s4stika
Kulirik jam dinding yang tergantung
di dinding seberang ranjang kutidur. Ah, baru pukul setengah lima pagi, tapi
kenapa aku sudah terbangun? Disaat seharusnya masih jet lag seperti ini? Mungkin ini karena biasanya Maryam rajin membangunkanku
untuk sholat subuh. Rupanya pagi yang berbeda di tempat yang berbeda terasa
sedikit aneh. Biasanya terdengar seruan ayam jago yang saling bersahutan dari
rumah-rumah tetangga, seruan adzan yang dikumandangkan dari masjid-masjid
kampung, dan terasa guncangan lembut tangan Maryam membangunkanku dari lelap.
Namun, pagi di Kuala Lumpur tanpa Maryam sungguh senyap dan tenang.
Sesuatu dalam kepalaku memaksa
untuk kutidur kembali, bukankah
kesempatan mendapatkan ketenangan seperti ini tidak datang setiap hari? Aku
menurutinya, kutarik kembali selimut hangat yang disediakan hotel dan
memejamkan mata. Tapi tiba-tiba sebuah suara lembut berkumandang berkali-kali
dalam kepalaku,
“Tidak
baik Mas tidur kembali setelah subuh, nanti rezekinya diperpendek bagaimana?”
Meski tahu bahwa Maryam
mengucapkannya tanpa sedikitpun maksud menggurui, tapi tetap saja selalu terdengar
tak enak di telingaku dan membuatku geram padanya. Dan kini kurasa aku benar-benar
tak bisa tidur kembali.
Kriing…
kring…. Sebuah pesan pada ponselku. Kuraih dengan sedikit malas. Namun
setelah membacanya aku jadi senang, Leo mengabarkan bahwa ia akan menemuiku di
hotel pagi nanti bersama Salim. Memang itulah salah satu tujuanku ke sini
selain urusan bisnis, menemui kedua sahabat semasa sekolah menengahku.
Aku jadi memikirkan betapa aku tak
seberuntung mereka berdua. Mereka sama-sama menetap di Kuala Lumpur dan
memiliki istri idaman yang mereka cintai. Meski belum pernah aku mengenal istri
mereka, namun dari pembicaraan yang sudah-sudah mereka terdengar begitu bahagia
dengan keluarga kecil mereka. Sedangkan aku? Terjebak dalam pernikahan yang
lebih membahagiakan kedua orang tuaku ketimbang diriku sendiri. Merekalah yang
melamarkan Maryam untukku, seorang gadis tetangga yang entah kenapa selalu
menjadi teman sekelasku hingga bangku perkuliahan. Mungkin saja itu juga
menjadi salah satu pertimbangan orang tuaku, bahwa mereka pikir aku dekat dan
menyukai Maryam setelah sekian lama mengenalnya.
Ah, memikirkan Maryam membuatku
semakin tak bisa tidur.
***
Aku turun ke lantai satu untuk
mencari sarapan. Supir taksi yang kemarin mengantarkanku berkata bahwa aku
tidak salah memilih hotel ini karena terkenal dengan kedai kopinya yang mantap.
Semoga yang ia katakan tidaklah salah.
Memasuki pintu depan kedai kopi,
aku langsung merasa heran. Yang berada di sekelilingku bukanlah meja-meja dan
kursi yang berjajar rapi atau pelayan ramah yang menyambut dengan senyum
promosi, melainkan sebuah ruangan berbentuk lingkaran yang kosong, benar-benar
kosong. Di sekeliling hanya ada dinding bercat putih yang bertuliskan beberapa
kata dalam bahasa Melayu. Semuanya merupakan warna; HITAM, PUTIH, BIRU, KUNING,
MERAH JAMBU, dan HIJAU. Aku ingin keluar lagi dan mencari informasi dari resepsionis
hotel, namun saat kubalikkan badanku, pintu yang kucari menghilang. Hanya ada
dinding yang sama dengan sekeliling, namun tak bertuliskan apapun. Apa-apaan ini? dimana pintu keluarnya?
batinku.
Didorong rasa penasaranku yang
membuncah, kulangkahkan kaki mendekati salah satu sisi dinding yang bertuliskan
HIJAU, warna kesukaanku. Entah datang dari mana, tiba-tiba bayangan Maryam
mengenakan kerudung dengan warna yang sama melintas di hadapanku. Ada apa
denganku? Apa aku merindukannya? Aku hanya menggelengkan kepala dan mengusir
pikiran tentang Maryam yang kurasa hanya akan membuatku tak tenang. Tepat saat
aku berada di jarak dua ubin dari dinding, tiba-tiba huruf-huruf pembentuk kata
HIJAU itu menyala, tepat di bawahnya muncul tulisan berbahasa Inggris “Touch to
Enter”. Kurasa sekarang aku mengerti.
Sesaat setelah aku menyentuh
huruf-huruf itu, dinding di hadapanku terbuka. Sebuah pemandangan yang begitu
asri dan indah menyambutku. Tanpa sadar kakiku terdorong melangkah memasukinya.
Sebuah taman terbuka yang hanya dibatasi dinding-dinding tak terlalu tinggi. Di
seberangku terdapat sebuah pohon beringin buatan yang pada batang dan daunnya dihiasi
bunga-bunga sakura yang juga buatan. Sungguh paduan liar yang menawan. Di
bawahnya, sebuah meja dibuat melingkar memagari pohon itu dan bangku-bangku
kayu berjajar di pinggir meja. Di sisi kiri ada beberapa gazebo yang
dikelilingi bunga tulip dan mawar. Diwaktu sepagi ini, rupanya belum ada
pengunjung selain diriku. Kemudian aku menoleh ke arah kanan, sebuah kedai
kecil seukuran warteg berdiri di sana. Seorang barista tersenyum dan menyapaku,
“Selamat pagi, Tuan. Pagi yang
indah untuk menikmati sinar matahari sambil menyeruput secangkir kopi, bukan?”
Aku melangkah mendekati kedainya.
Dia benar juga, meski dibatasi dinding-dinding tinggi, namun sinar matahari
pagi tetap menyengat dengan ramahnya.
“Katakan saja yang Tuan pesan dan
saya akan mengantarkannya. Tuan bisa memilih tempat manapun,” ucapnya ramah
sambil memberikan sebuah daftar menu.
“Tentu. Rasanya seolah kedai ini
hanya disediakan untuk saya..” sahutku. Barista itu tertawa kecil.
Setelah memesan, aku memilih duduk
di salah satu gazebo yang tak terlalu jauh dari pohon beringin. Di saat terdiam
dan menunggu, aku masih belum berhenti mengagumi tempat yang begitu indah ini.
Biasanya jika Maryam menyaksikan apa pun yang indah dan mengagumkan, ia akan mengatakan
MasyaAllah dan mengucap syukur dapat menyaksikannya.
Ah, lagi-lagi aku teringat Maryam.
Ponselku berdering, sebuah
panggilan dari Leo. Mungkinkah ia sudah tiba di hotel? Saat dia bilang ‘pagi
nanti’ kukira bukan sepagi ini. Kukatakan padanya aku menunggu di kedai HIJAU.
Tak lama kemudian,
“Selamat menikmati, Tuan.” Ucap
sebuah suara yang terdengar tak asing di telingaku. Kudongakkan kepala dan
melihat sosok yang begitu lama tak kujumpai,
“Leo! Ah sialan!” ucapku spontan.
Lalu Leo meletakkan tiga cangkir kopi dan tiga potong sandwich, kami pun saling
bersalaman dan berpelukan. Di belakang Leo berdiri Salim dengan senyumnya yang
tak pernah kulupakan, gigi-giginya yang begitu rapi dan putih membentuk senyum
menawan dan selalu membuatku iri.
“Apa kabar Akbar?” sapanya. Kini
kami duduk melingkar di gazebo.
“Aku? Seperti yang kalian lihat.
Aku baik-baik saja!” Sahutku, “Dan kurasa aku tak perlu bertanya pada kalian,
kan? Kalian terlihat luar biasa! Memangnya air di Kuala Lumpur berbeda dari air
di Jakarta, ya? Hahaha…”
“Hahaha, Alhamdulillah Akbar. Harusnya
kamu juga tinggal di sini.” Ucap Leo.
“Iya, jadi kita bisa ngopi bersama
setiap hari.” Sahut Salim.
“Haha, kalian tahu sendiri itu
tidak mungkin. Kalian tahu betapa cintanya aku pada Indonesia!”
“Haha.. ya, ya, kami tahu itu.”
ucap Leo, “Jadi, gimana kabar Om dan Tante?”
“Yah mereka baik-baik saja.”
“Alhamdulillah. Kamu selalu lupa
mengucap hamdalah, Bar.” Sahut Salim.
“Hey, sejak kapan Salim yang
terkenal ndugal ini jadi begitu
alim?” ucapku sambil tertawa sinis.
“Sejak aku ajarin lah!” sahut Leo.
“Hahaha…” tawa kami bersama.
Lalu aku mengawali menyeruput kopi
dan menyantap sarapanku yang bukan disiapkan Maryam. Kedua temanku mengikuti
yang kulakukan. Bertahun-tahun tidak bertemu membuat kami sedikit canggung.
Kami pun makan dalam diam.
“Ak…” panggil Leo.
“Ya? Aku kenal panggilan itu. Pasti
ada yang mau kamu tanyain kan?”
“Ya. Sebenarnya kami sudah ingin
bertanya sejak beberapa bulan lalu.” Ucap Salim dengan nada serius.
