Oleh : s4stika
Namaku Illa dan ini adalah ketiga
kalinya aku ke sini, sebuah coffee shop sunyi di pinggir kota kecilku . Di
depanku berserakan kertas-kertas tugas kuliah yang terbengkalai kuabaikan, dan
tentunya secangkir kopi yang masih setengah. Aku nyaman walaupun hanya berada
di sini tanpa melakukan apapun, hanya dengan berada di sini. Menatap ke luar
jendela, menatap pemandangan kota kecil yang sepi. Aku bersyukur telah
menemukan tempat ini. Saat itu aku sedang membereskan barang-barang peninggalan
almarhum Ayahku di kamar beliau, lalu tanpa sengaja sebuah dompet terjatuh dari
lemari dan aku menemukan secarik kertas yang bertuliskan alamat Coffee Shop
ini. Karena penasaran, maka aku mencari alamat ini dan menemukan tempat ini
empat hari yang lalu.
Saat pertama memasuki Coffee Shop
ini, kesan pertama yang kurasakan adalah nyaman, mungkin karena kesunyianya.
Suasana di sini sungguh berbeda dengan suasana di tempat lain yang ramai oleh pengunjung. Lalu aku langsung mencari pemilik Coffee Shop ini yang ternyata bernama Ibu Yuna, saat aku bertanya pada beliau apakah beliau mengenal Ayahku, Ibu Yuna sempat tercengang sedikit lalu berkata,
Suasana di sini sungguh berbeda dengan suasana di tempat lain yang ramai oleh pengunjung. Lalu aku langsung mencari pemilik Coffee Shop ini yang ternyata bernama Ibu Yuna, saat aku bertanya pada beliau apakah beliau mengenal Ayahku, Ibu Yuna sempat tercengang sedikit lalu berkata,
“Ya, Ibu mengenal nama itu, dulu ia
pelanggan di sini, tapi sudah bertahun-tahun dia tidak kembali.”
“Beliau adalah ayah saya Bu..”
kataku jujur. Lalu kulihat ekspresi bu Yuna, tersirat keterkejutan.
“Apa nama kamu Illa?” tanya Ibu Yuna
setelah bisa mengendalikan ekspresinya kembali.
“Iya. Bagaimana Ibu bisa tahu?”
sekarang aku yang terkejut.
“Oh, ehm.. ayah kamu dulu pernah
bercerita tentang kamu.” Kata bu Yuna sedikit tergagap.
“Oh begitu, apa Ibu punya waktu
luang? Saya ingin tahu tentang ayah saya yang dulu. Jujur, saya sama sekali
tidak tahu kalau ayah saya suka minum kopi..” pintaku pada bu Yuna. Tapi saat
kuperhatikan, aku baru sadar bahwa beliau menatapku lama. Ada apa sebenarnya?
Apa ada yang aneh dengan wajahku?
“Oh, iya. Kamu boleh kembali ke sini
kapanpun Illa. Kedai ini selalu buka untuk kamu.” Jawab bu Yuna.
“Benarkah bu? Saya sangat berterimakasih…”
Lalu aku berpamitan dan bergegas
menuju kampus karena ada kuliah pagi itu. Dan begitulah awalnya aku di sini.
Hari berikutnya aku kembali sepulang kuliah, suasana di sini masih sama. Hanya
ada beberapa pengunjung yang keluar saat aku memasuki kedai. Bu Yuna langsung
menyambutku dengan hangat, lalu membuatkanku secangkir kopi yang sangat nikmat.
Bu Yuna juga menemaniku duduk di meja dekat jendela.
“Apa nama kopi ini Bu?” tanyaku saat
itu.
“Love Latte, apa kamu suka Illa?”
“Tentu saja bu, ini sangat nikmat. Saya jadi menyesal kenapa dari dulu
tidak pernah mencoba kopi.”
“Itu adalah kopi favorit Ayah kamu dulu. Apa ayah kamu tidak pernah
mengajak kamu minum kopi di rumah?”
“Tidak Bu, tak pernah sama sekali…” tanpa terasa kepalaku menunduk.
Bagaimana bisa ayah berhenti minum kopi padahal bu Yuna saja mengingat kopi
kesukaan Ayah?
Lalu aku mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan pada bu Yuna tentang
Ayah. Setiap kali aku mengajukan pertanyaan, bu Yuna selalu menyunggingkan
senyum dan beliau selalu menatap mataku, terkadang aku jadi canggung diberi
tatapan seperti itu. Dari bu Yuna, aku jadi tahu bahwa ternyata ayahku juga
suka mencoba membuat resep-resep kopi yang baru. Ayah akan meminta bu Yuna
untuk membuatkannya. Ayah juga suka memainkan piano tua yang berada di pojokan
kedai. Aku tahu bahwa bakat bermusikku turun dari Ayah. Kulihat piano itu,
masih bagus seperti baru dan membuatku yakin pasti bu Yuna membersihkannya
setiap hari. Dari cara bu Yuna bercerita tentang Ayah, aku rasa beliau dan Ayah
dulu bersahabat baik, bu Yuna begitu mengenal Ayah. Tapi, atau mungkin itu
hanya karena Ayah menjadi langganan kedai ini selama kurang lebih tujuh tahun?
Waktu yang cukup lama untuk mengenali seorang pelanggan bukan?
“Apakah Ayah pernah membawa seorang teman perempuan ke sini Bu?” tanyaku
spontan. Bu Yuna tampak sedikit terkejut dengan pertanyaanku, beliau tampak
sedikit mengingat-ingat… atau berpikir?
“Ehm.. ibu rasa tidak.” Jawab bu Yuna singkat, “Maaf, ibu harus ke
belakang dulu Illa, ada yang harus Ibu urus. Kamu boleh di sini selama yang
kamu mau Illa. Jangan lupa habiskan kopinya ya? jika ada yang kamu perlukan,
panggil saja pelayan di sana..” lanjut bu Yuna sembari berdiri bergegas pergi.
“Iy, iya bu..” jawabku. Aneh, kenapa bu Yuna buru-buru begitu?
Tanpa bu Yuna duduk di depanku, aku jadi tidak tahu mau melakukan apa. Lalu
aku hanya menatap langit melalui jendela, ah langit yang indah. Aku jadi
teringat pada piano putih yang ada di pojokan kedai. Aku berdiri dan berjalan
ke piano itu, kusentuh perlahan.. benar-benar masih mulus walaupun sudah
bertahun-tahun. Aku duduk di depan piano dan mulai memainkan jari-jariku di
atas tuts-tutsnya.. aku terhanyut dalam melodi sedih yang kumainkan. Melodi ini
mengingatkanku pada Ayah, dulu beliau yang memainkannya setiap kali aku sedih.
Tak terasa air mataku menetes…
Kembali ke hari ini. Hari ini, untuk ketiga kalinya aku mengunjungi
kedai bu Yuna, dengan suasana yang masih sama, nyaman. Pesananku belum datang
juga, aku bahkan belum melihat bu Yuna di sini. Tiba-tiba seorang pria membawa
nampan berisi secangkir kopi berjalan ke arahku. Kurasa aku belum pernah
melihatnya di sini, apa mungkin dia pelayan baru? Tapi kenapa tidak mengenakan
seragam seperti pelayan yang lain?
“Ini pesanannya. Silahkan…” ucapnya lembut sambil tersenyum. Kuperhatikan
senyum itu, senyum manis yang tidak asing bagiku, senyum bu Yuna. Pria itu lalu
bergegas pergi.
“Tunggu dulu…” sergahku. Aku bahkan tidak percaya saat aku mendengar
suaraku sendiri. Pria itu berbalik dan memasang wajah penuh tanya,
“Ehm.. maaf, apa bu Yuna sedang tidak ada di kedai?” tanyaku sedikit
canggung, ternyata jika diperhatikan benar, pria di depanku ini sungguh
menawan.
“Iya, kebetulan Mamah lagi ke luar kota paling baru besok bisa pulang.
Kamu siapa ya? temen Mamah?” jawab pria menawan itu. Oh jadi ternyata benar dia
anak bu Yuna, pantas saja mirip.
“Emm.. iya, aku pelanggan baru di sini..”
“Siapa nama kamu?”
“Namaku Illa..”
“llla? Benarkah?” pria menawan itu lalu kembali dan duduk di depanku,
“Mamah berpesan padaku sebelum berangkat, beliau minta untuk menyampaikan salam
untuk seorang pelanggan bernama Illa.” lanjutnya.
“Benarkah? Ada banyak hal yang ingin kutanyakan pada bu Yuna..”
“Kamu bisa bertanya padaku. Oh ya, namaku Juna” ucapnya sambil
mengulurkan tangan. Jantungku langsung berdetak lebih cepat, tapi tanganku
refleks menjabat pria menawan di depanku yang ternyata bernama Juna ini.
“Dan aku Illa.. trimakasih, tapi aku rasa kamu pun nggak akan bisa jawab
pertanyaanku. Ini tentang masa lalu, mungkin kita masih kecil atau bahkan belum
dilahirkan..” aku menjelaskan. Ia menganggukkan kepala tiga kali, ia bisa
mengerti karna sepertinya usia kami tidak jauh berbeda.
“Ya sudah, tak apa. Uhm.. jadi, sudah berapa lama kamu jadi pelanggan
Mamah?” Juna membuka percakapan lagi.
“Hehe.. aku baru ke sini tiga kali.. dan kamu? Kenapa aku baru melihatmu
hari ini?” kenapa aku jadi penasaran tentang Juna ini ya?
“Tapi Mamah seperti sangat menyukai kamu. Aku? aku kuliah di luar kota,
jadi jarang ke sini. Tapi sekarang sedang liburan, dan kebetulan Mamah ada
urusan ke luar kota jadi aku bisa mengurus kedai..”
“Oh begitu…” aku menganggukkan kepala.
“Kopi yang kamu pesan itu… sebenarnya resep lama. Kami sudah tidak
memasukkannya dalam daftar menu, bagaimana kamu bisa tahu tentang kopi itu?”
“Oh Love Latte? Bu Yuna yang sengaja membuatkannya saat kedua kali aku
ke kedai ini.”
“Oh ya? Aneh, Mamah sudah lama nggak membuatnya. Hanya sesekali saja
kalau aku yang minta,”
“Ehm, kata bu Yuna, Love Latte adalah kopi kesukaan ayahku, dulu beliau
adalah pelanggan di sini..”
“Oh jadi begitu..”
Lalu kami membicarakan banyak hal. Tentang sejarah kedai ini, tentang
ayahku, tentang bu Yuna, tentang Juna, dan tentangku. Rasa canggung yang tadi
ada berubah jadi nyaman. Aku berjanji padanya untuk lebih sering berkunjung,
dan ia berjanji untuk membuatkanku Love Latte yang semakin nikmat tiap aku
berkunjung. Aku rasa, aku menyukai Juna.
Keesokan harinya aku kembali ke kedai, dan hari-hari berikutnya. Bu Yuna
belum kunjung kembali, tapi selalu ada Juna yang menemaniku mengobrol di meja
dekat jendela. Ia memintaku untuk mengantarnya berkeliling kota, dia bilang dia
sudah rindu pada kota kelahiran yang jarang ia tinggali ini. Maka akupun
mengajaknya berkeliling, dan aku sangat menikmati perjalanan hari itu.
Suatu hari, sehabis menegak habis dua cangkir Love Latte buatan Juna aku
jadi teringat pada piano putih di pojokan kedai. Sudah lama aku tak
memainkannya lagi sejak pertama kali aku memainkan melodi sedih.
“Ayolah, mainkan saja. Aku ingin sekali mendengarkan melodi dari ayah
kamu itu..” pinta Juna.
“Baiklah.”
Lalu kami berdua duduk di depan piano, aku mulai memainkan melodi itu.
Mengalun perlahan dan aku nikmati sambil memejamkan mata. Aku rasakan Juna
mendekatiku, menyentuh bahu kiriku. Lalu aku bisa merasakan napasnya mendekati
wajahku, aku membuka mata dan tepat saat itulah Juna mencium pipiku dengan
lembut. Aku terkejut dan berhenti bermain piano. Tiba-tiba…
“Juna! Apa yang kamu lakukan??!” suara bu Yuna terdengar sangat marah
dari belakang kami. Kami terkejut dan menoleh, terlihat air mata berlinang di
mata bu Yuna.
“Mamah? Mamah sudah pulang? Kenapa Mamah nangis dan berteriak seperti
itu?” Juna berdiri dan menghampiri bu Yuna,
“Kenapa kamu mencium Illa?” kata bu Yuna yang sekarang tak kuat menahan
air mata.
“Mamah marah? Tapi kenapa Mah? Apa salahnya aku mencium Illa? Aku suka
Mah sama Illa.”
“Kamu ngga seharusnya nglakuin itu Juna!”
“Tt.. tapi kenapa Mah?”
“Pulanglah Juna! biar Mamah yang mengurus kedai.” Kata bu Yuna tegas.
“Sudah tidak apa-apa Bu, Illa nggak marah kok..” aku mencoba sedikit
menenangkan bu Yuna.
“Mamah denger sendiri kan? Illa juga suka sama Juna Mah!” sahut Juna.
Tapi aku tidak suka caranya mengatakannya pada bu Yuna, Juna terlalu marah.
“Pulang Juna!” teriak bu Yuna sekali lagi, lalu Juna berjalan dengan
marah keluar kedai. Ia sempat menatapku dengan tatapan kecewa, tapi aku tak
bisa berbuat apa-apa.
“Illa, maafkan perlakuan Juna yang tidak sopan,” kata bu Yuna.
“Tidak apa Bu, saya bisa mengerti perasaan Juna.. ”
“Sebaiknya tidak Illa... Illa, apakah kamu tinggal bersama ayah kamu?
Bisakah kamu mempertemukan Ibu dengannya?” tanya bu Yuna membuatku terkejut.
Ya, selama ini aku selalu bertanya pada bu Yuna tanpa sempat bercerita bahwa
Ayah sudah meninggal dua bulan yang lalu.
“Ehm.. Ay.. ayah sudah meninggal Bu, maaf Illa baru memberitahukannya
pada Ibu,” Kulihat wajah sedih bu Yuna, matanya yang sendu kini mulai
berkaca-kaca lagi. Mungkin beliau jadi terkenang pada persahabatan mereka dulu.
“Yuna, maukah kamu memainkan melodi yang kamu mainkan tadi untuk Ibu?”
pinta bu Yuna. Aku mengangguk dan kami duduk di depan piano. Aku mulai menekan
tuts perlahan sembari memejamkan mata, tak lama kemudian kurasakan kepala bu
Yuna yang tersandar di pundakku. Sebenarnya apa yang telah terjadi hari ini?
Juna, kemana kamu berlari? Sebenarnya aku ingin mengejarmu, tapi aku tak kuasa
melihat air mata bu Yuna. Mungkinkah sebaiknya kita tak pernah bertemu lagi?
Apa aku sanggup?
*** ***
Sudah dua tahun aku tak bertemu dengan Juna, tapi masih saja namanya
yang kutulis dalam diaryku. Aku merindukan Juna meski sekarang pun aku sudah
memiliki Roy untuk menemani hari-hariku. Roy adalah temanku saat SMA yang
kuliah denganku di jurusan yang sama. Ternyata selama ini Roy menyukaiku, hanya
saja aku yang tidak menyadarinya. Beberapa bulan setelah Juna menghilang, Roy
memberanikan diri untuk membuntutiku saat aku ke kedai kopi bu Yuna. Dan
disanalah aku pertama kali menyadari kehadiran Roy dalam hidupku. Saat aku
kehilangan sosok Juna, Roy yang selalu ada menemaniku meneguk Love Latte di
bangku kedai pinggir jendela. Roy yang selalu duduk di depanku dan mendengarkan
setiap keluh kesahku. Aku mulai menyukainya, dan kami menjadi sepasang kekasih.
Walaupun aku masih saja teringat pada Juna setiap melihat senyum bu Yuna. Aku
dan bu Yuna menjadi semakin dekat, aku menganggap bu Yuna sebagai Ibuku
sendiri. Beliau selalu tersenyum jika melihatku, masih dengan senyum yang sama
setiap harinya.
Dan disinilah aku sekarang, di panggung yang selalu kunantikan. Malam
ini adalah malam konser tunggalku di kota kecil ini. Malam yang selalu kuimpikan
dalam hidupku. Setelah suara tepuk tangan penonton berhenti, aku melangkah
menuju piano putih yang ada di tengah
panggung. Aku duduk di depannya, memejamkan mata, dan menarik napas
dalam-dalam..
