kelanjutan dari Mencintai Mati, Menghidupi Malu [Bagian 1] dan [Bagian 2]
Pak Rian tewas ditembak mati oleh seorang mahasiswanya
sendiri yang telah menculiknya. Dan ia mengaku sebagai adik dari Nurina, gadis
yang dulu merupakan kekasih Pak Rian namun ia campakkan dalam keadaan hamil.
Adik Nurina membalaskan dendam kakaknya yang telah meninggal.
Tujuh hari
kemudian di kantor polisi,
“Iya Pak,
memang saya yang menculik dan menembakkan peluru itu ke Pak Rian…” tutur Wulan
lirih dengan kepala tertunduk lesu.
Wulan
mengakui perbuatan keji yang ia lakukan pada dosen yang paling ia segani itu. Polisi
yang menginterogasinya menanyakan berkali-kali alasan Wulan melakukan kejahatan
itu, namun Wulan hanya terdiam dan menangis. Ia tak pernah mengatakan sebabnya.
Namun, barang-barang bukti dan pengakuan Wulan sudahlah cukup untuk
memasukkannya ke bui.
Dalam hati
Wulan tak peduli, meski ia harus dihukum mati atau dipenjara seumur hidup. Ia
melakukannya dengan kesadaran penuh akan resiko yang akan ditanggungnya. Wulan
hanya membayangkan wajah kedua adik kembarnya yang masih berusia lima tahun dan
ayahnya yang hanya seorang tukang kebun di rumah seorang konglomerat. Wulan
tahu dengan pasti bahwa meskipun kini seluruh dunia menjadi musuhnya, namun
keluarganya tetap menyayangi dan merindukannya. Itu tersirat dari sorotan mata
ayahnya yang sendu pada saat persidangan.
Keluarganya
datang ke persidangan bersama Rendi karena sebelumnya pun Rendi telah berjanji
akan menjaga mereka untuk Wulan. Ayah Rendi adalah majikan ayah Wulan. Wulan
menatap satu per satu kedua adik dan ayahnya bergantian dengan tatapan meminta
maaf. Lalu ia menatap Rendi yang tersenyum kecut padanya. Wulan menunduk lesu.
Hakim telah
memutuskan. Wulan akan dipenjara seumur hidup. Sebuah keputusan yang masih saja
kurang berat bagi keluarga pak Rian. Namun bagi keluarga Wulan, itu adalah
sebuah kepedihan. Sedangkan bagi Wulan sendiri, itu ia anggap setimpal dengan
apa yang telah ia lakukan. Tak ada secuil pun penyesalan dalam hatinya jika
mengingat keluarganya.
…
Menginjak bulan
kedua Wulan berada di penjara, ia mulai terbiasa dengan lingkungannya. Wulan yang
pendiam dan murah senyum tak pernah menjadi bahan kejahilan napi-napi lain. Mereka
justru heran, bagaimana mungkin Wulan yang seorang begitu pendiam melakukan hal
yang paling keji di antara mereka semua? Tapi, memang begitulah faktanya.
Suatu hari
Rendi datang berkunjung.
“Bagaimana
keadaan keluargaku?”
“Mereka
baik-baik saja. Bahkan kedua adikmu kini menjadi lebih gemuk, sehat dan semakin
lucu. Tak heran kau begitu menyayangi mereka…”
“Bukankah
kau juga begitu menyayangi saudaramu?”
“Yaah, kau
benar.”
“Apa
sekarang kau puas?” tanya Wulan dengan tatapan menyelidik kepada Rendi.
“Dulu… ya,
untuk sekejap aku merasa puas karena telah membalaskan kematian kak Rina dengan
sempurna.”
“Dulu?”
“Ya, Wulan.
Ternyata keberhasilan balas dendam hanya memberi kepuasan sesaat. Kini aku
menyesal dan hanya bisa berharap esok adik-adikmu takkan membalaskan dendammu
padaku.”
Wulan menatap
Rendi lekat, ia benar-benar menemukan tatap penyesalan di mata Rendi. Dulu sorot
mata Rendi begitu berbeda, begitu menggebu memintanya untuk membunuh pak Rian.
Rendi menggunakan ayah dan kedua adiknya sebagai ancaman jika Wulan tak
bersedia, dan sebaliknya menjanjikan kebahagiaan bagi keluarganya jika Wulan berhasil.
Hingga akhirnya segalanya berjalan sesuai dengan rencana Rendi. Wulan membenci
Rendi, itu pasti. Tapi melihat tatapan penyesalan dan melihat keadaan
keluarganya dari foto yang diberikan Rendi membuatnya tersentuh.
“Dengan
kasih sayang yang kau berikan kepada keluargaku sekarang ini, bagaimana bisa
aku menyimpan dendam padamu lagi, Rendi?” ucapnya kemudian, “Rahasia kita ini
akan tetap tersimpan…”
“Terimakasih
Wulan, maafkan aku.”
“Ya. Tapi
meski bagaimanapun, kita tak tahu apakah Tuhan mengampuni dosa kita ini.”
“Dosaku Wulan,
bukan dosa kita. Tuhan tahu akulah yang bersalah.”
“Aku bisa
saja mempertahankan kejujuran dan tidak menuruti apa kau suruh untuk kulakukan.
Tapi aku terlalu takut, aku telah melupakan perlindungan yang Tuhan janjikan…”
“Yahh… aku
tidak tahu, Wulan.” Rendi menghela napas berat, “Adakah yang begitu kau
inginkan? Sebagai permintaan maafku padamu..”
“Tentu saja ada. Kau sudah
menghancurkan masa depanku, bodoh.” Ucap Wulan dengan intonasi yang lebih
ringan. Rendi tersenyum.
“Kau benar.
Jadi, apa yang kau inginkan?”
“Aku…”
Suara Wulan terhenti karena bel yang mengisyaratkan bahwa waktu kunjungan telah
usai. Wulan tersenyum kecil, “Kukatakan lain kali saja. Lagipula aku masih malu
untuk mengatakannya.” Lanjutnya.
“Apa? Kau membuatku
penasaran.”
“Sudahlah,
pergi sana.”
“Baiklah
aku pergi, minggu depan aku janji akan membawa serta keluargamu. Aku yakin
mereka akan senang…”
Rendi berlalu
dan menyisakan senyum di wajah Wulan.
Diselesaikan: Karanganyar, 28 Februari 2015
12: 36 WIB
Semoga Bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar