kembali memutar pandangan pada TTS.
“Uhm,
Anida..” ucap Fajri lirih.
Anida
menatap Fajri, “Iya Faj? Udah semua kan? Oh iya, PR Kimia. Kamu juga mau nyalin
PR Kimia sekalian?”
“Bukan An,
bukan, aku udah ngerjain kok..”
“Terus? Ada
apa Faj?” tanya Anida.
Kulihat
Fajri melirik sekilas ke arahku, “aku, aku mau ngucapin makasih atas bantuan
kamu selama ini An..” tuturnya.
“Haha..
kamu ini kesambet apa sih Faj? Haha.. iya, iya, sama-sama.” Sahut Anida.
Fajri
melirikku dan tersenyum dengan senyum yang susah kuartikan. Dalam hati aku
menggumam Oh, dia sudah mengerti sekarang.
*** ***
Pagi di hari minggu menjadi pagi
sampah di kompleks kami, karena setiap pagi di hari minggu seorang bapak tua
yang kukenal sebagai Pak Tarno akan mengangkut sampah-sampah dari rumah kami
dengan gerobak kayunya menuju TPS. Pagi ini aku sengaja menunggu Pak Tarno di
depan pintu dengan sekantong plastik penuh sampah.
“Tari,
nungguin pak Tarno ya?” panggil Fajri dari teras rumahnya.
“Iya, Faj.”
Seperti
biasa, Fajri sibuk dengan handphone-nya. Tapi sesaat kemudian saat pak Tarno
sudah di depan rumahnya dan mengambil sampah, Fajri bangkit dari duduknya dan
menghampiri pak Tarno.
“Trimakasih
ya Pak, ini ada sedikit sarapan buat bapak.” Ucapnya sambil memberikan sebuah
kantong plastik kecil.
“Wah
terimakasih Mas…” sambut pak Tarno senang.
“Iya pak,
sama-sama.”
Fajri
melirikku yang sedang terpaku menatap tingkah lakunya dengan tatapan penuh
tanda tanya.
“Jadi..
kenapa harus gitu?” tanyaku.
Fajri
tersenyum dengan senyum yang tak mudah kuartikan.
“Kadang,
berterimakasih saja belum cukup..” ucapnya.
Aku
tersenyum, dalam hati aku menggumam Oh,
dia sudah mengerti sekarang.
“Terimakasih”
sebuah kata yang sudah biasa diucapkan, tapi menjadi luar biasa buruk
jika tidak diucapkan oleh orang yang seharusnya mengucapkannya…
*** ***
Karanganyar, 21 Agustus 2014
03:15 pm
Semoga Bermanfaat :-)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar