s4stika
Mbok Nah dengan kesal mencari-cari kipas yang tak kunjung ia temukan. Ia
kesal karena api tungkunya gampang sekali padam, padahal ia harus segera
memberi sarapan suami dan ketiga anaknya yang sedari pukul enam pagi tadi sudah
meronta kelaparan. Kipas dari anyaman bambu buatan suaminya itu akhirnya ia
temukan di paga paling atas. Dengan
segera Mbok Nah mengipas-ngipaskan angin ke arah tungku. Api yang padam pun
mulai menyala kembali.
Nasi dan lauk telah siap disantap,
Mbok Nah memanggil seluruh anggota keluarga untuk berkumpul di meja makan.
“Mbok, aku kan juga mau bandhengnya..”
rengek Wati anak bungsu Mbok Nah yang berusia 5 tahun.
“Hush! Jangan! Bandeng untuk diberikan
pada Pohon Bijak hari ini. Simbok dan
Bapak sedang butuh nasehat dan saran dari Pohon
Bijak buat usaha bapakmu.” Sahut Mbok Nah membuat Wati cemberut dan
menggerutu.
“Pohon Bijak kan nggak dikasih
apapun juga nggak apa-apa, Mbok.” Ucap Warni, anak kedua Mbok Nah yang berusia
dua tahun lebih tua dari Wati.
“Tapi apa salahnya memberi sesuatu
kepada sesepuh tho ndhok?” jawab
bapaknya.
Kini bukan hanya Wati, tapi Warni
pun turut cemberut.
***
Mbok Nah dan suaminya, Pak Suroso,
berjalan tergesa-gesa sembari menenteng sebuah rantang yang penuh dengan nasi,
sayur, dan lauk. Tak lupa, Pak Suroso membawa sebuah kendi yang penuh berisi
air dengan hati-hati. Keduanya berjalan menuju desa Sebrang dimana Pohon Bijak
berada.