“Apa bener kamu habis nikah?” tanya
Leo dengan cepat.
Aku terdiam. Memang benar aku belum
mengabarkan pernikahanku pada mereka berdua. Bukan niatku menutup-nutupi, tapi
aku hanya berpikir untuk tidak mengatakan jika tidak ditanya. Aku juga tidak
tahu bagaimana reaksi mereka jika tahu bahwa aku menikahi Maryam, karena aku yang
mereka kenal adalah Akbar yang playboy
dan menjadi idola perempuan saat kami di sekolah menengah, seperti juga mereka
berdua. Aku terlalu malu untuk mengakui pernikahanku dengan Maryam.
“Ya.” jawabku mantap tanpa
menyebutkan nama Maryam.
“Alhamdulillah!!” seru mereka
berdua sembari mengusapkan tangan ke wajah mereka seperti gerakan ‘Aamiin’.
Wajah mereka seketika sumringah.
“Selamat, Sahabatku! Selamat Akbar!
Akhirnya kabar bahagia itu kami dengar sendiri darimu.” Ucap Leo antusias.
“Hehe. Iya, terimakasih.” ucapku
datar.
“Ada apa, Bar? Ada yang kamu
sembunyiin dari kami kan? Kamu nggak bahagia?” sahut Salim mengerti.
“Aku, sebenernya aku nikah dengan
perempuan pilihan orang tuaku.”
“Insyallah pilihan orang tua selalu
demi kebaikan anaknya.” Tutur Salim lembut, “Aku juga dijodohkan oleh orang
tuaku, Bar.” Lanjutnya, “Dengan seorang wanita yang nggak pernah kukenal
sebelumnya. Kamu tahu sendiri aku ini keturunan Arab, dan orang tuaku
menjodohkanku dengan gadis yang sama-sama keturunan Arab. Meski belum pernah
mengenalnya sebelumnya, tapi Zahro, istriku, benar-benar wanita yang kusyukuri
dalam hidupku. Kamu tentu masih ingat gimana kelakuanku dulu, Salim yang ndugal. Tapi sejak menikahi Zahro, aku
ngerti arti kelembutan dan betapa wanita itu pantas dihargai.” Tuturnya
menerawang.
Salim memang benar, sikapnya memang
berbeda dari Salim yang dulu kukenal.
“Lihat kan Bar? Betapa pernikahan
mengubah Salim.” Sahut Leo. “Kalau aku, walaupun dulu memang nakal, tapi sejak
dulu aku udah punya rencana yang jelas. Aku udah mikirin gadis seperti apa yang
akan kunikahi. Walaupun dulu suka ngajak jalan sembarang gadis, tapi ya sudah, sekedar
jalan, nggak ada rencana lebih. Mereka yang mau diajak jalan sembarang lelaki,
kita nggak bisa jamin kelak setelah berumah tangga nggak bakal ngulangin hal
yang serupa, kan?”
“Tapi beda dari Salim yang berubah
setelah menikah, Bar. Aku sadar bahwa buat ngedapetin gadis yang baik, aku
harus jadi orang baik. Lalu aku mutusin buat berbelok ke jalan yang lebih baik.
Alhamdulillah, istriku Layla, seorang wanita tegar yang selalu mengajak ke
kebaikan. Dan dia juga ibu yang hebat buat anak-anakku..” tutur Leo menerawang
pula.
“Haha… ya, aku inget dulu Leo
pernah nyebutin gadis yang masuk kriteria istri idamannya di kelas kita cuman
ada satu.” Sahut Salim memecah keseriusan pembicaraan kami.
“Oh ya? Siapa?” tanyaku penasaran.
“Maryam…” jawab Salim membuat
jantungku berdebar-debar.
“Haha, masih inget aja kamu Lim! Oh
ya Bar, gimana kabar Maryam? Dia tetanggamu kan? Apa dia udah nikah?” tanya Leo
antusias, obrolan serius tak lagi berlanjut.
Dadaku masih berdebar mengingat
Maryam. Ia memang istri yang baik. Maryam selalu membangunkanku di sepertiga
malam yang akhir untuk mengajakku sholat malam meski jarang sekali aku mau. Ia
juga tak pernah absen membangunkanku sholat subuh. Masakan Maryam juga tidak
buruk, ia selalu bertanya apa yang kurang dari masakannya, dan aku selalu
menjawab dengan seadanya. Aku tak pernah memuji nasi goreng buatannya yang
sebenarnya begitu lezat.
Maryam istri yang solehah. Ia tak
pernah melepas hijabnya di luar rumah. Bahkan meski sering kusindir, ia
memakainya di dalam rumah. Aku tak pernah mempertimbangkan alasannya ‘kalau tiba-tiba ada tamu bagaimana, Mas?’
ucapnya. Betapa lapangnya hati Maryam, ia selalu menjaga sikap dan ucapannya
terhadapku yang selalu dingin padanya. Ah Maryam, maafkan aku… Selama ini tak
mensyukuri keberadaanmu di sisiku.
