s4stika
Banyak yang percaya bahwa “kalau jodoh takkan lari kemana”. Tapi aku sendiri ragu dan bertanya, bagaimana kalau si jodoh berlari mengejar seorang yang salah –bukan mengejar kita? Nah saat itu mereka lagi-lagi memberi jawaban yang kuragukan, “kita bertemu orang-orang yang salah untuk akhirnya menemukan satu yang tepat”. Ah, alasan. Kurasa mereka hanya mengucapkannya tanpa berdasar. Mereka –orang-orang intelek di sekelilingku yang menganggap seolah akan hidup selamanya dan bekerja sebegitu keras hingga melupakan yang namanya jenjang pernikahan- hanya beralasan karena tak mau mencari, atau lebih tepatnya tak mau menyempatkan diri untuk mencari dan mengejar.
Sebenarnya aku pun merasa demikian terpengaruh oleh mereka. Bekerja tanpa kenal waktu, mengejar deadline, mencapai target, berlomba di depan atasan agar mendapat promosi dan semua kesibukan kantor lainnya. Semuanya tentang pekerjaan. Satu-satunya yang ingin kami curi hatinya adalah atasan –demi kenaikan jabatan. Kami orang-orang dewasa di usia dua puluhan yang sudah matang untuk berkeluarga, itulah yang dipikirkan orang-orang di luar sana. Namun sebenarnya, kurasa teman-teman sekantorku –dan aku- ini lebih mirip manusia-manusia ambisius yang tak pernah puas akan apa yang sudah didapatkannya seperti anak kecil yang selalu iri kepada adiknya.
Aku sendiri belum lama menyadarinya jika saja ibu tak menggodaku dengan pertanyaan yang sebenarnya sungguh kritis dan mengganggu hatinya.
“Kapan kawin?”
Dan dengan bodohnya, saat itu aku hanya menjawab seadanya: “kalau jodoh takkan lari kemana” tanpa ada satu pun wajah seorang pria dalam lamunanku. Selama ini kukira ibu akan bahagia dengan rencana yang telah kususun semenjak lama; Aku bekerja, dari posisi bawah lalu naik jabatan dan akhirnya memiliki sebuah perusahaan sendiri, aku bahagia bersama ayah dan ibu untuk selamanya. Aku selalu berpikir bahwa itu adalah sebuah rencana yang hebat. Namun ternyata ibu pun memikirkan kebahagiaanku lebih dari diriku sendiri. Ibu bilang:
“Sehebat apa pun kamu sebagai seorang wanita, kamu memerlukan seorang kawan hidup, Ndri. Melihatmu sukses adalah impian kami, tapi melihatmu bahagia dan memiliki seorang yang akan melindungimu saat kami tiada adalah sebuah impian di atas impian kami untukmu.”
Saat ibu mengucapkannya, dadaku seperti tersengat sebuah aliran muatan listrik yang kecil namun mematikan. Aku tidak ingin ayah dan ibu meninggalkanku. Aku bahkan tak mau memikirkannya.
Hari-hari berlalu kulalui dengan hati berat karena tak tahu harus berbuat apa untuk mewujudkan impian di atas impian ayah dan ibu itu. Sebagai seorang marketing manager tentunya aku bertemu banyak orang-orang baru yang tak sedikit berpenampilan menarik dan menaruh perhatian padaku. Tak jarang mereka mengajak bertemu di luar perjanjian kerja untuk sekedar makan siang bersama atau menonton film di bioskop. Tapi, itu tak berarti apa pun bagiku. Benar-benar tak berbekas.
Hati sudah berat, ditambah lagi kinerjaku yang menurun. Aku jadi banyak melamun dan tak membarui ide pemasaran dengan segera. Hal ini mendapat kecaman dari atasanku dan suatu hari beliau mengancam akan melengserkanku dari jabatan. Saat itu aku sadar bahwa aku harus bersemangat kembali, tapi tetap saja ada yang mengganjal dalam hati dan pikiranku. Kinerjaku tak kunjung membaik hingga akhirnya Presdir –begitu kami menyebut direktur utama kami- menghukumku tak boleh mengendarai mobil perusahaan. Jadilah aku kini di jalan pulang dengan sebuah sepeda motor tua yang dulu kugunakan saat masih di sekolah menengah dan perguruan tinggi.
Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Mungkin itu sebuah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan keadaanku saat ini. Sudah hati dan pikiran berat, masalah dengan pekerjaan, pulang berpanas-panasan, dan kini aku harus menghentikan motorku karena portal telah ditutup. Sebuah kereta api akan melaju. Ah, aku seharusnya aku ingat bahwa sedari di bangku kuliah pun kereta selalu melintas di jam-jam seperti ini. Portal takkan dibuka sebelum sedikitnya lima menit lagi, dan lima menit di jalan adalah sangat berharga. Dengan kecepatan rata-rata 60 km/jam jarak 5 km dapat terlampaui –secara matematis. Dan waktu adalah uang, itu motto yang selalu digemborkan Presdir kepada kami.
Jantungku terasa berdebar tak menentu, ada sesuatu yang menggangguku. Apakah ibu baik-baik saja di rumah? Ah, tapi ini bukan sebuah debaran rasa cemas. Ini lebih mirip seperti saat aku pertama kali menyukai seorang kakak kelas di sekolah menengah, sebuah debaran jatuh cinta. Tapi bagaimana bisa di saat seperti ini? Ah mungkin ini karena semua beban yang tengah kurasai.
Sudah lewat lima menit, tapi tak kunjung terdengar deru kereta mendekat. Seorang pengendara yang berhenti di sampingku mematikan mesin motornya sedari tadi, sedangkan aku masih menyalakan mesin motor karena alasan efisiensi waktu. Tiba-tiba ia bergelagat aneh dan mencurigakan, ia mendekatkan kepalanya ke arahku, melongokkan kepalanya seperti mengamati sesuatu pada diriku. Dengan geram kubuka kaca helmku dan kutolehkan kepala ke arahnya seraya memberi tatapan tajam. Ia terkejut dan matanya menyiratkan sebuah ketakutan. Sejenak aku menyesal memberinya tatapan tajam, tapi dengan tatapan takutnya berarti ia benar sedang mengamatiku.
“Mm, maaf Mbak... Saya cuma ingin tahu jam berapa sekarang.” Ucapnya lirih, semakin lirih oleh suara kereta yang mulai mendekat. Aku luluh dan mengerti, lalu kudekatkan pergelangan tangan kiriku kepadanya,
“Oh sudah jam empat lebih, terimakasih Mbak..” ucapnya kemudian dengan tatapan yang masih menyiratkan sebuah kekhawatiran. Kini aku merasa bersalah.
“Sama-sama, Mas.” Jawabku dengan senyuman termanisku seperti saat menawarkan produk kepada klien. Ia membuka masker yang ia kenakan lalu tersenyum dengan manisnya. Sebuah senyuman yang menggetarkan hati.
“Nama Mbak siapa?” tanyanya di sela deru kereta yang melintas di hadapan kami.
“Nama saya Indri.” Ucapku sedikit berseru.
“Saya Joko. Senang bertemu dengan Indri.”
Aneh, kini ia terasa begitu akrab. Dan anehnya lagi itu tak menjadi sebuah masalah bagiku.
“Ya.” ucapku sambil menganggukkan kepala. Ia menyalakan mesin motornya.
“Semoga Allah mempertemukan kita kembali.” Ucapnya sambil mengenakan masker kembali.
Gerbong terakhir –gerbong kesembilan- melintas, portal perlahan dibuka dan kami melanjutkan perjalanan masing-masing.
Sesuatu dalam kepalaku seperti telah diangkat. Pertemuan dengan pemuda itu seolah mengangkat beban berat dalam hatiku. Semoga yang dikatakan teman-temanku benar adanya. “Kalau jodoh takkan lari kemana.”
***
Itulah pertemuan pertamaku dengan seorang pria yang kini memelukku erat dalam dekapannya yang hangat. Di hari dimana ibu pergi untuk selamanya dengan senyuman, ia membuka lebar kedua lengannya untuk menampung air mataku. Dan kini saat ayah pergi menyusul ibu, aku menenggelamkan diri dalam dekapannya yang menjanjikan sebuah perlindungan, seperti impian di atas impian ibu yang dulu didoakannya untukku.
Pertemuan pertama kami takkan pernah kulupa. Ia mendapati tatapan tajam dariku, dan aku mendapati tatapan takut darinya. Tapi, kesan pertama bukanlah sebuah masalah. Karena kini, kami saling tersenyum.
Memang benar. Kalau jodoh takkan lari kemana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar