s4stika
Jantung Mina bergemuruh dengan guntur bandang berkumandang. Dunianya
gelap seketika, berputar tidak pada porosnya, dan membuat Mina lunglai. Mina
akhirnya tumbang tak berdaya, terduduk lemah dengan mata yang mulai memanas. Mina
duduk bersimpuh dengan pikiran penuh pertanyaan yang kian berputar bagaikan
kincir angin Belanda yang tertiup angin sepoi. Bukan, bukan angin sepoi yang
tenang lagi, kini pertanyaan-pertanyaan itu kian berputar menyerupai angin
topan memporak-porandakan segala yang diterjangnya.
“Apa yang harus kulakukan? Apa
salahku Tuhan? Kenapa Engkau memberi coba yang seberat ini? Sanggupkah aku
Tuhan?”. Matanya yang basah
melirik kembali benda dalam genggaman tangannya. Sebuah benda kecil yang
berhasil membuat jantung Mina bergemuruh. Benda kecil dengan dua garis merah di
tengahnya.
“Aku harus bagaimana? Tuhan…
kenapa kau biarkan aku menjadi korban asusila dan memberiku beban seberat ini?
Aku harus bagaimana?” Mina
dilanda kebingungan yang dahsyat. Ia bagaikan berdiri di sebuah persimpangan
antara dua jurang yang sama dalamnya.
“Aku harus menggugurkannya.. aku
nggak mungkin bikin aib keluarga meskipun aku nggak tahu apakah aku bisa
menjadi pihak yang patut disalahkan di sini.. Tuhan maafkan keputusanku.”
***
“Mina.. makan yuk ke kantin!” ajak Ria, teman sekelas Mina saat bel yang
dinantikannya sedari tadi akhirnya berkumandang, “Kamu pucet banget Mina,
jangan-jangan kamu sakit ya?” ucapnya kemudian seketika setelah menatap Mina
yang terduduk diam dengan tatapan kosong. Ria menyentuh kedua pipi dan kening Mina
dengan punggung tangannya.
Mina menggeleng kecil seraya berkata, “Aku nggak apa-apa, Ya..” dengan
suara yang serak.
“Nggak.. badan kamu panas. Ayo, mending aku anterin ke UKS..” dengan
gesit Ria membangunkan Mina dari kursinya dan menuntunnya ke UKS. Mina pasrah
karena ia merasa lemah.
Di UKS, seusai memberi Mina teh manis dan minyak kayu putih, Ria tetap
menemai Mina meskipun Mina memaksanya kembali ke kelas.
“Nggak mau, mendingan di sini sama kamu. Daripada di kelas, aku
merhatiin ataupun nggak merhatiin guru ya sama aja aku nggak paham-paham apa
yang diomongin sama gurunya..” ucap Ria dengan penuh canda.
Mina terseyum simpul, “Dasar kamu..”
“Mina.. kamu kenapa nggak mau minum obat sih?”
“Aku nggak pernah suka sama obat, Ya. Biasanya kalaupun minum obat ya
percuma, obatnya bakal aku muntahin lagi. Udah kamu jangan khawatir, aku nggak
apa-apa kok..”
“Hhuuff.. kamu bikin aku keinget sama ibuku..” ucap Ria dengan wajah
murung dan pandangan menunduk. Jari-jemarinya saling bertautan dan ia
putar-putar tidak beraturan.
“Ada apa dengan ibu kamu Ria? Ibu kamu baik-baik saja kan?” tanya Mina
kemudian.
“Ibuku sama kayak kamu Min, nggak pernah doyan kalau minum obat. Dan
kemarin, ibuku baru keluar dari rumah sakit. Ibuku keguguran..”
Deg! Mina teringat pada apa yang kini sedang tumbuh dalam rahimnya.
Jantungnya kembali terpacu, namun ia berusaha bersikap wajar.
“Walaupun ibuku udah keluar dari rumah sakit, tapi aku takut ibuku jatuh
sakit Min..” Mina melihat mata Ria mulai basah. Mina menyentuh lengan Ria yang
duduk di sampingnya dengan lembut dan memberi tatapan dan senyum yang
menyiratkan “kalau itu membuat kamu
sedih, jangan kamu lanjutin.”
“Aku nggak apa-apa Min.. aku, aku takut ibuku sakit karena ibuku nggak
mau makan sejak kemarin. Ibuku ngelamun sepanjang hari Min…” Ria mengusap air
matanya yang mulai mendesak keluar.
“Aku tahu.. yang aku tahu ibuku sangat kecewa atas kegugurannya. Karena
ibuku seneng banget pas tahu beliau hamil.. Minaa.. aku harus gimana? Ibuku bener-bener
kecewa dan sedih. Semalem, bahkan ibuku menyalahkan dirinya sendiri atas
keguguran itu. Ibuku menyalahkan dirinya karena rahimnya lemah sehingga
janinnya nggak kuat... aku.. aku nggak ngerti musti gimana…” kini suara Ria
digantikan dengan isakan Ria yang ia redam dengan kedua lengannya.
Mina mengelus rambut Ria dengan pikiran bimbang, “Apakah aku akan sedemikian kecewanya jika menggugurkan janin ini? Duh
Tuhan.. tapi apakah aku sanggup kalau harus menanggung beban dibalik janin
ini?”
***
Mina membuka refrigerator dan tersenyum, ia memasukkan tangannya dan
mengeluarkannya dengan sebuah kantung plastik dalam genggaman.
“Mina..” panggil sebuah suara.
“Iya Bu.. Mina di dapur. Mau makan buah..” sahut Mina.
Lalu muncul sosok ibunya dari ruang tamu. Beliau duduk dan memberi
isyarat Mina untuk duduk di sampingnya dengan sebuah anggukan dagu. Mina
mengerti dan menuruti ibunya,
“Ada apa Bu? Ada yang mau ibu omongin sama Mina ya?” tanya Mina
keheranan. Dalam benaknya, terlintas pikiran bahwa ibunya sudah mengetahui apa
yang sedang menimpa dirinya.
“Enggak sayang..” Ibunya mengelus rambut Mina dengan begitu lembut. Mina
refleks memejamkan mata menikmati belaian itu seraya bersyukur dalam hati, “Ibu
sayaaang banget sama Mina..” lanjut ibunya.
“Mina juga sayang sama Ibu.. sayaaang banget..” ucap Mina riang sambil
meraih pisau dan mengupas nanasnya. Ia akan memakannya dengan harapan
pertumbuhan yang sedang berlangsung dalam rahimnya akan segera berakhir dan ia
bisa melanjutkan hidup dengan tenang.
“Mina.. sejak kapan kamu suka makan nanas? Dan kenapa yang setengah
mateng kayak gitu?” tanya ibunya heran.
“Oh, eh, ehm.. ini, ini tadi dikasih sama Ria, bu. Di rumahnya banyak
pohon nanas. Tadinya Mina mau nunggu sampe mateng, tapi Mina nggak sabar..”
ucap Mina dengan sedikit terbata dan senyum yang dibuat-buat.
“Oh begitu.. ibu jadi inget dulu pas ibu hamil muda..” ucap ibunya
dengan tatapan menerawang masa lalu. Mina yang sudah selesai mengupas nanasnya
dan kini memotongnya kecil-kecil, menghentikan aktivitasnya. Jantung Mina
kembali menyuarakan guntur yang menggelegar. Irama jantungnya tak beraturan dan
ia mulai merasa pusing. Namun, ia menahannya.
“Memangnya dulu kenapa ibu?” tanyanya kemudian.
Ibunya tersenyum dan menatap Mina seraya membelai pipi Mina,
“Waktu itu ibu sedang hamil kamu, tapi ibu belum menyadarinya. Nenekmu
yang tahu lebih dulu pertanda bahwa ibu sedang hamil. Suatu hari ibu melihat
nanas setengah matang seperti itu,” ibunya menunjuk nanas di tangan Mina dengan
ujung dagu, “di kebun kakek dan ibu tertarik mencicipinya. Tapi Nenekmu
mencegah Ibu karena Nenek tahu bahwa ibu sedang hamil dan nanas seperti itu
akan merusak kandungan ibu..” ibu berhenti sejenak dan menghela napas.
“Hhuuff… ibu nggak tahu bakalan betapa merananya ibu kalau ibu
kehilangan kamu..”
“Apa waktu itu Ayah udah nggak ada, Bu?”
Ibu Mina menunduk, “Iya sayang, satu bulan sebelum hari itu. karena
itulah pula ibu nggak nyangka bahwa ibu sedang hamil..”
Ibu Mina menatap kembali mata Mina dengan tatapan paling lembut yang
pernah Mina lihat, tatapan lembut yang meluluh-lantahkan nuraninya.
“Mina.. kamulah satu-satunya yang membuat ibu bertahan dan tetap merasa
ayahmu di sisi ibu. Apapun yang terjadi, Mina adalah permata ibu..”
Mendengarnya air mata Mina tumpah, nanas yang sudah di depan mulutnya,
ia letakkan kembali ke piring dan Mina memeluk ibunya dengan erat.
“Ibu.. maafin Mina.. Mina.. Mina mau jujur sesuatu sama Ibu..”
***
Memang segalanya mungkin akan
berjalan dengan penuh kerikil dan jalan bergelombang. Mungkin segalanya akan menjadi
yang tak pernah kubayangkan. Tapi aku yakin cinta ibu akan menguatkanku.. Dan
wahai engkau calon permata yang tumbuh dalam rahimku, kunanti tangismu sayang..
Karanganyar,
16 Mei 2014
Semoga
Bermanfaat :-)
wow. di antara menarik dan keren, terbesit sikap speechless. 2 jempol tangan buat kamu, Dek. tak kusangka, kutemui lagi mahasiswa fisika yang memiliki bakat di sastra.
BalasHapusalhamdulillah.. terimakasih, Mas.
Hapussaya masih awam dan belajar tentang kepenulisan dan sastra.
semoga kedepannya bisa membanggakan fisika. heheehe