“Ayah, ini untuk Ayah…” ucapku lirih. Lalu aku mulai memainkan melodi
sedih yang diajarkan Ayah padaku. Suasana menjadi hening, airmata bahagia
mengalir di pipiku saat aku menoleh ke arah penonton dan menyadari bahwa
keheningan yang tercipta adalah karena para penonton terhanyut dalam melodi
Ayah. Kulihat di deretan bangku paling depan, duduklah Roy yang tersenyum
padaku sambil memegangi handycamnya. Di sampingnya ku lihat bu Yuna yang
berkaca-kaca menatapku. Aku edarkan pandangan ke seluruh penonton sambil
tersenyum dan disambut oleh riuh tepuk tangan. Melodi selesai dan aku berdiri
sambil membungkukkan badan. Saat itulah aku sadar, entah karena saking rindunya
atau apa, aku rasa aku melihat Juna di barisan penonton paling belakang. Betapa
bahagianya jika itu memang bukan imajinasiku saja.
“Illa.. Illa.. ini ada titipan dari salah satu penggemar kamu!” panggil
Lia teman sekaligus asistenku. Ia membawa sebuah cangkir kecil yang tertutup
rapat saat kami di belakang panggung setelah konser berakhir.
“Apaan nih? Yang ngasih siapa?” tanyaku heran.
“Nggak tahu, katanya sih penggemar. Oh ya, ini ada suratnya,” Lia
mengulurkan sebuah lipatan kertas padaku.
“Oke makasih ya..” lalu aku mencari kursi kosong dan segera membuka
cangkir itu. Isinya kopi, harumnya seperti,
“Love Latte? Apa bu Yuna yang ngirim? Tapi masa iya Lia nggak ngenalin
bu Yuna..”
Setelah mencicipi Love Latte itu, aku membuka lipatan kertas kecil tadi.
Isinya membuatku benar-benar bahagia,
Illa, aku ngga yakin apakah love latte itu rasanya masih
sama dengan yang kubuatkan dulu untukmu. Tapi aku harap kamu masih menyukainya.
Illa, aku sangat ingin bertemu denganmu. Kuharap kamu datang ke Junil Coffee
Shop di tengah kota besok. Kutunggu kehadiranmu Illa.
Juna
Juna.. jadi yang kulihat tadi bukan hanya imajinasiku saja.
Keesokan harinya pagi-pagi sekali aku bergegas ke pusat kota untuk
mencari Junil Coffee Shop, aku sangat merindukan Juna. Untuk sesaat, aku
terlupa akan Roy. Aku tahu dia tak akan mencariku karena dia tak mudah
curigaan, dia mengira aku kelelahan dan beristirahat di rumah.
Setelah mencari cukup lama, akhirnya aku menemukan Coffee Shop itu.
Jantungku berdebar, apa aku sanggup untuk menemui Juna setelah sekian lama? Apa
yang aku pikirkan? Bisa saja Juna sudah mempunyai seorang pendamping sekarang.
Apa sebaiknya aku pergi saja?
“Illa?” panggil seorang pria menawan dengan senyum manis di depan pintu.
“Juna..” ucapku lirih. Lalu ia mengajakku memasuki kedai dan
membuatkanku, sekali lagi Love Latte.
“Aku nggak nyangka kamu bakalah ke sini. Aku sangat merindukan kamu
Illa,” ucapnya dengan tatapan yang menusuk hati, aku tak sanggup berkata, “Apa
kamu ngrasain yang sama? Atau.. apa Mamahku benar bahwa kamu sudah bersama
seseorang?” lanjutnya semakin membuatku membisu.
“Emm.. a.. aku.. aku.. aku keduanya. Maafkan aku..” setelah
mengucapkannya, aku langsung memejamkan mata. Aku tak sanggup melihat ekspresi
Juna yang pasti marah padaku.
“Trimakasih Illa.. “ ucap Juna sambil menggemgam tanganku, “Itu yang aku
rindukan dari kamu Illa. Kejujuran dan kepolosan kamu.. jadi, apakah kamu mau
bersama denganku? Aku janji kita akan melawan dunia bersama-sama Illa..”
Aku nggak sanggup, air mata mulai mengalir di pipiku. Aku menyesali
diriku sendiri, bagaimana bisa aku jatuh cinta pada dua orang sekaligus seperti
ini? aku sangat menyayangi Roy, tapi aku masih tak sanggup menolak Juna.
“Juna! Hentikan itu!” suara bu Yuna terdengar dari arah pintu. Kejadian
ini terjadi untuk kedua kalinya,
“Mamah?” Juna sama terkejutnya denganku.
“Bagaimana kamu bisa tahu tempat ini Illa?” tanya bu Yuna padaku.
