Kamis, 29 Agustus 2013

“Love Latte”


Oleh : s4stika

            Namaku Illa dan ini adalah ketiga kalinya aku ke sini, sebuah coffee shop sunyi di pinggir kota kecilku . Di depanku berserakan kertas-kertas tugas kuliah yang terbengkalai kuabaikan, dan tentunya secangkir kopi yang masih setengah. Aku nyaman walaupun hanya berada di sini tanpa melakukan apapun, hanya dengan berada di sini. Menatap ke luar jendela, menatap pemandangan kota kecil yang sepi. Aku bersyukur telah menemukan tempat ini. Saat itu aku sedang membereskan barang-barang peninggalan almarhum Ayahku di kamar beliau, lalu tanpa sengaja sebuah dompet terjatuh dari lemari dan aku menemukan secarik kertas yang bertuliskan alamat Coffee Shop ini. Karena penasaran, maka aku mencari alamat ini dan menemukan tempat ini empat hari yang lalu.
            Saat pertama memasuki Coffee Shop ini, kesan pertama yang kurasakan adalah nyaman, mungkin karena kesunyianya.
Suasana di sini sungguh berbeda dengan suasana di tempat lain yang ramai oleh pengunjung. Lalu aku langsung mencari pemilik Coffee Shop ini yang ternyata bernama Ibu Yuna, saat aku bertanya pada beliau apakah beliau mengenal Ayahku, Ibu Yuna sempat tercengang sedikit lalu berkata,
            “Ya, Ibu mengenal nama itu, dulu ia pelanggan di sini, tapi sudah bertahun-tahun dia tidak kembali.”
            “Beliau adalah ayah saya Bu..” kataku jujur. Lalu kulihat ekspresi bu Yuna, tersirat keterkejutan.
            “Apa nama kamu Illa?” tanya Ibu Yuna setelah bisa mengendalikan ekspresinya kembali.
            “Iya. Bagaimana Ibu bisa tahu?” sekarang aku yang terkejut.
            “Oh, ehm.. ayah kamu dulu pernah bercerita tentang kamu.” Kata bu Yuna sedikit tergagap.
            “Oh begitu, apa Ibu punya waktu luang? Saya ingin tahu tentang ayah saya yang dulu. Jujur, saya sama sekali tidak tahu kalau ayah saya suka minum kopi..” pintaku pada bu Yuna. Tapi saat kuperhatikan, aku baru sadar bahwa beliau menatapku lama. Ada apa sebenarnya? Apa ada yang aneh dengan wajahku?
            “Oh, iya. Kamu boleh kembali ke sini kapanpun Illa. Kedai ini selalu buka untuk kamu.” Jawab bu Yuna.
            “Benarkah bu? Saya sangat berterimakasih…”
            Lalu aku berpamitan dan bergegas menuju kampus karena ada kuliah pagi itu. Dan begitulah awalnya aku di sini. Hari berikutnya aku kembali sepulang kuliah, suasana di sini masih sama. Hanya ada beberapa pengunjung yang keluar saat aku memasuki kedai. Bu Yuna langsung menyambutku dengan hangat, lalu membuatkanku secangkir kopi yang sangat nikmat. Bu Yuna juga menemaniku duduk di meja dekat jendela.
            “Apa nama kopi ini Bu?” tanyaku saat itu.
            “Love Latte, apa kamu suka Illa?”
“Tentu saja bu, ini sangat nikmat. Saya jadi menyesal kenapa dari dulu tidak pernah mencoba kopi.”
“Itu adalah kopi favorit Ayah kamu dulu. Apa ayah kamu tidak pernah mengajak kamu minum kopi di rumah?”
“Tidak Bu, tak pernah sama sekali…” tanpa terasa kepalaku menunduk. Bagaimana bisa ayah berhenti minum kopi padahal bu Yuna saja mengingat kopi kesukaan Ayah?
Lalu aku mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan pada bu Yuna tentang Ayah. Setiap kali aku mengajukan pertanyaan, bu Yuna selalu menyunggingkan senyum dan beliau selalu menatap mataku, terkadang aku jadi canggung diberi tatapan seperti itu. Dari bu Yuna, aku jadi tahu bahwa ternyata ayahku juga suka mencoba membuat resep-resep kopi yang baru. Ayah akan meminta bu Yuna untuk membuatkannya. Ayah juga suka memainkan piano tua yang berada di pojokan kedai. Aku tahu bahwa bakat bermusikku turun dari Ayah. Kulihat piano itu, masih bagus seperti baru dan membuatku yakin pasti bu Yuna membersihkannya setiap hari. Dari cara bu Yuna bercerita tentang Ayah, aku rasa beliau dan Ayah dulu bersahabat baik, bu Yuna begitu mengenal Ayah. Tapi, atau mungkin itu hanya karena Ayah menjadi langganan kedai ini selama kurang lebih tujuh tahun? Waktu yang cukup lama untuk mengenali seorang pelanggan bukan?
“Apakah Ayah pernah membawa seorang teman perempuan ke sini Bu?” tanyaku spontan. Bu Yuna tampak sedikit terkejut dengan pertanyaanku, beliau tampak sedikit mengingat-ingat… atau berpikir?
“Ehm.. ibu rasa tidak.” Jawab bu Yuna singkat, “Maaf, ibu harus ke belakang dulu Illa, ada yang harus Ibu urus. Kamu boleh di sini selama yang kamu mau Illa. Jangan lupa habiskan kopinya ya? jika ada yang kamu perlukan, panggil saja pelayan di sana..” lanjut bu Yuna sembari berdiri bergegas pergi.
“Iy, iya bu..” jawabku. Aneh, kenapa bu Yuna buru-buru begitu?
Tanpa bu Yuna duduk di depanku, aku jadi tidak tahu mau melakukan apa. Lalu aku hanya menatap langit melalui jendela, ah langit yang indah. Aku jadi teringat pada piano putih yang ada di pojokan kedai. Aku berdiri dan berjalan ke piano itu, kusentuh perlahan.. benar-benar masih mulus walaupun sudah bertahun-tahun. Aku duduk di depan piano dan mulai memainkan jari-jariku di atas tuts-tutsnya.. aku terhanyut dalam melodi sedih yang kumainkan. Melodi ini mengingatkanku pada Ayah, dulu beliau yang memainkannya setiap kali aku sedih. Tak terasa air mataku menetes…

Kembali ke hari ini. Hari ini, untuk ketiga kalinya aku mengunjungi kedai bu Yuna, dengan suasana yang masih sama, nyaman. Pesananku belum datang juga, aku bahkan belum melihat bu Yuna di sini. Tiba-tiba seorang pria membawa nampan berisi secangkir kopi berjalan ke arahku. Kurasa aku belum pernah melihatnya di sini, apa mungkin dia pelayan baru? Tapi kenapa tidak mengenakan seragam seperti pelayan yang lain?
“Ini pesanannya. Silahkan…” ucapnya lembut sambil tersenyum. Kuperhatikan senyum itu, senyum manis yang tidak asing bagiku, senyum bu Yuna. Pria itu lalu bergegas pergi.
“Tunggu dulu…” sergahku. Aku bahkan tidak percaya saat aku mendengar suaraku sendiri. Pria itu berbalik dan memasang wajah penuh tanya,
“Ehm.. maaf, apa bu Yuna sedang tidak ada di kedai?” tanyaku sedikit canggung, ternyata jika diperhatikan benar, pria di depanku ini sungguh menawan.
“Iya, kebetulan Mamah lagi ke luar kota paling baru besok bisa pulang. Kamu siapa ya? temen Mamah?” jawab pria menawan itu. Oh jadi ternyata benar dia anak bu Yuna, pantas saja mirip.
“Emm.. iya, aku pelanggan baru di sini..”
“Siapa nama kamu?”
“Namaku Illa..”
“llla? Benarkah?” pria menawan itu lalu kembali dan duduk di depanku, “Mamah berpesan padaku sebelum berangkat, beliau minta untuk menyampaikan salam untuk seorang pelanggan bernama Illa.” lanjutnya.
“Benarkah? Ada banyak hal yang ingin kutanyakan pada bu Yuna..”
“Kamu bisa bertanya padaku. Oh ya, namaku Juna” ucapnya sambil mengulurkan tangan. Jantungku langsung berdetak lebih cepat, tapi tanganku refleks menjabat pria menawan di depanku yang ternyata bernama Juna ini.
“Dan aku Illa.. trimakasih, tapi aku rasa kamu pun nggak akan bisa jawab pertanyaanku. Ini tentang masa lalu, mungkin kita masih kecil atau bahkan belum dilahirkan..” aku menjelaskan. Ia menganggukkan kepala tiga kali, ia bisa mengerti karna sepertinya usia kami tidak jauh berbeda.
“Ya sudah, tak apa. Uhm.. jadi, sudah berapa lama kamu jadi pelanggan Mamah?” Juna membuka percakapan lagi.
“Hehe.. aku baru ke sini tiga kali.. dan kamu? Kenapa aku baru melihatmu hari ini?” kenapa aku jadi penasaran tentang Juna ini ya?
“Tapi Mamah seperti sangat menyukai kamu. Aku? aku kuliah di luar kota, jadi jarang ke sini. Tapi sekarang sedang liburan, dan kebetulan Mamah ada urusan ke luar kota jadi aku bisa mengurus kedai..”
“Oh begitu…” aku menganggukkan kepala.
“Kopi yang kamu pesan itu… sebenarnya resep lama. Kami sudah tidak memasukkannya dalam daftar menu, bagaimana kamu bisa tahu tentang kopi itu?”
“Oh Love Latte? Bu Yuna yang sengaja membuatkannya saat kedua kali aku ke kedai ini.”
“Oh ya? Aneh, Mamah sudah lama nggak membuatnya. Hanya sesekali saja kalau aku yang minta,”
“Ehm, kata bu Yuna, Love Latte adalah kopi kesukaan ayahku, dulu beliau adalah pelanggan di sini..”
“Oh jadi begitu..”
Lalu kami membicarakan banyak hal. Tentang sejarah kedai ini, tentang ayahku, tentang bu Yuna, tentang Juna, dan tentangku. Rasa canggung yang tadi ada berubah jadi nyaman. Aku berjanji padanya untuk lebih sering berkunjung, dan ia berjanji untuk membuatkanku Love Latte yang semakin nikmat tiap aku berkunjung. Aku rasa, aku menyukai Juna.
Keesokan harinya aku kembali ke kedai, dan hari-hari berikutnya. Bu Yuna belum kunjung kembali, tapi selalu ada Juna yang menemaniku mengobrol di meja dekat jendela. Ia memintaku untuk mengantarnya berkeliling kota, dia bilang dia sudah rindu pada kota kelahiran yang jarang ia tinggali ini. Maka akupun mengajaknya berkeliling, dan aku sangat menikmati perjalanan hari itu.
Suatu hari, sehabis menegak habis dua cangkir Love Latte buatan Juna aku jadi teringat pada piano putih di pojokan kedai. Sudah lama aku tak memainkannya lagi sejak pertama kali aku memainkan melodi sedih.
“Ayolah, mainkan saja. Aku ingin sekali mendengarkan melodi dari ayah kamu itu..” pinta Juna.
“Baiklah.”
Lalu kami berdua duduk di depan piano, aku mulai memainkan melodi itu. Mengalun perlahan dan aku nikmati sambil memejamkan mata. Aku rasakan Juna mendekatiku, menyentuh bahu kiriku. Lalu aku bisa merasakan napasnya mendekati wajahku, aku membuka mata dan tepat saat itulah Juna mencium pipiku dengan lembut. Aku terkejut dan berhenti bermain piano. Tiba-tiba…
“Juna! Apa yang kamu lakukan??!” suara bu Yuna terdengar sangat marah dari belakang kami. Kami terkejut dan menoleh, terlihat air mata berlinang di mata bu Yuna.
“Mamah? Mamah sudah pulang? Kenapa Mamah nangis dan berteriak seperti itu?” Juna berdiri dan menghampiri bu Yuna,
“Kenapa kamu mencium Illa?” kata bu Yuna yang sekarang tak kuat menahan air mata.
“Mamah marah? Tapi kenapa Mah? Apa salahnya aku mencium Illa? Aku suka Mah sama Illa.”
“Kamu ngga seharusnya nglakuin itu Juna!”
“Tt.. tapi kenapa Mah?”
“Pulanglah Juna! biar Mamah yang mengurus kedai.” Kata bu Yuna tegas.
“Sudah tidak apa-apa Bu, Illa nggak marah kok..” aku mencoba sedikit menenangkan bu Yuna.
“Mamah denger sendiri kan? Illa juga suka sama Juna Mah!” sahut Juna. Tapi aku tidak suka caranya mengatakannya pada bu Yuna, Juna terlalu marah.
“Pulang Juna!” teriak bu Yuna sekali lagi, lalu Juna berjalan dengan marah keluar kedai. Ia sempat menatapku dengan tatapan kecewa, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa.
“Illa, maafkan perlakuan Juna yang tidak sopan,” kata bu Yuna.
“Tidak apa Bu, saya bisa mengerti perasaan Juna.. ”
“Sebaiknya tidak Illa... Illa, apakah kamu tinggal bersama ayah kamu? Bisakah kamu mempertemukan Ibu dengannya?” tanya bu Yuna membuatku terkejut. Ya, selama ini aku selalu bertanya pada bu Yuna tanpa sempat bercerita bahwa Ayah sudah meninggal dua bulan yang lalu.
“Ehm.. Ay.. ayah sudah meninggal Bu, maaf Illa baru memberitahukannya pada Ibu,” Kulihat wajah sedih bu Yuna, matanya yang sendu kini mulai berkaca-kaca lagi. Mungkin beliau jadi terkenang pada persahabatan mereka dulu.
“Yuna, maukah kamu memainkan melodi yang kamu mainkan tadi untuk Ibu?” pinta bu Yuna. Aku mengangguk dan kami duduk di depan piano. Aku mulai menekan tuts perlahan sembari memejamkan mata, tak lama kemudian kurasakan kepala bu Yuna yang tersandar di pundakku. Sebenarnya apa yang telah terjadi hari ini? Juna, kemana kamu berlari? Sebenarnya aku ingin mengejarmu, tapi aku tak kuasa melihat air mata bu Yuna. Mungkinkah sebaiknya kita tak pernah bertemu lagi? Apa aku sanggup?
***                              ***
Sudah dua tahun aku tak bertemu dengan Juna, tapi masih saja namanya yang kutulis dalam diaryku. Aku merindukan Juna meski sekarang pun aku sudah memiliki Roy untuk menemani hari-hariku. Roy adalah temanku saat SMA yang kuliah denganku di jurusan yang sama. Ternyata selama ini Roy menyukaiku, hanya saja aku yang tidak menyadarinya. Beberapa bulan setelah Juna menghilang, Roy memberanikan diri untuk membuntutiku saat aku ke kedai kopi bu Yuna. Dan disanalah aku pertama kali menyadari kehadiran Roy dalam hidupku. Saat aku kehilangan sosok Juna, Roy yang selalu ada menemaniku meneguk Love Latte di bangku kedai pinggir jendela. Roy yang selalu duduk di depanku dan mendengarkan setiap keluh kesahku. Aku mulai menyukainya, dan kami menjadi sepasang kekasih. Walaupun aku masih saja teringat pada Juna setiap melihat senyum bu Yuna. Aku dan bu Yuna menjadi semakin dekat, aku menganggap bu Yuna sebagai Ibuku sendiri. Beliau selalu tersenyum jika melihatku, masih dengan senyum yang sama setiap harinya.
Dan disinilah aku sekarang, di panggung yang selalu kunantikan. Malam ini adalah malam konser tunggalku di kota kecil ini. Malam yang selalu kuimpikan dalam hidupku. Setelah suara tepuk tangan penonton berhenti, aku melangkah menuju piano putih  yang ada di tengah panggung. Aku duduk di depannya, memejamkan mata, dan menarik napas dalam-dalam..
“Ayah, ini untuk Ayah…” ucapku lirih. Lalu aku mulai memainkan melodi sedih yang diajarkan Ayah padaku. Suasana menjadi hening, airmata bahagia mengalir di pipiku saat aku menoleh ke arah penonton dan menyadari bahwa keheningan yang tercipta adalah karena para penonton terhanyut dalam melodi Ayah. Kulihat di deretan bangku paling depan, duduklah Roy yang tersenyum padaku sambil memegangi handycamnya. Di sampingnya ku lihat bu Yuna yang berkaca-kaca menatapku. Aku edarkan pandangan ke seluruh penonton sambil tersenyum dan disambut oleh riuh tepuk tangan. Melodi selesai dan aku berdiri sambil membungkukkan badan. Saat itulah aku sadar, entah karena saking rindunya atau apa, aku rasa aku melihat Juna di barisan penonton paling belakang. Betapa bahagianya jika itu memang bukan imajinasiku saja.
