Rabu, 03 September 2014

Draft 7: "Being Nothing" is Nonsense


Adakah yang percaya bahwa “Being nothing is nonsense.”?
Kalau kalian percaya, berarti kita memiliki frekuensi yang sama dalam hal ini –dan berdasarkan fisika, jika dua benda memiliki frekuensi yang sama maka dapat menghasilkan resonansi. #Ah lupakan.. –
Tapi, kalau kalian belum percaya, coba simak paragraph berikut ini yang saya kutip dari sebuah buku inspiratif hasil karya Zabrina A. Bakar yang telah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia:
“… tetapi untuk menghadirkan sebuah simfoni, harus seluruh orchestra yang bermain. Setiap musisi memainkan instrument yang berbeda, dan setiap instrument berperan unik dalam orchestra itu. Jika satu saja instrument tidak ada, keseluruhan simfoni akan rusak. Tak ada musisi yang iri pada musisi lain karea mereka semua sangat memahami alasan yang mendasari keberadaan mereka dalam orchestra itu. Mereka saling membutuhkan!

Yang sejalan dengan petikan buah pikir H.E. Luccok, yang berkata,
Siulan satu orang tidak akan melahirkan simfoni. Yang dibutuhkan adalah sebuah orchestra.
Memang benar, kan? Mungkin nyanyian seseorang bisa menjadi acapela yang indah. Tapi tak bisa menandingi indahnya paduan suara beberapa suara, bukan? Nah, pertanyaannya di sini adalah bagaimana dengan posisi seseorang yang tak dapat bermain dalam orchestra? Apa perannya jika dia tak diinginkan untuk bermain oleh sang composer?
Sekarang izinkan aku bertanya, Memangnya untuk apa orchestra dimainkan kalau bukan untuk didengar dan diapresiasi? Sudah dapat pointnya? Ya, jadi disitulah peran si “nothing”. Ia adalah apresiator, pendengar dan penonton. Secara tidak langsung ia adalah bagian dari orchestra. Ia berhak mengkritisi dan menilai simfoni yang dimainkan para musisi. Ia berhak memberi saran pada para musisi atas nama perbaikan.
Kita tentu tidak bisa memaksakan kehendak untuk bermain dalam orchestra jika sang composer dengan tegas mengatakan Tidak. Seluruh dunia tahu bahwa sang composer dianggap lebih mengerti musisi mana yang baik dan mana yang tak baik untuk sebuah simfoni. Dalam masa seperti ini, aku jadi teringat perkataan Muhammad Rusli Malik dalam bukunya “Maju Sambil Tersenyum.” :
“Keberanian selalu bebarengan dengan rasa tanggung jawab. Kehebatan mengambil resiko yang tidak disertai sikap gentleman untuk memikul tanggung jawab bukanlah keberanian, melainkan kepengecutan.”
Aku tidak mau menjadi pengecut yang berpura-pura memiliki keberanian untuk memikul tanggung jawab hanya agar terlihat hebat, sedangkan pada kenyataannya aku mungkin tak memiliki sikap yang cukup gentleman untuk memikul tanggung jawab atas keberanian ‘palsu’ku itu. Jadi, daripada aku menghancurkan segalanya, akan lebih baik jika aku menerima dengan cukup menjadi apresiator.
Dan teman, mungkin akan ada saat dimana kita merasa menjadi tak menjadi apa-apa (being nothing), tapi saat itu terjadi, maka mari menjadikan diri kita berguna dengan menjadi pendengar, penonton, dan apresiator yang baik. :-)

KEEP HOLDING ON! :)


Karanganyar, 01 September 2014
22:34 WIB
Semoga Bermanfaat :-)

1 komentar:

  1. salam hangat dari kami ijin iformasinya dari kami pengrajin jaket kulit

    BalasHapus