Oleh s4stika
Mentari dhuha pagi ini begitu hangat menyentuh kedua pipi Safira. Namun,
kehangatan itu dirasakan panas baginya. Dengan gelisah gadis itu melongokkan
kepala ke selatan, berharap sebuah kendaraan roda empat bertuliskan Sinar Jaya
mendekat ke arahnya. Dan untuk kesekian kalinya ia menengok penunjuk waktu yang
melingkar di pergelangan tangannya, sudah pukul 06.50. Mata Safira membelalak
dan ia semakin gelisah, kenapa harus di
hari pertama masuk sekolah?? batinnya.
Dengan kesal ia menyalahkan keadaan, menyalahkan waktu yang berputar
terlalu cepat. Padahal ia merasa sudah bangun pagi-pagi sekali, bahkan saat para
ayam jago pun belum berkokok untuk menandakan pergantian malaikat pagi dan
malam. Itu pun ia secepat kilat bergegas mempersiapkan keperluan MOS yang
sebenarnya sederhana tapi ribet
mempersiapkannya. Safira jadi menyalahkan panitia MOS yang menurutnya terlalu
kejam. Bagaimana bisa memberi tugas
segini banyak padahal baru dikasih tahu kemarin? Keterlaluan.. gerutunya
tadi pagi. Untuk sekedar membuat cocard saja ia membutuhkan waktu sampai
muadzin mengumandangkan panggilan sholat. Belum lagi membungkus kado dan
sebagainya, dan sebagainya.. ia lalu teringat semalam dan berpikir, seandainya
saja semalam adiknya –Dita- tidak sakit, mungkin ia bisa dengan leluasa
mengerjakan tugas-tugas itu.
Semalam ia harus menunggui Dita di kamar, berjaga apabila adiknya itu
terbangun dan merintih kesakitan menyebut nama ayahnya yang sedang kerja
lembur. Terkadang Dita memanggil nama Ibunya, nama yang tiap Safira dengar akan
senantiasa menggetarkan hatinya, membuat hatinya perih dan ingin menjerit
sekuatnya. Nama seorang perempuan yang Safira tak tahu –dan tak mau tahu- entah
dimana sekarang. Nama yang ia ingat sebagai seorang yang teramat tega
meninggalkan dua anak perempuan kecil manis yang belum bisa melawan dunia. Tapi
walaupun demikian, satu hal yang mengherankan Safira selama ini kenapa Ayah bisa begitu memaafkan Ibu? Ayah selalu
mengatakan bahwa Ayah lah yang bersalah, Ayah tidak pantas untuk Ibu, Ayah
tidak bisa bertanggung jawab menafkahi Ibu dengan layak, Ayah miskin, Ayah..
Ayah.. sudahlah. Dan tetes-tetes bening akan mendesak keluar dari mata
bulat Safira tiap ia mengingat keteguhan dan kesabaran Ayahnya.
Mentari fajar mulai tersenyum saat Safira membukakan pintu untuk
Ayahnya. Segera, ia menggandeng Ayahnya ke kamar dimana Dita sedang tidur. Panasnya
sudah turun, dan dengan lega Safira menghela napas.
Akhirnya Sinar Jaya yang dinantikannya muncul juga. Seulas senyum
merekah di bibir Safira.. syukurlah. Tapi
yang ia sesalkan adalah keadaan di dalam bus. Pagi yang seharusnya ceria
sebagai awal langkah barunya di SMA, justru menjadi pagi yang terasa bagaikan
tengah hari. Bus begitu sesak dipenuhi manusia. Rasanya untuk bernapas saja
Safira butuh hidung yang lebih besar. Lagi-lagi ia menyalahkan keadaan, kenapa
ia tidak punya hidung mancung yang bisa menghirup oksigen lebih banyak? Pemikiran
yang konyol.
Di sampingnya berdiri seorang Bapak yang berpegangan pada bus dengan
mengangkat lengannya tinggi-tinggi. Tampaknya si bapak sudah berdesakan di
dalam sana cukup lama, terbukti dari peluh yang bercucuran di wajahnya, peluh
yang membasahi lengan bajunya. Tak sengaja Safira menoleh ke arah si Bapak, dan
ia langsung menyesal sedetik kemudian. Ia menghirup udara dengan bau keringat
yang menyengat dan semakin membuatnya segera ingin turun. Kalau aja Ayah tidak mengantarkan Dita berobat, mungkin Ayah bisa
mengantarkanku pagi ini, dan aku tak perlu berdesakkan di sini.. batinnya
menyalahkan keadaan (lagi). Safira menghela napas eluhan, dan tiba-tiba ia
merasakan sesuatu yang bergerak di atas sepatunya. Ia melihat ke bawah dan
terkejut..