“Illa.. Illa.. ini ada titipan dari salah satu penggemar kamu!” panggil Lia teman sekaligus asistenku. Ia membawa sebuah cangkir kecil yang tertutup rapat saat kami di belakang panggung setelah konser berakhir.
“Apaan nih? Yang ngasih siapa?” tanyaku heran.
“Nggak tahu, katanya sih penggemar. Oh ya, ini ada suratnya,” Lia mengulurkan sebuah lipatan kertas padaku.
“Oke makasih ya..” lalu aku mencari kursi kosong dan segera membuka cangkir itu. Isinya kopi, harumnya seperti,
“Love Latte? Apa bu Yuna yang ngirim? Tapi masa iya Lia nggak ngenalin bu Yuna..”
Setelah mencicipi Love Latte itu, aku membuka lipatan kertas kecil tadi. Isinya membuatku benar-benar bahagia,
Illa, aku ngga yakin apakah love latte itu rasanya masih sama dengan yang kubuatkan dulu untukmu. Tapi aku harap kamu masih menyukainya. Illa, aku sangat ingin bertemu denganmu. Kuharap kamu datang ke Junil Coffee Shop di tengah kota besok. Kutunggu kehadiranmu Illa.
Juna
Juna.. jadi yang kulihat tadi bukan hanya imajinasiku saja.
Keesokan harinya pagi-pagi sekali aku bergegas ke pusat kota untuk mencari Junil Coffee Shop, aku sangat merindukan Juna. Untuk sesaat, aku terlupa akan Roy. Aku tahu dia tak akan mencariku karena dia tak mudah curigaan, dia mengira aku kelelahan dan beristirahat di rumah.
Setelah mencari cukup lama, akhirnya aku menemukan Coffee Shop itu. Jantungku berdebar, apa aku sanggup untuk menemui Juna setelah sekian lama? Apa yang aku pikirkan? Bisa saja Juna sudah mempunyai seorang pendamping sekarang. Apa sebaiknya aku pergi saja?
“Illa?” panggil seorang pria menawan dengan senyum manis di depan pintu.
“Juna..” ucapku lirih. Lalu ia mengajakku memasuki kedai dan membuatkanku, sekali lagi Love Latte.
“Aku nggak nyangka kamu bakalah ke sini. Aku sangat merindukan kamu Illa,” ucapnya dengan tatapan yang menusuk hati, aku tak sanggup berkata, “Apa kamu ngrasain yang sama? Atau.. apa Mamahku benar bahwa kamu sudah bersama seseorang?” lanjutnya semakin membuatku membisu.
“Emm.. a.. aku.. aku.. aku keduanya. Maafkan aku..” setelah mengucapkannya, aku langsung memejamkan mata. Aku tak sanggup melihat ekspresi Juna yang pasti marah padaku.
“Trimakasih Illa.. “ ucap Juna sambil menggemgam tanganku, “Itu yang aku rindukan dari kamu Illa. Kejujuran dan kepolosan kamu.. jadi, apakah kamu mau bersama denganku? Aku janji kita akan melawan dunia bersama-sama Illa..”
Aku nggak sanggup, air mata mulai mengalir di pipiku. Aku menyesali diriku sendiri, bagaimana bisa aku jatuh cinta pada dua orang sekaligus seperti ini? aku sangat menyayangi Roy, tapi aku masih tak sanggup menolak Juna.
“Juna! Hentikan itu!” suara bu Yuna terdengar dari arah pintu. Kejadian ini terjadi untuk kedua kalinya,
“Mamah?” Juna sama terkejutnya denganku.
“Bagaimana kamu bisa tahu tempat ini Illa?” tanya bu Yuna padaku.
“Illa.. Illa ..” aku nggak berani ngomong.
