Adakah yang percaya bahwa “Being nothing is nonsense.”?
Kalau kalian percaya, berarti kita memiliki frekuensi yang
sama dalam hal ini –dan berdasarkan fisika, jika dua benda memiliki frekuensi
yang sama maka dapat menghasilkan resonansi. #Ah lupakan.. –
Tapi, kalau kalian belum percaya, coba simak paragraph
berikut ini yang saya kutip dari sebuah buku inspiratif hasil karya Zabrina A.
Bakar yang telah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia:
“…
tetapi untuk menghadirkan sebuah simfoni, harus seluruh
orchestra yang bermain. Setiap musisi memainkan instrument yang berbeda, dan
setiap instrument berperan unik dalam orchestra itu. Jika satu saja instrument
tidak ada, keseluruhan simfoni akan rusak. Tak ada musisi yang iri pada musisi
lain karea mereka semua sangat memahami alasan yang mendasari keberadaan mereka
dalam orchestra itu. Mereka saling membutuhkan!
Yang sejalan dengan petikan buah pikir H.E. Luccok, yang
berkata,
Siulan satu orang tidak akan
melahirkan simfoni. Yang dibutuhkan adalah sebuah orchestra.
Memang benar, kan? Mungkin nyanyian
seseorang bisa menjadi acapela yang indah. Tapi tak bisa menandingi indahnya
paduan suara beberapa suara, bukan? Nah, pertanyaannya di sini adalah bagaimana dengan posisi seseorang yang tak
dapat bermain dalam orchestra? Apa perannya jika dia tak diinginkan untuk
bermain oleh sang composer?
Sekarang izinkan aku bertanya, Memangnya untuk apa orchestra dimainkan
kalau bukan untuk didengar dan diapresiasi? Sudah dapat pointnya? Ya, jadi
disitulah peran si “nothing”. Ia adalah apresiator, pendengar dan penonton.
Secara tidak langsung ia adalah bagian dari orchestra. Ia berhak mengkritisi
dan menilai simfoni yang dimainkan para musisi. Ia berhak memberi saran pada
para musisi atas nama perbaikan.
Kita tentu tidak bisa memaksakan
kehendak untuk bermain dalam orchestra jika sang composer dengan tegas
mengatakan Tidak. Seluruh dunia tahu bahwa sang composer dianggap lebih
mengerti musisi mana yang baik dan
mana yang tak baik untuk sebuah simfoni. Dalam masa seperti ini, aku jadi
teringat perkataan Muhammad Rusli Malik dalam bukunya “Maju Sambil Tersenyum.”
:
“Keberanian
selalu bebarengan dengan rasa tanggung jawab. Kehebatan mengambil resiko yang
tidak disertai sikap gentleman untuk
memikul tanggung jawab bukanlah keberanian, melainkan kepengecutan.”
Aku tidak mau menjadi pengecut yang
berpura-pura memiliki keberanian untuk memikul tanggung jawab hanya agar
terlihat hebat, sedangkan pada kenyataannya aku mungkin tak memiliki sikap yang
cukup gentleman untuk memikul
tanggung jawab atas keberanian ‘palsu’ku itu. Jadi, daripada aku menghancurkan
segalanya, akan lebih baik jika aku menerima dengan cukup menjadi apresiator.
Dan teman, mungkin akan ada saat
dimana kita merasa menjadi tak menjadi apa-apa (being nothing), tapi saat itu terjadi, maka mari menjadikan diri
kita berguna dengan menjadi pendengar, penonton, dan apresiator yang baik. :-)
KEEP HOLDING ON! :)
Karanganyar, 01 September 2014
22:34 WIB
Semoga Bermanfaat :-)
salam hangat dari kami ijin iformasinya dari kami pengrajin jaket kulit
BalasHapus