“AYAAM..!!” teriaknya refleks. Seisi bus pun menoleh ke arahnya, menatap
dengan tatapan yang terasa kejam bagi Safira. Tatapan yang seolah mengatakan berisik!, tambah bikin sumpek aja deh!, plis
deh ayam aja takut!, iih sok banget! Dan lain sebagainya. Tapi saat ia
melihat ke penumpang yang duduk di bawahnya, ia menemukan satu tatapan berbeda
datang dari sepasang mata tua yang memandang tulus padanya. Tatapan seorang
Nenek yang mengangkat ayam dari kakinya saat ia berteriak..
“Maafkan neng, ini ayam Nenek biar Nenek pangku saja..” ucap beliau
dengan senyuman tulus. Safira menyesal telah marah dan menggerutu dalam hati
sesaat setelah melihat ayam yang mematuk-matuk kakinya tadi.
“Oh! iya Nek, tidak apa-apa..” ucap Safira kemudian dengan seulas
senyum.
Ada sensasi berbeda yang Safira rasakan sesaat setelah ia tersenyum pada
Nenek yang kemudian memberi senyuman tulus lagi padanya. Safira merasakan ada
angin manis yang berhembus kepadanya. Angin manis yang menyentuh wajahnya
dengan perlahan, dan membuat napasnya lega. Angin yang mengingatkannya pada halangan-halangan
yang baru saja ia lalui. Safira menyadari bahwa ia terlalu banyak menyalahkan
keadaan. Ternyata yang aku butuhkan hanya
sebuah senyuman.. aku tidak menyadari betapa senyum bisa meringankan bebanku...
ucapnya dalam hati sembari tersenyum lagi.
Sesampainya di depan gerbang SMA, Safira bergegas turun dari bus dengan
bersemangat. Saat hendak turun dari bus, tanpa sengaja Pak kondektur menginjak
kaki Safira.
“Maaf neng, bapak tidak sengaja..” ucap sang kondektur.
Safira menghela napas dan tersenyum.
“Cepat lari neng! Gerbang sudah mau ditutup, SEMOGAA SUKSEES!” teriak
sang kondektur saat bus mulai melaju kembali. Safira tersenyum kembali dan
bersyukur, betapa kuatnya senyum itu. Ia bisa membuat orang lain mendo’akan
yang baik-baik untuk kita.
Sedetik kemudian Safira menoleh dan terhenyak kaget. Kakinya berlari
sekencang yang ia bisa, namun apa daya.. gerbang telah tertutup dan ia
diputuskan terlambat satu menit. Ia pun mendapat hukuman. Ia tetap tersenyum. Dan
saat ia dijemur di lapangan sepak bola itulah ingatannya memutar kembali
pikiran-pikiran saat ia menyalahkan keadaan. Ia menyalahkan keadaan adiknya
yang sakit sebagai alasan tidak segera mengerjakan tugas, padahal jika ia mau
dan berusaha ia pasti bisa menjaga adiknya sambil nyicil mengerjakan tugas. Ia pun teringat betapa ia kurang
memperhatikan Dita, jika saja Safira mau memperhatikannya mungkin Dita takkan
hujan-hujanan, mungkin ia takkan sakit.
Safira merasa malu pada Ayahnya yang bisa melihat kesalahan pada diri
sendiri. Ayahnya yang tak lantas menyalahkan keadaan dan orang lain saat
mendapat rintangan. Harusnya Safira mencontoh sikap Ayahnya sejak dulu.
Akhirnya, Safira menemukan bahwa satu-satunya yang pantas untuk
disalahkan adalah dirinya sendiri..
Karanganyar, 31 Agustus 2013
inspiring~
BalasHapusDi sini jarang bus. seringnya naik angkot. Padahal ada "seribu" kisah yang tercipta di dalam bus. Kangen~~
alhamdulillah..^^
BalasHapusayo pulang rul, naek putra mulya.. :D