“Juna yang ngasih tahu Illa, Mah.. karena Juna kangen Illa. Mah, tolong jangan pisahkan kami lagi. Juna mohon.”
“Nggak bisa Juna..” ucap bu Yuna tegas.
“Tapi kenapa Mah?!”
“Karna Illa sudah punya Roy, sadarlah Juna! Kamu bisa mendapatkan gadis manapun kalau kamu mau, jangan merebut milik orang lain!” kini bu Yuna mulai menangis.
“Juna tahu itu bukan alasan Mamah yang sebenarnya..” sahut Juna.
“Juna udah, jangan terus memojokkan bu Yuna!” sahutku. Lalu aku menghampiri bu Yuna dan memeluk beliau.
“Maafin Illa, Bu. Illa ngga bermaksud bikin bu Yuna marah..” ucapku tulus sambil menahan air mata.
“Kamu nggak salah Illa, mungkin ini sudah saatnya Ibu ngasih tahu kalian..” sahut bu Yuna, kini tangisnya sudah sedikit mereda.
“Apa maksud Mamah?” tanya Juna heran.
“Sebenarnya alasan Mamah melarang kalian bersatu adalah… karena Illa.. Illa.. Illa adalah adik kamu Juna, hiks.. hiks.” Sekarang bu Yuna kembali sesenggukkan. Aku dan Juna saling bertatapan dalam keterkejutan.
“Nggak mungkin, bu Yuna bohong kan? Ayah selalu bilang kalau Ibu aku udah pergi” ucapku tak percaya. Bu Yuna menggelengkan kepala,
“Nggak Illa, ibu nggak bohong. Dan apa ayah kamu pernah bilang kemana ibu kamu pergi?”
“Tapi, bukankah yang dimaksud Ayah adalah pergi ke surga?” sekarang aku terduduk tak berdaya. Bu Yuna memegang bahuku, lalu memelukku dengan sangat erat.
“Maafin Ibu, Illa.. dulu saat kakakmu Juna berumur lima tahun dan kamu baru berusia dua tahun, Ibu dan Ayahmu berpisah. Itu adalah hari terburuk dalam hidup Ibu..”
“Apa itu benar Mah?” kini Juna duduk disamping bu Yuna.
“Benar, ini foto kita berempat saat Illa baru lahir di rumah sakit” bu Yuna mengeluarkan sebuah foto lama yang dilaminating sehingga tidak rusak. Itu benar-benar Ayah, dan itu benar-benar bu Yuna. Sekarang aku dan Juna benar-benar percaya. Lalu kami bertiga saling berpelukan. Juna yang marah pun bisa menjadi lunak hatinya. Kami sadar bahwa rasa sayang yang selama ini kami rasakan adalah sayang antara adik dan kakak.
Dua minggu kemudian kami mengantarkan Juna ke bandara, ehm.. maksudku Kak Juna ke bandara. Ia akan mengambil kuliah S2 di Amerika. Aku harap selain mendapat ilmu, kak Juna juga akan mendapatkan pendamping.
Sekarang aku punya banyak waktu bersama Ibu karena kami tinggal bersama. Ibu banyak bercerita tentang masa saat ayah da ibu masih bersama. Love Latte adalah kopi yang selalu ayah dan ibu minum bersama saat bertemu di kedai nenek (sekarang kedai ibu). Melodi sedih yang diajarkan ayah padaku adalah melodi kesukaan Ibu saat bermuram durja. Dan ibu masih menyimpan semua resep buatan ayah untuk dicoba.
Aku meneruskan usaha kak Juna mengelola Junil (Juna & illa) Coffee Shop bersama Ibu. Roy pun ikut membantu kami. Selain itu, Roy mengajar sebuah sekolah musik di dekat kedai Junil milik kami. Aku pun ikut membantu Roy. Kami saling membantu, saling menyayangi, dan hidup bahagia.
“Ayah, kebahagiaan ini karena Ayah.. Illa merindukan Ayah.”


2 komentar:

  1. Kya~ Masih mudah ditebak, Sekar. Dan flow-nya kurang nonjok. Maap, cerewet. Salam stalker!

    BalasHapus
  2. oke oke sipp.. makasiih ya Karroro gunsho :p

    insyaAlloh bermanfaat kritiknya :D

    BalasHapus