oleh : s4stika
Hari nan suci yang
dinanti-nantikan seluruh umat muslim dunia segera tiba, hari besar yang disebut
Iedul Fitri. Dan sepekan sebelum bulan suci penuh berkah ini berakhir aku
memutuskan untuk kembali ke kampung halaman di Semarang. Setibanya di rumah aku
mulai membereskan kamarku yang lama tak berpenghuni. Ndak ada barang berserakan memang, tapi debu mengendap di mana-mana.
Mungkin Ibu terlalu lelah menjahit seharian sehingga tak sempat mengurus
kamarku ini. Aku mulai membereskan ranjang, meja dan almari. Saat itulah tiba-tiba
aku menemukan sebuah stofmap berisi dokumen-dokumen masa SMA. Aku tersenyum kecil
dan membukanya, ada ijazah, SKHUN, legalisiran, rapor dan ada buku kenangan. Ah
jadi ingin membuka buku kenangan itu untuk mengingat kenangan lama. Kubuka
satu-persatu mulai dari kelas lain yang sebagian besar aku tidak mengenal.
Sampai bagian akhir yaitu kelasku, XII IPS 3. Kulihat senyum teman-teman
lamaku, pose mereka yang lucu, dan pakaian-pakaian jadul yang kami kenakan, sampai
aku melihat senyum khas itu.. senyum yang dulu amat kusuka. Senyum manis yang
sampai sekarang masih membuat hatiku sakit tiap melihatnya karena mengetahui
kenyataan bahwa pemilik senyum itu tak dapat kumiliki.
Namanya Royan Prasetya
Utama. Pria manis yang menjadi impianku selama tiga tahun di SMA.
Aku lebih suka memanggilnya Roro (bedakan dengan cara membaca “Roro” Jonggrang ). Dan secretly aku menyebut dia sebagai Keroro, seperti tokoh kartun Jepang yang warnanya hijau itu tapi bukan kodok melainkan alien baik hati. Tiga tahun kami berada di kelas yang sama, rasaku tak pernah berubah namun kian membesar tiap melihatnya, tiap melihat senyum dan wajahnya. Namun aku terlalu malu untuk mengatakannya. Ditambah kenyataan bahwa sudah rahasia umum tentang Roro yang menyukai salah satu teman sekelas yang bernama Inna. Inna gadis yang baik, cantik dan pintar. Siapa gerangan yang ndak akan tertarik padanya? Selain itu Inna mirip dengan salah satu member girlband favorit Roro, JeiFour yang sampai saat ini masih booming. Tapi ndak sepertiku, Roro tentunya tak malu menunjukkan rasa sukanya pada Inna. Namun sayang, gadis cantik itu menolak Roro karena saat itu ia menyukai Dika seorang kakak kelas. Akhirnya, aku tak pernah tahu lagi apakah Roro masih membuka hatinya. Apa kabar ya Keroro sekarang? Aku masih merindukannya. He’s my idol…
Aku lebih suka memanggilnya Roro (bedakan dengan cara membaca “Roro” Jonggrang ). Dan secretly aku menyebut dia sebagai Keroro, seperti tokoh kartun Jepang yang warnanya hijau itu tapi bukan kodok melainkan alien baik hati. Tiga tahun kami berada di kelas yang sama, rasaku tak pernah berubah namun kian membesar tiap melihatnya, tiap melihat senyum dan wajahnya. Namun aku terlalu malu untuk mengatakannya. Ditambah kenyataan bahwa sudah rahasia umum tentang Roro yang menyukai salah satu teman sekelas yang bernama Inna. Inna gadis yang baik, cantik dan pintar. Siapa gerangan yang ndak akan tertarik padanya? Selain itu Inna mirip dengan salah satu member girlband favorit Roro, JeiFour yang sampai saat ini masih booming. Tapi ndak sepertiku, Roro tentunya tak malu menunjukkan rasa sukanya pada Inna. Namun sayang, gadis cantik itu menolak Roro karena saat itu ia menyukai Dika seorang kakak kelas. Akhirnya, aku tak pernah tahu lagi apakah Roro masih membuka hatinya. Apa kabar ya Keroro sekarang? Aku masih merindukannya. He’s my idol…
Saat hendak memasukkan
kembali stofmap ini, tiba-tiba sebuah buku usang terjatuh. Sebuah diary, diary
tuaku. Aku memungutnya dan membukanya perlahan. Aku mulai membaca diary lama
itu, aku tertawa sendiri saat tahu bahwa diary itu dipenuhi oleh nama Royan,
nama Roro, nama Keroro. Dan wajahnya terbayang di sana, dalam diary usangku.
Lucu juga menyadari aku segila itu saat SMA. Aku bahkan menyimpan setiap barang
yang berhubungan dengan Roro yang bisa kumiliki; kertas ulangan matematikaku
yang dikoreksi Roro, kertas kecil berisi tanda tangan Roro, sampai sebuah
gambar hasil coretan tangan Roro yang kutemukan di laci mejanya. Tak
tertahankan mataku berkaca-kaca mengingatnya…
*** ***
“Adek.. anterin mbak
Mila keliling Semarang yaaa.. kan mbak Mila udah lama ndak main-main di sini.” Rengekku pada Tutri adikku.
“Males ah mbak, kan lagi
puasa. Lemes tauk…” sahut Tutri.
“Alah.. ntar sore mbak
traktir buka yang enak deh,”
“Beneran mbak? Janji
lho.. kalo gitu aku baru mau”
“Huuu… dasar!” kucubit
lengan Tutri pelan.
“Hahaha…”
Lalu kami bergegas menaiki sepeda motor.
Keadaan Semarang sudah sedikit berbeda dari
sejak aku pindah ke Ibu Kota. Semarang menjadi semakin bersih dan hijau. Suasana
senja yang begitu nyaman, langit jingga semakin indah dihiasi awan-awan tipis
yang mulai berjalan saling menjauhi dengan perlahan. Udara senja yang tetap
segar dan menyejukkan. Muda-mudi meramaikan jalanan dengan ngabuburit
menelusuri jalanan kota tanpa kendaraan, hanya beberapa saja yang menaiki
motor. Saat sedang menikmati udara senja, tiba-tiba motor si adek berhenti.
“Lho kenapa dek? Kan belum nyampe taman..”
“Hehe.. adek lupa mbak. Belum isi bensin,” kata Tutri
sambil nyengir.
“Huft.. makanya sedia payung sebelum hujan
dong,”
“Loh? Ini kan nggak mendung mbak, kita cuman
kehabisan bensin bukan kehujanan,” sahut Tutri.
“Huh dasar dodoooool….” Gerutuku kesal. Lalu
kami berjalan mendorong motor sampai SPBU terdekat. Sampai di sana belum
selesai penderitaan kami, kami masih harus mengantre sangat panjang.
“Mbak, pokoke
nanti kudu bener-bener makan enak..”
“Iya, iya tenang wae dek.. mbak Mila juga kesel
tur luwe” ucapku sambil memegangi perut. Aku mengedarkan pandangan, siapa
tahu melihat tempat makanan enak. Tapi yang kulihat lebih dari itu, aku melihat
wajah manis yang kemarin baru kulihat dalam foto. Apa pria di antrean itu benar
Royan? Atau ini hanya imajinasi yang muncul karena saking laparnya aku? Untuk
meyakinkan, aku mengamati pria itu dengan lebih memicingkan mata. Ia tiba-tiba
menoleh ke arahku dan pandangan kami bertemu. Aku tahu tatapan itu, itu
benar-benar Roro. Apa dia mengenaliku? Kulihat ia langsung menundukkan kepala
dan tampak berpikir, lalu sedetik kemudian ia melihat ke arahku lagi. Akupun
ketahuan masih memandanginya dan ia tersenyum.. Senyum yang masih berhasil
membuat hatiku sakit, tapi sekaligus berbunga karena itu berarti dia masih
mengingatku. Aku balas tersenyum, tapi sedetik kemudian ia melangkah maju
sesuai antrean. Ah apa dia akan menghilang begitu saja?
“Mbak Mila, kok malah diem tho? Jadi kita mau buka dimana?” kata Tutri mengagetkanku dari lamunan, aku masih teringat pertemuan singkat dengan
Roro tadi.
“Oh eh, ehm.. kita cari makan di Waroeng Mbak
Murti wae dek, dibungkus aja bawa
pulang. Biar bisa dimakan bareng bapak ibuk di rumah..”
“Oh gitu.. iya deh Mbak, tapi yang uenak lho”
“Iya iya, bawel ih..”
Di rumah makan Waroeng Mbak Murti si Tutri benar-benar
seperti orang yang tak makan seminggu, dia pesan banyak banget makanan. Saat berjalan keluar dari rumah makan, secara
tak sengaja aku melihat sekumpulan muda-mudi yang sedang menanti berbuka
bersama. Ah tampaknya mereka dari satu komunitas. Lalu mataku terpaku melihat
wajah seseorang di antara mereka, aku melihat Royan sedang tertawa di sana. Ah
mungkin ini hanya imajinasiku lagi karena aku terlalu ingin bertemu dengannya.
Kuputuskan untuk melangkah lagi menyusul Tutri yang sudah menunggu di luar.
“Lama amat tho mbak..” Tutri
sedikit kesal rupanya.
“Maaf, maaf dek.. hehehe” ucapku singkat. Kami memakai helm dan sudah
siap melaju saat tiba-tiba seseorang menyentuh pundakku,
“Mila?” panggil sebuah suara di balik bahuku, aku kenal suara itu jika
ini benar-benar bukan hanya mimpi. Aku menoleh dan seketika kulihat senyum itu,
senyum yang membuat hatiku sakit.
“Roro?”
“Wah ternyata bener Mila, masih manggil aku pake Roro lagi. Yang tadi di
pom bensin juga kamu kan?”
“Eh, oh, eh iya..” aku sedikit tergagap, “Adek bentar jangan jalan
dulu,” ucapku pada Tutri, lalu aku turun dari motor.
Roro tersenyum dan mengulurkan tangannya, refleks aku langsung
menjabatnya. Untuk pertama kalinya bahkan sejak aku mengenalnya lima tahun yang
lalu. Rasanya ada yang mengalir dari tangannya menuju kepala dan jantungku. Apa
ini?
“Piye kabarmu Mil?
Mentang-mentang kuliah di UI jadi ndak
pernah ngasih kabar..”
“Aku baik. Ehm... aku..”
“Mbak Mila, sepuluh menit lagi magrib loh.. ayo buruan, ngobrol ama
masnya kapan-kapan lagi wae” sahut
Tutri membuatku kesal, huh nggak tahu mbaknya lagi seneng ya kamu!
“Hohoho.. ya udah Mil kamu pulang wae,
nanti tak sms. Kasih nomor kamu ya?”
apa benar Roro mengucapkannya?
“Uhm iya 0812354689”
Lalu aku dan Tutri melaju pulang, kulihat Roro melambaikan tangannya.
Apa ini benar bukan mimpi? Lantas kenapa rasanya aneh? Roro tak pernah bersikap
sebaik itu padaku, yang kutahu dia pria manis yang dingin dan tak mudah menerima
orang lain. Ah kenapa dia baru sebaik ini sekarang? Aneh juga, seharusnya aku
senang bukannya penasaran seperti ini.
“Siapa sih mbak tadi? Masnya ngguanteng
deh..” tanya Tutri membangunkanku dari lamunan.
“Temen SMA mbak Mila, dek. Ya ganteng dong..”
“Mbak suka yaaaa????” goda Tutri sekenanya.
“Hahahaha… ada-ada saja kamu dek” hanya itu yang
kuucapkan sebelum akhirnya terhanyut dalam lamunan tentang rasa penasaran lagi.
*** ***
Hari-hari menjelang lebaran berlalu sangat lamban. Kenapa? Karena aku
melalui hari-hari itu dengan menunggu, menunggu pesan yang dijanjikan Roro hari
itu. Dia bilang akan menghubungiku, tapi nyatanya nihil. Ah bodohnya aku,
harusnya aku tak berharap banyak. Bisa saja setelah pertemuan hari itu dia
langsung lupa padaku.
*** ***
Lebaran tiba, aku melaluinya bersama keluarga besar di Semarang kota
kelahiranku. Lebaran tahun ini cukup menyenangkan karena seluruh keluarga besar
Eyang bisa berkumpul. Tapi ada satu hal yang mengganjal di pikiranku. Aku masih
penasaran dengan Roro. Roro.. selamat hari Iedul Fitri, semoga kamu bahagia dan
memaafkanku yang terlalu menyukaimu dengan bodohnya.
“Mbak Milaaaa!!!!” teriak Tutri tepat di samping telingaku.
“Tutriii!!!!” balasku, namun Tutri sudah mengantisipasi
dengan menutup telinganya rapat, “Huh! Ana
apa tho? Iseng wae..”
“Mbak Mila yang ana
apa? Lebaran gini kok malah ngalamun?”
“Ndak apa-apa
dek..”
“Jujur deh Mbak.. kangen mase itu kan? Kok belum ke sini
Mbak?”
“Dia ndak
bakalan ke sini kali dek..”
“Loh? Ya suruh ke sini wae Mbak..”
“Ndak bisa.
Mbak Mila lost contact.”
“Walah.. ya udah mboten
nopo-nopo Mbak, kalo jodoh ndak lari
kemana kok.”
“Sotoy.. sok tau kamu. Njodoh-njodoke Mbak Mila sama Mas Royan..” aku menimpuk Tutri
dengan bantal kursi.
“Hahaha.. tapi Mbak Mila mau kan? Hahaha…” lalu ia
berlari ke kerumunan keluarga besar. Aku tak mengejarnya. Aku jadi kepikiran apa
yang dikatakan Tutri barusan. Benar juga, aku tak perlu terlalu memikirkan
Roro, jika memang berjodoh kami pasti akan bertemu. Sebaiknya begitu…
Membau-baui, beberapa adegan pernah nyata dikehidupan Sekar. Kyakyakya.
BalasHapusKeroro? Keinget juga, Sekar pernah manggil itu ke saya. Jadi?
sstt... jadi? baca lanjutannya ya rul.. :D
BalasHapushttp://s4stika.blogspot.com/2013/08/my-idol-part-2.html
makasiih :) kasih kritiknya ya, yang pedas skalian biar bisa maju! :D