Minggu, 19 April 2015

e-mail untuk Maryam


s4stika

Kulirik jam dinding yang tergantung di dinding seberang ranjang kutidur. Ah, baru pukul setengah lima pagi, tapi kenapa aku sudah terbangun? Disaat seharusnya masih jet lag seperti ini? Mungkin ini karena biasanya Maryam rajin membangunkanku untuk sholat subuh. Rupanya pagi yang berbeda di tempat yang berbeda terasa sedikit aneh. Biasanya terdengar seruan ayam jago yang saling bersahutan dari rumah-rumah tetangga, seruan adzan yang dikumandangkan dari masjid-masjid kampung, dan terasa guncangan lembut tangan Maryam membangunkanku dari lelap. Namun, pagi di Kuala Lumpur tanpa Maryam sungguh senyap dan tenang.
Sesuatu dalam kepalaku memaksa untuk kutidur kembali, bukankah kesempatan mendapatkan ketenangan seperti ini tidak datang setiap hari? Aku menurutinya, kutarik kembali selimut hangat yang disediakan hotel dan memejamkan mata. Tapi tiba-tiba sebuah suara lembut berkumandang berkali-kali dalam kepalaku,
“Tidak baik Mas tidur kembali setelah subuh, nanti rezekinya diperpendek bagaimana?”

Meski tahu bahwa Maryam mengucapkannya tanpa sedikitpun maksud menggurui, tapi tetap saja selalu terdengar tak enak di telingaku dan membuatku geram padanya. Dan kini kurasa aku benar-benar tak bisa tidur kembali.
Kriing… kring…. Sebuah pesan pada ponselku. Kuraih dengan sedikit malas. Namun setelah membacanya aku jadi senang, Leo mengabarkan bahwa ia akan menemuiku di hotel pagi nanti bersama Salim. Memang itulah salah satu tujuanku ke sini selain urusan bisnis, menemui kedua sahabat semasa sekolah menengahku. 
Aku jadi memikirkan betapa aku tak seberuntung mereka berdua. Mereka sama-sama menetap di Kuala Lumpur dan memiliki istri idaman yang mereka cintai. Meski belum pernah aku mengenal istri mereka, namun dari pembicaraan yang sudah-sudah mereka terdengar begitu bahagia dengan keluarga kecil mereka. Sedangkan aku? Terjebak dalam pernikahan yang lebih membahagiakan kedua orang tuaku ketimbang diriku sendiri. Merekalah yang melamarkan Maryam untukku, seorang gadis tetangga yang entah kenapa selalu menjadi teman sekelasku hingga bangku perkuliahan. Mungkin saja itu juga menjadi salah satu pertimbangan orang tuaku, bahwa mereka pikir aku dekat dan menyukai Maryam setelah sekian lama mengenalnya.
Ah, memikirkan Maryam membuatku semakin tak bisa tidur.
***
Aku turun ke lantai satu untuk mencari sarapan. Supir taksi yang kemarin mengantarkanku berkata bahwa aku tidak salah memilih hotel ini karena terkenal dengan kedai kopinya yang mantap. Semoga yang ia katakan tidaklah salah.
Memasuki pintu depan kedai kopi, aku langsung merasa heran. Yang berada di sekelilingku bukanlah meja-meja dan kursi yang berjajar rapi atau pelayan ramah yang menyambut dengan senyum promosi, melainkan sebuah ruangan berbentuk lingkaran yang kosong, benar-benar kosong. Di sekeliling hanya ada dinding bercat putih yang bertuliskan beberapa kata dalam bahasa Melayu. Semuanya merupakan warna; HITAM, PUTIH, BIRU, KUNING, MERAH JAMBU, dan HIJAU. Aku ingin keluar lagi dan mencari informasi dari resepsionis hotel, namun saat kubalikkan badanku, pintu yang kucari menghilang. Hanya ada dinding yang sama dengan sekeliling, namun tak bertuliskan apapun. Apa-apaan ini? dimana pintu keluarnya? batinku.
Didorong rasa penasaranku yang membuncah, kulangkahkan kaki mendekati salah satu sisi dinding yang bertuliskan HIJAU, warna kesukaanku. Entah datang dari mana, tiba-tiba bayangan Maryam mengenakan kerudung dengan warna yang sama melintas di hadapanku. Ada apa denganku? Apa aku merindukannya? Aku hanya menggelengkan kepala dan mengusir pikiran tentang Maryam yang kurasa hanya akan membuatku tak tenang. Tepat saat aku berada di jarak dua ubin dari dinding, tiba-tiba huruf-huruf pembentuk kata HIJAU itu menyala, tepat di bawahnya muncul tulisan berbahasa Inggris “Touch to Enter”. Kurasa sekarang aku mengerti.
Sesaat setelah aku menyentuh huruf-huruf itu, dinding di hadapanku terbuka. Sebuah pemandangan yang begitu asri dan indah menyambutku. Tanpa sadar kakiku terdorong melangkah memasukinya. Sebuah taman terbuka yang hanya dibatasi dinding-dinding tak terlalu tinggi. Di seberangku terdapat sebuah pohon beringin buatan yang pada batang dan daunnya dihiasi bunga-bunga sakura yang juga buatan. Sungguh paduan liar yang menawan. Di bawahnya, sebuah meja dibuat melingkar memagari pohon itu dan bangku-bangku kayu berjajar di pinggir meja. Di sisi kiri ada beberapa gazebo yang dikelilingi bunga tulip dan mawar. Diwaktu sepagi ini, rupanya belum ada pengunjung selain diriku. Kemudian aku menoleh ke arah kanan, sebuah kedai kecil seukuran warteg berdiri di sana. Seorang barista tersenyum dan menyapaku,
“Selamat pagi, Tuan. Pagi yang indah untuk menikmati sinar matahari sambil menyeruput secangkir kopi, bukan?”
Aku melangkah mendekati kedainya. Dia benar juga, meski dibatasi dinding-dinding tinggi, namun sinar matahari pagi tetap menyengat dengan ramahnya.
“Katakan saja yang Tuan pesan dan saya akan mengantarkannya. Tuan bisa memilih tempat manapun,” ucapnya ramah sambil memberikan sebuah daftar menu.
“Tentu. Rasanya seolah kedai ini hanya disediakan untuk saya..” sahutku. Barista itu tertawa kecil.
Setelah memesan, aku memilih duduk di salah satu gazebo yang tak terlalu jauh dari pohon beringin. Di saat terdiam dan menunggu, aku masih belum berhenti mengagumi tempat yang begitu indah ini. Biasanya jika Maryam menyaksikan apa pun yang indah dan mengagumkan, ia akan mengatakan MasyaAllah dan mengucap syukur dapat menyaksikannya.
Ah, lagi-lagi aku teringat Maryam.
Ponselku berdering, sebuah panggilan dari Leo. Mungkinkah ia sudah tiba di hotel? Saat dia bilang ‘pagi nanti’ kukira bukan sepagi ini. Kukatakan padanya aku menunggu di kedai HIJAU.
Tak lama kemudian,
“Selamat menikmati, Tuan.” Ucap sebuah suara yang terdengar tak asing di telingaku. Kudongakkan kepala dan melihat sosok yang begitu lama tak kujumpai,
“Leo! Ah sialan!” ucapku spontan. Lalu Leo meletakkan tiga cangkir kopi dan tiga potong sandwich, kami pun saling bersalaman dan berpelukan. Di belakang Leo berdiri Salim dengan senyumnya yang tak pernah kulupakan, gigi-giginya yang begitu rapi dan putih membentuk senyum menawan dan selalu membuatku iri.
“Apa kabar Akbar?” sapanya. Kini kami duduk melingkar di gazebo.
“Aku? Seperti yang kalian lihat. Aku baik-baik saja!” Sahutku, “Dan kurasa aku tak perlu bertanya pada kalian, kan? Kalian terlihat luar biasa! Memangnya air di Kuala Lumpur berbeda dari air di Jakarta, ya? Hahaha…”
“Hahaha, Alhamdulillah Akbar. Harusnya kamu juga tinggal di sini.” Ucap Leo.
“Iya, jadi kita bisa ngopi bersama setiap hari.” Sahut Salim.
“Haha, kalian tahu sendiri itu tidak mungkin. Kalian tahu betapa cintanya aku pada Indonesia!”
“Haha.. ya, ya, kami tahu itu.” ucap Leo, “Jadi, gimana kabar Om dan Tante?”
“Yah mereka baik-baik saja.”
“Alhamdulillah. Kamu selalu lupa mengucap hamdalah, Bar.” Sahut Salim.
“Hey, sejak kapan Salim yang terkenal ndugal ini jadi begitu alim?” ucapku sambil tertawa sinis.
“Sejak aku ajarin lah!” sahut Leo.
“Hahaha…” tawa kami bersama.
Lalu aku mengawali menyeruput kopi dan menyantap sarapanku yang bukan disiapkan Maryam. Kedua temanku mengikuti yang kulakukan. Bertahun-tahun tidak bertemu membuat kami sedikit canggung. Kami pun makan dalam diam.
“Ak…” panggil Leo.
“Ya? Aku kenal panggilan itu. Pasti ada yang mau kamu tanyain kan?”
“Ya. Sebenarnya kami sudah ingin bertanya sejak beberapa bulan lalu.” Ucap Salim dengan nada serius.
“Apa bener kamu habis nikah?” tanya Leo dengan cepat.
Aku terdiam. Memang benar aku belum mengabarkan pernikahanku pada mereka berdua. Bukan niatku menutup-nutupi, tapi aku hanya berpikir untuk tidak mengatakan jika tidak ditanya. Aku juga tidak tahu bagaimana reaksi mereka jika tahu bahwa aku menikahi Maryam, karena aku yang mereka kenal adalah Akbar yang playboy dan menjadi idola perempuan saat kami di sekolah menengah, seperti juga mereka berdua. Aku terlalu malu untuk mengakui pernikahanku dengan Maryam.
“Ya.” jawabku mantap tanpa menyebutkan nama Maryam.
“Alhamdulillah!!” seru mereka berdua sembari mengusapkan tangan ke wajah mereka seperti gerakan ‘Aamiin’. Wajah mereka seketika sumringah.
“Selamat, Sahabatku! Selamat Akbar! Akhirnya kabar bahagia itu kami dengar sendiri darimu.” Ucap Leo antusias.
“Hehe. Iya, terimakasih.” ucapku datar.
“Ada apa, Bar? Ada yang kamu sembunyiin dari kami kan? Kamu nggak bahagia?” sahut Salim mengerti.
“Aku, sebenernya aku nikah dengan perempuan pilihan orang tuaku.”
“Insyallah pilihan orang tua selalu demi kebaikan anaknya.” Tutur Salim lembut, “Aku juga dijodohkan oleh orang tuaku, Bar.” Lanjutnya, “Dengan seorang wanita yang nggak pernah kukenal sebelumnya. Kamu tahu sendiri aku ini keturunan Arab, dan orang tuaku menjodohkanku dengan gadis yang sama-sama keturunan Arab. Meski belum pernah mengenalnya sebelumnya, tapi Zahro, istriku, benar-benar wanita yang kusyukuri dalam hidupku. Kamu tentu masih ingat gimana kelakuanku dulu, Salim yang ndugal. Tapi sejak menikahi Zahro, aku ngerti arti kelembutan dan betapa wanita itu pantas dihargai.” Tuturnya menerawang.
Salim memang benar, sikapnya memang berbeda dari Salim yang dulu kukenal.
“Lihat kan Bar? Betapa pernikahan mengubah Salim.” Sahut Leo. “Kalau aku, walaupun dulu memang nakal, tapi sejak dulu aku udah punya rencana yang jelas. Aku udah mikirin gadis seperti apa yang akan kunikahi. Walaupun dulu suka ngajak jalan sembarang gadis, tapi ya sudah, sekedar jalan, nggak ada rencana lebih. Mereka yang mau diajak jalan sembarang lelaki, kita nggak bisa jamin kelak setelah berumah tangga nggak bakal ngulangin hal yang serupa, kan?”
“Tapi beda dari Salim yang berubah setelah menikah, Bar. Aku sadar bahwa buat ngedapetin gadis yang baik, aku harus jadi orang baik. Lalu aku mutusin buat berbelok ke jalan yang lebih baik. Alhamdulillah, istriku Layla, seorang wanita tegar yang selalu mengajak ke kebaikan. Dan dia juga ibu yang hebat buat anak-anakku..” tutur Leo menerawang pula.
“Haha… ya, aku inget dulu Leo pernah nyebutin gadis yang masuk kriteria istri idamannya di kelas kita cuman ada satu.” Sahut Salim memecah keseriusan pembicaraan kami.
 “Oh ya? Siapa?” tanyaku penasaran.
“Maryam…” jawab Salim membuat jantungku berdebar-debar.
“Haha, masih inget aja kamu Lim! Oh ya Bar, gimana kabar Maryam? Dia tetanggamu kan? Apa dia udah nikah?” tanya Leo antusias, obrolan serius tak lagi berlanjut.
Dadaku masih berdebar mengingat Maryam. Ia memang istri yang baik. Maryam selalu membangunkanku di sepertiga malam yang akhir untuk mengajakku sholat malam meski jarang sekali aku mau. Ia juga tak pernah absen membangunkanku sholat subuh. Masakan Maryam juga tidak buruk, ia selalu bertanya apa yang kurang dari masakannya, dan aku selalu menjawab dengan seadanya. Aku tak pernah memuji nasi goreng buatannya yang sebenarnya begitu lezat.
Maryam istri yang solehah. Ia tak pernah melepas hijabnya di luar rumah. Bahkan meski sering kusindir, ia memakainya di dalam rumah. Aku tak pernah mempertimbangkan alasannya ‘kalau tiba-tiba ada tamu bagaimana, Mas?’ ucapnya. Betapa lapangnya hati Maryam, ia selalu menjaga sikap dan ucapannya terhadapku yang selalu dingin padanya. Ah Maryam, maafkan aku… Selama ini tak mensyukuri keberadaanmu di sisiku.
Kerinduanku kepada Maryam kian membuncah.
“Akbar?! Kamu kenapa? Tiba-tiba ngelamun.” seru Leo.
“Eh, enggak.”
“Jadi… Maryam?”
Kujawab tanpa ragu, “Ya, Maryam udah nikah..”
“Wah, pria mana yang sebegitu beruntungnya tuh..” sahut Leo.
“Haha… Udah Leo, jangan ngiri sama orang, kan kamu udah punya Layla.” tutur Salim.
“Sialan! Enggak lah! Haha…” sahut Leo.
“Maryam nikah sama tetangganya yang begitu beruntung. Tapi sayangnya, pria itu selama ini nggak nyadar bahwa ia begitu beruntung punya istri seperti Maryam. Pria itu selalu bersikap dingin dan datar ke Maryam. Dan sebagai suami, dia nggak pernah manjain atau pun memuji barang sedikit ke Maryam. Dia bener-bener pria bodoh…” tuturku dengan tatapan menerawang membayangkan senyum Maryam.
“Hm! Bener-bener pria bodoh!” sahut Leo, diikuti anggukan kepala Salim.
“Dan sekarang Maryam lagi hamil muda, tapi suaminya malah ninggalin dia ke Kuala Lumpur dengan alesan buat urusan bisnis dan ketemu dua sahabat lamanya..” lanjutku.
“Akbar??? ALHAMDULILLAH!” seru Salim dan Leo bersamaan.
***
Assalamu’alaikum Maryam,
Percayalah Maryam, memang jari-jemari suamimu yang menulis dan mengirimkan e-mail khusus ini kepadamu. Dan cerita di atas bukanlah sebuah cerpen fiksi yang tak bisa dipercaya. Mas menuliskannya dengan kesadaran penuh, bahkan tak pernah  Mas merasa sesadar ini sebelumnya.
Maryam yang baik,
Alhamdulillah Mas di sini baik-baik saja. Bisnis Mas berjalan lancar dan seperti yang selalu kau do’akan tiap melepas keberangkatan Mas bekerja –semoga barokah, insyaAllah Maryam. Rencana Mas untuk reuni bersama Leo dan Salim juga telah terlaksana seperti yang tertera dalam cerita di atas. Alhamdulillah melalui mereka Allah menyadarkan Mas dan mendorong Mas untuk menuliskan e-mail ini kepadamu.

Maryam yang tulus hati,
Ijinkanlah Mas meminta maaf yang setulus-tulusnya darimu. Sesungguhnya Mas menyesali segala sikap dan perilaku dingin Mas selama ini kepadamu, Maryam. Mas kini menyadari betapa kuat hati istri Mas hingga mampu bertahan dengan sikap dingin yang selalu Mas berikan.
Maryam yang lembut hati,
Ternyata jarak benar-benar membuat manusia menyadari keberadaan seseorang setelah ia jauh. Hari-hari di sini begitu berbeda tanpa keberadaanmu, Maryam. Dan jarak juga membuat Mas menyadari bahwa seorang Maryam telah tertanam dalam benak dan hati Mas. Tak bisa Mas hindari bahwa di saat terdiam atau di tempat sunyi, senyum Maryam melintas di pikiran Mas di sini.
Maryam yang tersayang,
Mas benar-benar merindukanmu! Semoga lusa Mas bisa kembali ke Indonesia dan memelukmu serta calon anak kita. InsyaAllah. Mas tunggu e-mail balasan darimu.

Wassalamu’alaikum…

Akbar -Suami Maryam



Karanganyar, 20 April 2015
8:12 am

Balasan Maryam akan segera terbit. InsyaAllah :-)

4 komentar:

  1. Nice..,

    Disini Supplier Vinyl Lantai anti bakteri terlengkap, Tersedia vinyl rumah sakit seperti pada kamar operasi, ICU, NICU, PICU, Lab, KLinik dll.
    Dapatkan pelapis lantai harga murah hanya di Toko Lantai Vinyl Jakarta.
    Jenis Vinyl Pelapis Lantai terbaik dan berkualitas, Produk Impor bersertifikat ISO.
    Distributor Lantai Vinyl Harga murah se indonesia.
    Inilah jenis Vinyl Lantai Rumah Sakit terpopuler pemakaiannya pada rumah sakit saat ini, Lebih khusus pada kamar operasi.
    Jual Wallpaper Dinding 3D harga murah, Gambar dan ukuran sesuai kebutuhan.

    BalasHapus