“Illa.. Illa ..” aku nggak berani ngomong.
“Juna yang ngasih tahu Illa, Mah.. karena Juna kangen Illa. Mah, tolong
jangan pisahkan kami lagi. Juna mohon.”
“Nggak bisa Juna..” ucap bu Yuna tegas.
“Tapi kenapa Mah?!”
“Karna Illa sudah punya Roy, sadarlah Juna! Kamu bisa mendapatkan gadis
manapun kalau kamu mau, jangan merebut milik orang lain!” kini bu Yuna mulai
menangis.
“Juna tahu itu bukan alasan Mamah yang sebenarnya..” sahut Juna.
“Juna udah, jangan terus memojokkan bu Yuna!” sahutku. Lalu aku
menghampiri bu Yuna dan memeluk beliau.
“Maafin Illa, Bu. Illa ngga bermaksud bikin bu Yuna marah..” ucapku
tulus sambil menahan air mata.
“Kamu nggak salah Illa, mungkin ini sudah saatnya Ibu ngasih tahu
kalian..” sahut bu Yuna, kini tangisnya sudah sedikit mereda.
“Apa maksud Mamah?” tanya Juna heran.
“Sebenarnya alasan Mamah melarang kalian bersatu adalah… karena Illa..
Illa.. Illa adalah adik kamu Juna, hiks.. hiks.” Sekarang bu Yuna kembali
sesenggukkan. Aku dan Juna saling bertatapan dalam keterkejutan.
“Nggak mungkin, bu Yuna bohong kan? Ayah selalu bilang kalau Ibu aku
udah pergi” ucapku tak percaya. Bu Yuna menggelengkan kepala,
“Nggak Illa, ibu nggak bohong. Dan apa ayah kamu pernah bilang kemana
ibu kamu pergi?”
“Tapi, bukankah yang dimaksud Ayah adalah pergi ke surga?” sekarang aku
terduduk tak berdaya. Bu Yuna memegang bahuku, lalu memelukku dengan sangat
erat.
“Maafin Ibu, Illa.. dulu saat kakakmu Juna berumur lima tahun dan kamu
baru berusia dua tahun, Ibu dan Ayahmu berpisah. Itu adalah hari terburuk dalam
hidup Ibu..”
“Apa itu benar Mah?” kini Juna duduk disamping bu Yuna.
“Benar, ini foto kita berempat saat Illa baru lahir di rumah sakit” bu
Yuna mengeluarkan sebuah foto lama yang dilaminating sehingga tidak rusak. Itu
benar-benar Ayah, dan itu benar-benar bu Yuna. Sekarang aku dan Juna
benar-benar percaya. Lalu kami bertiga saling berpelukan. Juna yang marah pun
bisa menjadi lunak hatinya. Kami sadar bahwa rasa sayang yang selama ini kami
rasakan adalah sayang antara adik dan kakak.
Dua minggu kemudian kami mengantarkan Juna ke bandara, ehm.. maksudku
Kak Juna ke bandara. Ia akan mengambil kuliah S2 di Amerika. Aku harap selain
mendapat ilmu, kak Juna juga akan mendapatkan pendamping.
Sekarang aku punya banyak waktu bersama Ibu karena kami tinggal bersama.
Ibu banyak bercerita tentang masa saat ayah da ibu masih bersama. Love Latte
adalah kopi yang selalu ayah dan ibu minum bersama saat bertemu di kedai nenek
(sekarang kedai ibu). Melodi sedih yang diajarkan ayah padaku adalah melodi
kesukaan Ibu saat bermuram durja. Dan ibu masih menyimpan semua resep buatan
ayah untuk dicoba.
Aku meneruskan usaha kak Juna mengelola Junil (Juna & illa) Coffee
Shop bersama Ibu. Roy pun ikut membantu kami. Selain itu, Roy mengajar sebuah
sekolah musik di dekat kedai Junil milik kami. Aku pun ikut membantu Roy. Kami
saling membantu, saling menyayangi, dan hidup bahagia.
“Ayah, kebahagiaan ini karena Ayah.. Illa merindukan Ayah.”
Kya~ Masih mudah ditebak, Sekar. Dan flow-nya kurang nonjok. Maap, cerewet. Salam stalker!
BalasHapusoke oke sipp.. makasiih ya Karroro gunsho :p
BalasHapusinsyaAlloh bermanfaat kritiknya :D