Senin, 15 September 2014

Kejujuran Sepahit Madu

s4stika


Siang yang bersinar.

Mentari sinarnya menembus melalui atmosfer –seperti biasa- dan mencapai bumi dalam keadaan selamat. Sinarnya ikut menyinari alunan bolpoin dalam genggaman Wawan yang menari-nari menuliskan angka-angka di atas lembaran kertas ulangan Fisikanya. Sinar mentari yang turut menghantarkan kalor pun membantu proses pengeringan tinta bolpoin dengan begitu cepatnya.

“Aduh! Aku lupa rumusnya! Ergh…” gerutu Wawan geram dan menghentikan tarian bolpoinnya seraya menepuk jidatnya sendiri yang ia tahu bahwa itu takkan membuatnya benjol.

Wawan ragu. Diliriknya jam dinding bergambarkan white lotus –yang mengingatkannya pada sebuah puisi dalam pelajaran bahasa Indonesia yang mengumpamakan Ki Hajar Dewantara sebagai setangkai lotus- yang tergantung di antara foto Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, dan di bawah lambang Negara Garuda Pancasila. Waktunya tinggal lima belas menit sebelum guru Fisikanya yang menurutnya killer meminta pekerjaannya.

Wawan ragu. Dilihatnya satu-satunya soal yang belum ia kerjakan dari keseluruhan tiga soal mengenai gerak parabola.  Dua soal pertama telah ia selesaikan dengan lancar karena ia hapal betul rumus mana yang harus ia gunakan. Tapi untuk soal yang terakhir, Wawan sama sekali lupa. Meskipun ia mencoba menurunkan dari rumus-rumus yang dihapalkannya, namun percuma saja, ia tak menemukan titik temu untuk jawabannya.

Wawan ragu. Diliriknya lagi jam dinding. Tinggal sepuluh menit waktu yang ia miliki. Wawan mulai cemas, parasnya pucat pasi dan bagain belakang kepalanya mulai pening.

Wawan ragu. Disaksikannya teman sebangkunya, Didit, menarik keluar buku paket dari dalam lacinya. Buku yang telah terbuka pada bagian Bab Gerak Parabola tersebut, dengan gerakan halus ia letakkan di atas pahanya. Didit mulai menuliskan rumus-rumus itu dengan sesekali melirik pada pak guru.

Wawan ragu. Ditimbang-timbangnya untuk ikutan menyontek seperti Didit atau pasrah dengan tidak mengerjakan satu soal tersebut dengan konsekuensi tidak lulus ulangan. Tapi semalam Wawan sudah berjanji pada ayahnya bahwa ia akan mendapatkan nilai yang baik meskipun semalam hanya belajar sebentar. Namun akhirnya Wawan memutuskan untuk tidak mengerjakan soal terakhir saat teringat ucapan ibunya tempo hari. Ia menunggu sisa waktu lima menit dengan mengecek kembali pekerjaannya nomor 1 dan 2.

***

±  72 jam kemudian, atau bisa kita sebut tiga kali rotasi bumi kemudian. Wawan terpaku memandang kertas hasil ulangan fisikanya yang baru saja ia terima. Nilai yang sempurna untuk tidak lulus ulangan, 30 dari skala 100.

Dengan keraguan yang sama, Wawan menunjukkan nilai sempurnanya kepada ibunya dengan wajah lesu dan tatapan memelas miliknya. Tatapan yang menyiratkan “Bu, jangan bilang Ayah ya…”

Meskipun kecewa, namun ibunya berusaha tak menunjukkannya dan tersenyum kecil sambil mengelus rambut Wawan, anak bungsunya yang begitu selalu ingin membuat ayahnya bangga.

***

Malamnya,Wawan sedang mengerjakan Tugas Remidialnya saat tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamarnya dengan tempo yang Wawan kenal, ketukan pintu Ayah.

Wawan terdiam, ragu untuk membuka pintu kamarnya. Lalu segera saja ia sadar bahwa ia harus menyembunyikan kertas-kertas tugas di hadapannya.

Ayahnya memasuki kamar Wawan dan tanpa kata duduk di samping Wawan.

“Ada yang mau kamu ceritain ke Ayah?” ucap ayahnya tenang.

“Eeemm.. engga, Yah.” Ucap Wawan ragu.

“Benar?” desak ayahnya.

“Iya, Yah. Wawan barusan lagi, belajar..”

“Belajar apa? Oh ya, gimana hasil ulangan fisikanya?” tanya Ayah membuat jantung Wawan berdetak dengan lebih cepat.

Wawan ragu. Apakah ia harus mengatakannya atau tidak. Ia bisa saja beralasan bahwa hasilnya belum dibagikan, dan jika esok ayahnya menanyakan lagi maka ia bisa saja memanipulasi angka 30 menjadi 80. Tapi… apakah itu hal yang benar untuk dilakukan? Tapi bagaimana kalau ayahnya kecewa dan sedih saat melihat angka 30 dengan tinta merah di atas kertas ulangannya? Tapi, apa benar kalau ia harus berbohong lalu berbohong lagi untuk menutupi kebohongannya?

Wawan benar-benar ragu…

“Wawan?” panggil ayahnya membangkitkan Wawan dari lamunan keraguannya.

“Eh, oh, eh.. mmm.. iya, Yah.”

“Gimana ulangan fisikanya tempo hari?”

Wawan ragu… namun Wawan teringat akan ucapan ibunya lagi dan memutuskan untuk:

Wawan membuka laci meja belajarnya dan mengeluarkan kertas ulangannya. Dengan hati gemetar, Wawan menyerahkannya pada ayahnya.

“Eu, ini Yah..” ucapnya lirih.

Ayahnya menerima kertas itu dan mengamati dengan sekejap dengan ekspresi yang sulit diterka Wawan,

“Bagus.. Ayah bangga sama kamu,” ucap ayahnya kemudian dengan seulas senyum.

“Tapi Yah? Wawan ngga lulus ulangan…”

“Bukan masalah ulangannya,” sahut ayahnya, “tapi kejujuran kamu yang Ayah banggakan..” lanjut ayahnya lembut dengan senyum mengembang.

Wawan tersenyum dan mengingat kembali ucapan ibunya:

Kejujuran itu sepahit madu, Wawan sayang. Sepahit-pahitnya madu, tetap saja ia manis, bukan?



Karanganyar, 15 September 2014
23: 31 WIB
Semoga Bermanfaat :-)

2 komentar: