Senin, 26 Mei 2014

Kunanti Tangismu, Sayang


s4stika

    Jantung Mina bergemuruh dengan guntur bandang berkumandang. Dunianya gelap seketika, berputar tidak pada porosnya, dan membuat Mina lunglai. Mina akhirnya tumbang tak berdaya, terduduk lemah dengan mata yang mulai memanas. Mina duduk bersimpuh dengan pikiran penuh pertanyaan yang kian berputar bagaikan kincir angin Belanda yang tertiup angin sepoi. Bukan, bukan angin sepoi yang tenang lagi, kini pertanyaan-pertanyaan itu kian berputar menyerupai angin topan memporak-porandakan segala yang diterjangnya.
    “Apa yang harus kulakukan? Apa salahku Tuhan? Kenapa Engkau memberi coba yang seberat ini? Sanggupkah aku Tuhan?”. Matanya yang basah melirik kembali benda dalam genggaman tangannya. Sebuah benda kecil yang berhasil membuat jantung Mina bergemuruh. Benda kecil dengan dua garis merah di tengahnya.
    “Aku harus bagaimana? Tuhan… kenapa kau biarkan aku menjadi korban asusila dan memberiku beban seberat ini? Aku harus bagaimana?” Mina dilanda kebingungan yang dahsyat. Ia bagaikan berdiri di sebuah persimpangan antara dua jurang yang sama dalamnya.
    “Aku harus menggugurkannya.. aku nggak mungkin bikin aib keluarga meskipun aku nggak tahu apakah aku bisa menjadi pihak yang patut disalahkan di sini.. Tuhan maafkan keputusanku.”
***
    “Mina.. makan yuk ke kantin!” ajak Ria, teman sekelas Mina saat bel yang dinantikannya sedari tadi akhirnya berkumandang, “Kamu pucet banget Mina, jangan-jangan kamu sakit ya?” ucapnya kemudian seketika setelah menatap Mina yang terduduk diam dengan tatapan kosong. Ria menyentuh kedua pipi dan kening Mina dengan punggung tangannya.
    Mina menggeleng kecil seraya berkata, “Aku nggak apa-apa, Ya..” dengan suara yang serak.
    “Nggak.. badan kamu panas. Ayo, mending aku anterin ke UKS..” dengan gesit Ria membangunkan Mina dari kursinya dan menuntunnya ke UKS. Mina pasrah karena ia merasa lemah.
    Di UKS, seusai memberi Mina teh manis dan minyak kayu putih, Ria tetap menemai Mina meskipun Mina memaksanya kembali ke kelas.
    “Nggak mau, mendingan di sini sama kamu. Daripada di kelas, aku merhatiin ataupun nggak merhatiin guru ya sama aja aku nggak paham-paham apa yang diomongin sama gurunya..” ucap Ria dengan penuh canda.
    Mina terseyum simpul, “Dasar kamu..”
    “Mina.. kamu kenapa nggak mau minum obat sih?”
    “Aku nggak pernah suka sama obat, Ya. Biasanya kalaupun minum obat ya percuma, obatnya bakal aku muntahin lagi. Udah kamu jangan khawatir, aku nggak apa-apa kok..”
    “Hhuuff.. kamu bikin aku keinget sama ibuku..” ucap Ria dengan wajah murung dan pandangan menunduk. Jari-jemarinya saling bertautan dan ia putar-putar tidak beraturan.
    “Ada apa dengan ibu kamu Ria? Ibu kamu baik-baik saja kan?” tanya Mina kemudian.
    “Ibuku sama kayak kamu Min, nggak pernah doyan kalau minum obat. Dan kemarin, ibuku baru keluar dari rumah sakit. Ibuku keguguran..”
    Deg! Mina teringat pada apa yang kini sedang tumbuh dalam rahimnya. Jantungnya kembali terpacu, namun ia berusaha bersikap wajar.
    “Walaupun ibuku udah keluar dari rumah sakit, tapi aku takut ibuku jatuh sakit Min..” Mina melihat mata Ria mulai basah. Mina menyentuh lengan Ria yang duduk di sampingnya dengan lembut dan memberi tatapan dan senyum yang menyiratkan “kalau itu membuat kamu sedih, jangan kamu lanjutin.”
    “Aku nggak apa-apa Min.. aku, aku takut ibuku sakit karena ibuku nggak mau makan sejak kemarin. Ibuku ngelamun sepanjang hari Min…” Ria mengusap air matanya yang mulai mendesak keluar.
     “Aku tahu.. yang aku tahu ibuku sangat kecewa atas kegugurannya. Karena ibuku seneng banget pas tahu beliau hamil.. Minaa.. aku harus gimana? Ibuku bener-bener kecewa dan sedih. Semalem, bahkan ibuku menyalahkan dirinya sendiri atas keguguran itu. Ibuku menyalahkan dirinya karena rahimnya lemah sehingga janinnya nggak kuat... aku.. aku nggak ngerti musti gimana…” kini suara Ria digantikan dengan isakan Ria yang ia redam dengan kedua lengannya.
