s4stika
Siang yang bersinar.
Mentari sinarnya menembus melalui
atmosfer –seperti biasa- dan mencapai bumi dalam keadaan selamat. Sinarnya ikut
menyinari alunan bolpoin dalam genggaman Wawan yang menari-nari menuliskan
angka-angka di atas lembaran kertas ulangan Fisikanya. Sinar mentari yang turut
menghantarkan kalor pun membantu proses pengeringan tinta bolpoin dengan begitu
cepatnya.
“Aduh! Aku lupa rumusnya! Ergh…”
gerutu Wawan geram dan menghentikan tarian bolpoinnya seraya menepuk jidatnya
sendiri yang ia tahu bahwa itu takkan membuatnya benjol.
Wawan ragu. Diliriknya jam dinding
bergambarkan white lotus –yang
mengingatkannya pada sebuah puisi dalam pelajaran bahasa Indonesia yang
mengumpamakan Ki Hajar Dewantara sebagai setangkai lotus- yang tergantung di antara foto Presiden dan Wakil Presiden
Republik Indonesia, dan di bawah lambang Negara Garuda Pancasila. Waktunya
tinggal lima belas menit sebelum guru Fisikanya yang menurutnya killer meminta pekerjaannya.
Wawan ragu. Dilihatnya satu-satunya
soal yang belum ia kerjakan dari keseluruhan tiga soal mengenai gerak parabola.
Dua soal pertama telah ia selesaikan
dengan lancar karena ia hapal betul rumus mana yang harus ia gunakan. Tapi untuk
soal yang terakhir, Wawan sama sekali lupa. Meskipun ia mencoba menurunkan dari
rumus-rumus yang dihapalkannya, namun percuma saja, ia tak menemukan titik temu
untuk jawabannya.
Wawan ragu. Diliriknya lagi jam
dinding. Tinggal sepuluh menit waktu yang ia miliki. Wawan mulai cemas,
parasnya pucat pasi dan bagain belakang kepalanya mulai pening.
Wawan ragu. Disaksikannya teman
sebangkunya, Didit, menarik keluar buku paket dari dalam lacinya. Buku yang
telah terbuka pada bagian Bab Gerak Parabola tersebut, dengan gerakan halus ia
letakkan di atas pahanya. Didit mulai menuliskan rumus-rumus itu dengan
sesekali melirik pada pak guru.
Wawan ragu. Ditimbang-timbangnya
untuk ikutan menyontek seperti Didit atau pasrah dengan tidak mengerjakan satu
soal tersebut dengan konsekuensi tidak lulus ulangan. Tapi semalam Wawan sudah
berjanji pada ayahnya bahwa ia akan mendapatkan nilai yang baik meskipun semalam
hanya belajar sebentar. Namun akhirnya Wawan memutuskan untuk tidak mengerjakan
soal terakhir saat teringat ucapan ibunya tempo hari. Ia menunggu sisa waktu
lima menit dengan mengecek kembali pekerjaannya nomor 1 dan 2.
***
± 72 jam kemudian, atau bisa kita sebut tiga
kali rotasi bumi kemudian. Wawan terpaku memandang kertas hasil ulangan fisikanya
yang baru saja ia terima. Nilai yang sempurna untuk tidak lulus ulangan, 30
dari skala 100.
Dengan keraguan yang sama, Wawan
menunjukkan nilai sempurnanya kepada ibunya dengan wajah lesu dan tatapan memelas miliknya. Tatapan yang
menyiratkan “Bu, jangan bilang Ayah ya…”
Meskipun kecewa, namun ibunya
berusaha tak menunjukkannya dan tersenyum kecil sambil mengelus rambut Wawan,
anak bungsunya yang begitu selalu ingin membuat ayahnya bangga.
***
Malamnya,Wawan sedang mengerjakan
Tugas Remidialnya saat tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamarnya dengan tempo
yang Wawan kenal, ketukan pintu Ayah.
Wawan terdiam, ragu untuk membuka
pintu kamarnya. Lalu segera saja ia sadar bahwa ia harus menyembunyikan kertas-kertas
tugas di hadapannya.
Ayahnya memasuki kamar Wawan dan
tanpa kata duduk di samping Wawan.
“Ada yang mau kamu ceritain ke
Ayah?” ucap ayahnya tenang.
“Eeemm.. engga, Yah.” Ucap Wawan
ragu.
“Benar?” desak ayahnya.
“Iya, Yah. Wawan barusan lagi,
belajar..”
“Belajar apa? Oh ya, gimana hasil
ulangan fisikanya?” tanya Ayah membuat jantung Wawan berdetak dengan lebih
cepat.
Wawan ragu. Apakah ia harus
mengatakannya atau tidak. Ia bisa saja beralasan bahwa hasilnya belum
dibagikan, dan jika esok ayahnya menanyakan lagi maka ia bisa saja memanipulasi
angka 30 menjadi 80. Tapi… apakah itu hal yang benar untuk dilakukan? Tapi bagaimana
kalau ayahnya kecewa dan sedih saat melihat angka 30 dengan tinta merah di atas
kertas ulangannya? Tapi, apa benar kalau ia harus berbohong lalu berbohong lagi
untuk menutupi kebohongannya?
Wawan benar-benar ragu…
“Wawan?” panggil ayahnya
membangkitkan Wawan dari lamunan keraguannya.
“Eh, oh, eh.. mmm.. iya, Yah.”
“Gimana ulangan fisikanya tempo
hari?”
Wawan ragu… namun Wawan teringat
akan ucapan ibunya lagi dan memutuskan untuk:
Wawan membuka laci meja belajarnya
dan mengeluarkan kertas ulangannya. Dengan hati gemetar, Wawan menyerahkannya
pada ayahnya.
“Eu, ini Yah..” ucapnya lirih.
Ayahnya menerima kertas itu dan
mengamati dengan sekejap dengan ekspresi yang sulit diterka Wawan,
“Bagus.. Ayah bangga sama kamu,”
ucap ayahnya kemudian dengan seulas senyum.
“Tapi Yah? Wawan ngga lulus ulangan…”
“Bukan masalah ulangannya,” sahut
ayahnya, “tapi kejujuran kamu yang Ayah banggakan..” lanjut ayahnya lembut
dengan senyum mengembang.
Wawan tersenyum dan mengingat
kembali ucapan ibunya:
“Kejujuran itu sepahit madu, Wawan
sayang. Sepahit-pahitnya madu, tetap saja ia manis, bukan?”
Karanganyar, 15 September 2014
23: 31 WIB
Semoga Bermanfaat :-)
jujur itu hebat :D
BalasHapussetuju deh sama ijul (y)..
Hapus