Kerinduanku kepada Maryam kian
membuncah.
“Akbar?! Kamu kenapa? Tiba-tiba
ngelamun.” seru Leo.
“Eh, enggak.”
“Jadi… Maryam?”
Kujawab tanpa ragu, “Ya, Maryam
udah nikah..”
“Wah, pria mana yang sebegitu
beruntungnya tuh..” sahut Leo.
“Haha… Udah Leo, jangan ngiri sama
orang, kan kamu udah punya Layla.” tutur Salim.
“Sialan! Enggak lah! Haha…” sahut
Leo.
“Maryam nikah sama tetangganya yang
begitu beruntung. Tapi sayangnya, pria itu selama ini nggak nyadar bahwa ia
begitu beruntung punya istri seperti Maryam. Pria itu selalu bersikap dingin
dan datar ke Maryam. Dan sebagai suami, dia nggak pernah manjain atau pun
memuji barang sedikit ke Maryam. Dia bener-bener pria bodoh…” tuturku dengan
tatapan menerawang membayangkan senyum Maryam.
“Hm! Bener-bener pria bodoh!” sahut
Leo, diikuti anggukan kepala Salim.
“Dan sekarang Maryam lagi hamil
muda, tapi suaminya malah ninggalin dia ke Kuala Lumpur dengan alesan buat
urusan bisnis dan ketemu dua sahabat lamanya..” lanjutku.
“Akbar??? ALHAMDULILLAH!” seru
Salim dan Leo bersamaan.
***
Assalamu’alaikum
Maryam,
Percayalah
Maryam, memang jari-jemari suamimu yang menulis dan mengirimkan e-mail khusus ini
kepadamu. Dan cerita di atas bukanlah sebuah cerpen fiksi yang tak bisa
dipercaya. Mas menuliskannya dengan kesadaran penuh, bahkan tak pernah Mas merasa sesadar ini sebelumnya.
Maryam yang
baik,
Alhamdulillah
Mas di sini baik-baik saja. Bisnis Mas berjalan lancar dan seperti yang selalu
kau do’akan tiap melepas keberangkatan Mas bekerja –semoga barokah, insyaAllah Maryam. Rencana Mas untuk reuni
bersama Leo dan Salim juga telah terlaksana seperti yang tertera dalam cerita
di atas. Alhamdulillah melalui mereka Allah menyadarkan Mas dan mendorong Mas
untuk menuliskan e-mail ini kepadamu.
Maryam yang tulus
hati,
Ijinkanlah Mas
meminta maaf yang setulus-tulusnya darimu. Sesungguhnya Mas menyesali segala
sikap dan perilaku dingin Mas selama ini kepadamu, Maryam. Mas kini menyadari
betapa kuat hati istri Mas hingga mampu bertahan dengan sikap dingin yang
selalu Mas berikan.
Maryam yang
lembut hati,
Ternyata jarak
benar-benar membuat manusia menyadari keberadaan seseorang setelah ia jauh. Hari-hari
di sini begitu berbeda tanpa keberadaanmu, Maryam. Dan jarak juga membuat Mas
menyadari bahwa seorang Maryam telah tertanam dalam benak dan hati Mas. Tak
bisa Mas hindari bahwa di saat terdiam atau di tempat sunyi, senyum Maryam
melintas di pikiran Mas di sini.
Maryam yang
tersayang,
Mas
benar-benar merindukanmu! Semoga lusa Mas bisa kembali ke Indonesia dan
memelukmu serta calon anak kita. InsyaAllah. Mas tunggu e-mail balasan darimu.
Wassalamu’alaikum…
Akbar -Suami Maryam
Karanganyar,
20 April 2015
8:12 am
Balasan Maryam akan segera terbit. InsyaAllah :-)
nice story
BalasHapusAlhamdulillah, trimakasih :)
BalasHapusNice..,
BalasHapusDisini Supplier Vinyl Lantai anti bakteri terlengkap, Tersedia vinyl rumah sakit seperti pada kamar operasi, ICU, NICU, PICU, Lab, KLinik dll.
Dapatkan pelapis lantai harga murah hanya di Toko Lantai Vinyl Jakarta.
Jenis Vinyl Pelapis Lantai terbaik dan berkualitas, Produk Impor bersertifikat ISO.
Distributor Lantai Vinyl Harga murah se indonesia.
Inilah jenis Vinyl Lantai Rumah Sakit terpopuler pemakaiannya pada rumah sakit saat ini, Lebih khusus pada kamar operasi.
Jual Wallpaper Dinding 3D harga murah, Gambar dan ukuran sesuai kebutuhan.
Wallpaper Custom
BalasHapus