     Mina mengelus rambut Ria dengan pikiran bimbang, “Apakah aku akan sedemikian kecewanya jika menggugurkan janin ini? Duh Tuhan.. tapi apakah aku sanggup kalau harus menanggung beban dibalik janin ini?”
***
     Mina membuka refrigerator dan tersenyum, ia memasukkan tangannya dan mengeluarkannya dengan sebuah kantung plastik dalam genggaman.
     “Mina..” panggil sebuah suara.
     “Iya Bu.. Mina di dapur. Mau makan buah..” sahut Mina.
     Lalu muncul sosok ibunya dari ruang tamu. Beliau duduk dan memberi isyarat Mina untuk duduk di sampingnya dengan sebuah anggukan dagu. Mina mengerti dan menuruti ibunya,
     “Ada apa Bu? Ada yang mau ibu omongin sama Mina ya?” tanya Mina keheranan. Dalam benaknya, terlintas pikiran bahwa ibunya sudah mengetahui apa yang sedang menimpa dirinya.
     “Enggak sayang..” Ibunya mengelus rambut Mina dengan begitu lembut. Mina refleks memejamkan mata menikmati belaian itu seraya bersyukur dalam hati, “Ibu sayaaang banget sama Mina..” lanjut ibunya.
     “Mina juga sayang sama Ibu.. sayaaang banget..” ucap Mina riang sambil meraih pisau dan mengupas nanasnya. Ia akan memakannya dengan harapan pertumbuhan yang sedang berlangsung dalam rahimnya akan segera berakhir dan ia bisa melanjutkan hidup dengan tenang.
     “Mina.. sejak kapan kamu suka makan nanas? Dan kenapa yang setengah mateng kayak gitu?” tanya ibunya heran.
     “Oh, eh, ehm.. ini, ini tadi dikasih sama Ria, bu. Di rumahnya banyak pohon nanas. Tadinya Mina mau nunggu sampe mateng, tapi Mina nggak sabar..” ucap Mina dengan sedikit terbata dan senyum yang dibuat-buat.
     “Oh begitu.. ibu jadi inget dulu pas ibu hamil muda..” ucap ibunya dengan tatapan menerawang masa lalu. Mina yang sudah selesai mengupas nanasnya dan kini memotongnya kecil-kecil, menghentikan aktivitasnya. Jantung Mina kembali menyuarakan guntur yang menggelegar. Irama jantungnya tak beraturan dan ia mulai merasa pusing. Namun, ia menahannya.
     “Memangnya dulu kenapa ibu?” tanyanya kemudian.
      Ibunya tersenyum dan menatap Mina seraya membelai pipi Mina,
     “Waktu itu ibu sedang hamil kamu, tapi ibu belum menyadarinya. Nenekmu yang tahu lebih dulu pertanda bahwa ibu sedang hamil. Suatu hari ibu melihat nanas setengah matang seperti itu,” ibunya menunjuk nanas di tangan Mina dengan ujung dagu, “di kebun kakek dan ibu tertarik mencicipinya. Tapi Nenekmu mencegah Ibu karena Nenek tahu bahwa ibu sedang hamil dan nanas seperti itu akan merusak kandungan ibu..” ibu berhenti sejenak dan menghela napas.
     “Hhuuff… ibu nggak tahu bakalan betapa merananya ibu kalau ibu kehilangan kamu..”
     “Apa waktu itu Ayah udah nggak ada, Bu?”
     Ibu Mina menunduk, “Iya sayang, satu bulan sebelum hari itu. karena itulah pula ibu nggak nyangka bahwa ibu sedang hamil..”
      Ibu Mina menatap kembali mata Mina dengan tatapan paling lembut yang pernah Mina lihat, tatapan lembut yang meluluh-lantahkan nuraninya.
    “Mina.. kamulah satu-satunya yang membuat ibu bertahan dan tetap merasa ayahmu di sisi ibu. Apapun yang terjadi, Mina adalah permata ibu..”
     Mendengarnya air mata Mina tumpah, nanas yang sudah di depan mulutnya, ia letakkan kembali ke piring dan Mina memeluk ibunya dengan erat.
      “Ibu.. maafin Mina.. Mina.. Mina mau jujur sesuatu sama Ibu..”
***
    Memang segalanya mungkin akan berjalan dengan penuh kerikil dan jalan bergelombang. Mungkin segalanya akan menjadi yang tak pernah kubayangkan. Tapi aku yakin cinta ibu akan menguatkanku.. Dan wahai engkau calon permata yang tumbuh dalam rahimku, kunanti tangismu sayang..

Karanganyar, 16 Mei 2014
Semoga Bermanfaat :-)

2 komentar:

  1. wow. di antara menarik dan keren, terbesit sikap speechless. 2 jempol tangan buat kamu, Dek. tak kusangka, kutemui lagi mahasiswa fisika yang memiliki bakat di sastra.

    BalasHapus
    Balasan
    1. alhamdulillah.. terimakasih, Mas.
      saya masih awam dan belajar tentang kepenulisan dan sastra.
      semoga kedepannya bisa membanggakan fisika. heheehe

      Hapus